Jumat, 28 September 2018

Ketika Korban PKI dan Lingsang Geni Merajut Rekonsiliasi


Muhamad Ridlo - 28 Sep 2018, 04:01 WIB

Rubidi Mangun Sudarmo, eks-wakil komandan pasukan gabungan pembersihan PKI di area Gunung Wilis, Cilacap barat, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Akhir dasarian kedua September 2018 lalu, mendadak serombongan aktivis reforma agraria mampir ke rumah. Salah satunya, Karsiman, pria berusia 68 tahun.

Saya mengenalnya dua tahun lalu, saat para jurnalis Banyumas memfilmkan tragedi penangkapan dan perampasan tanah di Cikuya, Desa Bantar, Kecamatan Wanareja, Cilacap, Jawa Tengah, usai meletusnya peristiwa yang lantas dikenal dengan G30S/PKI.

Karsiman bercerita, usai meletusnya peristiwa 65, Rubidi Mangun Sudarmo, tokoh muda PNI Cilacap, diangkat menjadi wakil komandan pasukan gabungan operasi pembersihan dan pengamanan dari kalangan sipil di wilayah Cilacap bagian barat. Jabatannya mentereng, hanya satu tingkat di bawah komandan gabungan.

Tugasnya adalah melakukan operasi pembersihan PKI. Termasuk mengusir orang-orang yang tinggal di lokasi operasi sekitar Gunung Wilis, Cilacap. Demi tugas, ia bersedia mengusir tetangga kampungnya, yang dipastikan amat mengenal Rubidi.

Sosok Rubidi lantas menjadi momok. Hampir semua orang tahu siapa Rubidi. Belakangan, setelah operasi selesai, Rubidi sadar tanahnya juga turut terampas.

Ia pun kemudian menjadi pejuang reforma agraria sejak awal 2000-an. Di Organisasi Tani Lokal (OTL) itu, Rubidi bertemu dengan para korban yang dia usir dari kampungnya lantaran dituduh sebagai anggota PKI. Dendam membara di antara mereka.

Namun, mereka sadar berada di pihak yang sama. Ini soal tanah mereka yang terampas. Kemudian, mereka berdamai seiring waktu dan demi memperjuangkan hal yang sama.

Kembali ke Karsiman, ia adalah korban, dan salah satu saksi yang masih hidup. Kebanyakan telah meninggal dunia. Waktu peristiwa pengusiran dan perampasan terjadi, Karsiman baru berusia 15 tahun.

Meski masih berusia 15 tahun, Karsiman tak akan pernah lupa satu nama: Rubidi Mangun Sudarmo. Ia adalah komandan milisi, atau kelompok sipil yang dimobilisasi mengusir warga Cikuya yang dituduh menyembunyikan pelarian PKI.

Belakangan, penduduk kampung Cikuya sendiri dituduh sebagai anggota PKI. Sehingga sebagian besar lelaki dewasa di kampung itu ditangkap dan dibui tanpa pernah disidangkan. Karsiman tak ditangkap lantaran waktu itu dianggap masih kecil.

Kira-kira 45 tahun kemudian, untuk kali pertama sejak 1965, Karsiman dipertemukan dengan Rubidi. Pertama kali bertemu dengan Rubidi, Karsiman mengaku masih dendam. Maklum, ia menyaksikan bagaimana Rubidi memimpin kelompok milisi untuk mengusir warga, tanpa pandang bulu.
"Ya, saya gregetan. Pengin memukul. Enggak tanya saya. Saya bertanya itu paling baru empat tahunan," kata Karsiman. 
 Ia lantas bercerita betapa berat tragedi yang diderita masyarakat Cikuya pascaperistiwa 65 atau G30S/PKI.
Ketika Telunjuk Rubidi Memutuskan Hidup dan Mati

Karsiman, korban sekaligus saksi yang terusir dan terampas tanahnya lantaran dituduh PKI. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Warga Cikuya menggambarkan Rubidi sebagai ‘Lingsang Geni’ untuk menggambarkan betapa berkuasa dan agresifnya Rubidi muda waktu itu. Lingsang adalah hewan dua alam yang gemar berenang di air. Tabiatnya lincah dan tak pernah diam.

Lingsang Geni berarti Rubidi, orang yang lincah, agresif, sekaligus menakutkan. Tubuhnya bak berselimut kobaran api. Lidah dan telunjuknya bisa memutuskan hidup dan mati seseorang.
"Bertahun-tahun saya sudah tahu. Baru sekarang ini nongol setelah ada kelompok tani. Baru ini setelah ada Organisasi Tani Lokal (OTL). OTL ini, kan, ada tahun 2001," ucapnya.
Pria sepuh lainnya, Sandiarja (85), juga mengaku masih mendendam pada awalnya. Sandiarja dibui 11 bulan karena dituduh anggota BTI. Padahal, ia sama sekali tidak tahu apa BTI atau PKI. Bahkan, hingga kini ia buta huruf.
Ia berusaha membuka hati untuk memaafkan. Ia menyerahkan kisah perseteruannya dengan Rubidi kepada waktu.

Namun, tak mendendam bukan berarti juga berbaik-baik mulut. Sandiarja tak pernah mau menyapa Rubidi.
"Lha buat apa tanya, bertemu ya sudah. Paling saya membatin seperti ini, ‘Oh, ini orangnya’. Sampai sekarang lah," ujar Sandiarja, waktu itu.
Nasib kemudian memang menautkan Rubidi, Karsiman, Sandiarja, Ratmini, dan seluruh korban pengusiran yang tersebar di sejumlah desa, seperti Caruy, Karangreja, Kelapagading, Mulyadadi, Sidasari dan Bantarsari.
Karena Rubidi, sang komandan milisi, juga dirampas tanahnya.

Rubidi berkilah, tak mungkin baginya menolak jabatan prestisius itu lantaran pilihannya waktu itu adalah hidup atau mati. Jika dia menolak tugas, itu artinya mati. Sebab, waktu itu yang benar-benar berkuasa adalah militer.

Pada November 1965, dia menerima jabatan wakil komandan pasukan gabungan dari kalangan sipil. Tugas utamanya adalah memindahkan, atau lebih tepat mengusir warga yang berada dalam radius tapal kuda operasi. Di ditunjuk oleh Letnan Kolonel Arifin, pejabat militer komandan tertinggi operasi keamanan.
“Tugas saya yang pokok, yang saya emban, adalah mengembalikan masyarakat kembali seperti semula. Artinya yang punya rumah ya kembali ke rumah, yang bertani ya kembali bekerja bertani. Makanya disebut sebagai operasi keamanan,” Rubidi menerangkan.
Akan tetapi, Rubidi mengaku tak sekali pun membunuh. Bahkan, termasuk ketika ia ditawari gagang pistol untuk mengeksekuasi anggota PKI di jembatan Ciliwung.

Akhir Perseteruan Korban Pengusiran dan Perampas

Rubidi Mangun Sudarmo, sang Wakil Komandan pembersihan menunjukkan lokasi eksekusi anggota PKI di Jembatan Sungai Cikawung, Bantar, Wanareja, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Adapun tugas lainnya sukses besar. Area Gunung Wilis dan sekitarnya benar-benar bersih. Area ini ini lantas dikuasai tentara.

Usai memimpin operasi dengan gilang-gemilang, ia justru kehilangan asetnya yang berharga. Namun, Rubidi mengaku sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk melawan.

Rubidi kemudian menjadi aktivis reforma agraria. Karena dia paham bahwa tanah-tanah yang dirampas adalah tanah hak rakyat, yang dibuka oleh masyarakat jauh hari sebelum kemerdekaan.
"Tanah dibuka oleh masyarakat. Menurut hukum. Itu berlaku di seluruh dunia bahkan tidak hanya di Indonesia. Kalau di Sumatera, itu yang disebut sebagai tanah ulayat," dia menerangkan.
Rubidi pun mengaku tak lagi ada dendam antara dia dengan warga Cikuya. Karena, mereka saat ini sama-sama menjadi pejuang reforma agraria meski di lokasi yang berbeda. Karsiman dan rekan di Kecamatan Wanareja, sementara Rubidi di Kecamatan Cimanggu.

Bahkan, kepada salah satu anak keturunan pejabat PKI yang saat ini menjadi sesama pejuang pun, ia tidak mendendam. Dulu, oleh orang itu, ia mengaku sudah ditarget bunuh.

Begitu pula dengan Karsiman, ia mengaku saat ini sudah tidak lagi menyimpan dendam kepada Rubidi. Ia merasa senasib sepenanggungan. Dia justru mengaku banyak belajar dari Rubidi.
"Apalagi sekarang dia sudah menjadi kawan seperjuangan. Dia mendukung kelompok Sumber Tani. Dia kan ikut kelompok sana. Kemudian, dia juga bisa menjabarkan kronologi persoalan yang ada di wilayah sana," Karsiman menjelaskan.

0 komentar:

Posting Komentar