Kamis, 26 Juli 2018

Seniman Perupa Alumni ASRI Sore

Oleh: Misbach Tamrin*

Foto para tokoh seniman perupa muda yang sedang belajar di ASRI Sore di sekitar tahun '50-an. Tampak berdiri dari kiri : Arby Sama, Soenarto PR dan Gani Lubis. Duduk dikursi : Arwan Isa dan Amrus Natalsya. Duduk jongkok Widodo.
Dalam sejarah perkembangan senirupa Indonesia. Terdapat keberadaan (eksistensi) peran generasi atau angkatan seniman perupanya yang melatar belakangi.
Di mana seperti telah pada kita ketahui. Sejak era kebangkitan nasional hingga proklamasi kemerdekaan. Pada saat setelah dirintis oleh kepeloporan Raden Saleh. Peran Persagi (1938) yang digerakkan tokoh-tokohnya seperti Sudjojono, Agus Djaja, Abdul Salam, Setiyoso, Suromo, dan pelukis wanita Emiria Sunassa. Mereka adalah para seniman perupa generasi pembangkit semangat perjuangan demi kemerdekaan bangsa kita yang pertama.
Kemudian setelah kemerdekaan, konfigurasi keberadaan seniman perupa kita semakin merebak. Memperkaya terhadap perkembangan angkatan pelanjut perjuangan yang telah ditempuh Persagi tersebut.
Barisan nama-nama mereka yang menonjol cukup panjang. Dapat kita sebutkan seperti Affandi, Hendra Gunawan, Sudarso, Trubus, Basuki Abdullah, Henk Ngantung, Basuki Resobowo, Otto Djaja, Barli, Haryadi S, Surono, Soedibyo, Trisno Sumardjo, Wakidjan, Abas Alibasyah, Kartono Yudokusomo, Kusnadi, Sholihin, Eddy Soenarso, Fajar Siddiq, Widayat, Nashar, Oesman Effendi, G. Sidharta, Popo Iskandar, Mochtar Apin dan mungkin masih banyak lagi yang tak sempat disebutkan di sini.

Foto gedung ASRI pertama yang didirikan tahun 1950 di Bintaran Lor Yogya.
Generasi atau angkatan berikutnya dapat kita tandai. Terutama terhadap kelahiran seniman perupa yang terus merebak sejak ASRI berdiri di tahun 1950. Mereka bisa disebut generasi atau angkatan '50-an. Yang nantinya akan terus berkembang untuk dilanjutkan lagi oleh angkatan '60-an, '70-an, '80-an dan seterusnya.
Nah, di sini kita hanya terutama fokus menandai secara khusus tentang angkatan '50-an. Karena angkatan ini adalah merupakan salah satu periode yang kini eksponennya tinggal sedikit tersisa dalam sejarah. Ibarat matahari senja yang sebentar lagi akan terbenam. Ini berkaitan dengan wafatnya Soenarto PR beberapa hari yang lalu. Salah seorang tokoh seniman perupa dari generasi angkatan '50-an. Khususnya salah seorang jebolan atau alumni ASRI Sore.
Selama berdirinya ASRI di tahun 1950. Para perupa muda angkatan "ASRI Sore", adalah* yang paling menonjol. Baik dinilai dari segi keunikan tampilan mereka. Maupun dari segi prestasi karya-karya mereka yang dihasilkan Tokoh-tokohnya ketika itu adalah antara lain Arby Sama, Gani Lubis, Soenarto PR, Arwan Isa, Widodo dan Amrus Natalsya.
Ada seorang lagi seorang tokohnya yang perlu dicatat. Yaitu Lian Sahar, putera seorang inspektur Polisi di Aceh. Anak seorang kaya yang sering datang ke ASRI Sore naik sepeda motor BMW. Tapi suka bergabung kumpul-kumpul dengan kawan-kawannya dalam gaul berbohemian. Karena jiwa kesenimanannya yang guyub. Meski ia di ASRI Sore hampir bisa dikatakan mahasiswa drop-out. Yang hanya terdaftar namanya saja. Tapi jarang masuk, karena ia banyak "membajing-loncatkan" diri dibeberapa institusi pendidikan seperti Gama, UI dan ITB senirupa.
Berbeda dengan mahasiswa reguler, yang biasanya turun kuliah di waktu pagi. Dengan diatur menurut kebijakan direkturnya saat itu Katamsi. Maka mereka dari ASRI Sore diberi kesempatan untuk turut aktif belajar di waktu sore hari.
Semua mereka diterima masuk ASRI sebagai "siswa luar biasa". Atas dasar bakat senirupanya yang bisa diandalkan sebagai ukuran. Meski tanpa ijazah SMA. Nah, di situlah segi yang menarik dan uniknya mereka. Boleh dianggap diluar kebiasaan yang umum.

Foto ketika pameran IMASRI tahun '60-an di Balai Budaya Jakarta. Keterangan nama-nama pelukis terdapat dalam tulisan di garis bawah foto.
Jelas justru dengan peran status mereka semacam itu. Dari segi prestasi, kreativitas dan produktivitas karya-karya senirupa mereka jauh lebih menonjol. Ketimbang dengan hasil prestasi para mahasiswa reguler.
Dengan demikian para seniman perupa dari ASRI Sore ini dapat kita tandai. Merupakan produk akademi senirupa yang paling spesifik dan fenomenal untuk mewakili dilahirkannya calon seniman perupa sejati. Dalam arti bisa dianggap sebagai terobosan dari adanya kecendrungan. Bahwa tak selalu institusi akademi senirupa. Hanya sekedar menghasilkan atau mencetak tamatan bidang kejuruan untuk mendapatkan jaminan ijazah (sipil-effek) semata.
Suatu ilustrasi yang cukup menarik dari kehidupan "human-interest" seniman perupa muda di lingkungan ASRI sore ini. Adalah ciri khas dari keunikan mereka yang tersendiri. Mereka boleh dikatakan merupakan kelompok "bohemian" dalam kehidupan prosais sehari-hari. Mereka bebas bekerja semaunya siang dan malam berkarya dengan konsentrasi dan totalitas yang tinggi.
Ini bisa diambil contoh, misalkan pada tampilan perupa Amrus Natalsya. Di halaman belakang rumah direktur ASRI Katamsi. Amrus yang energik bekerja secara spartan, siang dan malam memahat patung kayunya dari beberapa buah gelondongan batang pohon asam. Kerja, makan dan tidur ditempat itu juga. Relatif selalu dalam keadaan darurat dan sulit terdisiplin waktu. Layaknya kebiasaan lakon liberal kehidupan bohemian.
,
Tentu saja atas dasar kondisi sosek mereka yang terbatas dan sangat minim. Biasanya selalu banyak kesulitan. Sudah menjadi tradisi klasik mereka makan dengan utang mengebon diwarung sekitar lingkungan kampus ASRI di Bintaran Lor. Tapi meski setelah cukup lama menunggu karya mereka selesai dikerjakan untuk dijual jadi uang. Baru kemudian mereka bisa bayar bon makan tersebut. Untung saja mbok warung mau dan bisa bertahan memaklumi dengan dibon lama mereka, atas dasar kepercayaan.
Juga gaya gaul mereka yang urakan. Dengan nuansa tumpul sekaligus tajam ke atas, tapi cair dan lembut kebawah. Dalam artian kebanyakan gaul mereka tak peduli alias cuek atau malah sebagai oposan yang kritis
kepada masyarakat atasan (high-class). Termasuk terhadap para penjabat birokrat kekuasaan. Namun mereka suka bergaul dan berbaur dengan sangat cair ketengah masyarakat bawah alias kerakyatan.
Gejala atau fenomena perangai mereka yang bernuansa agak temperamental dan eksentrik semacam demikian. Bukan saja karena terbentuk oleh karakter internal dari lingkungan sosial mereka. Tetapi juga karena pengaruh eksternal sistem perkembangan masyarakat. Yang dipicu dan dipacu oleh situasi politik yang memanas pada saat itu.
Terutama karena mereka berada di bawah momentum "Perang Dingin" dari situasi global dunia. Suatu gesekan dikotomi pertentangan ideologi dan politik di antara blok sistem kapitalisme yang dimotori Amerika Serikat dan Inggeris. Versus sosialisme yang dipelopori Uni Sovyet dan RRT pada saat itu.
Di dalam negeri tentu saja dampaknya tercermin atas adanya gesekan (friksi) tajam yang memanas. Di antara kaum reaksioner yang bersekutu dengan kekuatan militer sayap kanan. Kontra kaum revolusioner nasionalis kiri dibantu kaum komunis. Yang pada saat itu dipimpin oleh presiden Soekarno dengan segenap ajarannya terutama Manipol Usdek. Sebagai garis haluan negara yang disemangati gerakan revolusioner, dalam menjalankan pemerintahannya.
Sehingga kemudian, para seniman perupa muda jebolan ASRI Sore tersebut. Setelah keluar dari lingkungan kampus akademi. Perorangan di antara mereka, masing-masing menempuh dan memilih jalan hidupnya sendiri.
Bahkan, akibat dampak dari pengaruh situasi politik dan ideologi tersebut di atas. Terjadi suatu persimpangan jalan yang saling berbeda dan bertolak belakang. Membelah persahabatan dan perkawanan mereka selaku anak bangsa yang tadinya bersatu di bawah atap kebersamaan.
Soenarto PR yang selama belajar di ASRI Sore sebagai sahabat sehati dan teman seiring yang akrab dengan Amrus Natalsya. Bersama dengan teman-teman Narto lainnya yang sepaham antara lain seperti Mulyadi W, Wardoyo, Syahwil, Danarto, Handogo Sukarno dll., mendirikan Sanggar Bambu pada tahun 1959.
Maka Amrus Natalsya sendiri kemudian pada tahun 1961 mendirikan Sanggar Bumi Tarung (SBT) bersama dengan kawan-kawannya seperti Ng Sembiring, Kuslan Budiman, Isa Hasanda, Djoko Pekik, Suhadjijo Pudjanadi, Sutopo, Gumelar, Muryono, Gultom dll., termasuk saya sendiri.
Pertarungan politik dan ideologi yang semakin tajam dalam skala global dan nasional di antara dua kubu yang saling pertentangan. Mau tak mau telah menyeret dan melibatkan diri mereka untuk bersikap dan berpihak kepada salah satu pilihan dari dua alternatif.
Jika Sanggar Bambu bernuansa nasionalis moderat. Banyak melangkah di jalur abu-abu (grey-area) yang relatif aman. Maka sanggar Bumi Tarung (SBT) karena berada sebagai organ lembaga senirupa Lekra. Otomatis dianggap secara a priori sebagai kelompok ekstremis kiri.
Setelah meletus peristiwa G30S 1965. SBT telah menerima konsekwensinya yang parah sebagai korban tragedi kemanusiaan. Di mana hampir seluruh anggotanya ditahan sebagai tapol. Sekitar 6 orang dibuang di kamp konsentrasi gulak tropis Pulau Buru. Dan ada 3 orang yang tewas terbunuh dalam libatan pembantaian massal di bawah tanggung jawab rezim otoriter Orde Baru.
Dengan demikian, kini dapat kita bayangkan lewat kilas balik imajiner. Makna perkawanan di antara seniman perupa alumni ASRI Sore dalam perjalanan sejarah. Seperti nasib yang dialami Soenarto PR dan Amrus Natalsya selaku mantan pimpinan sanggar senirupa yang anggotanya kebanyakan berasal dari alumni ASRI.

Foto bertiga : Lian Sahar, Amrus Natalsya dan Misbach Tamrin, saat berada didesa Sawahan, Yogya.....
Mereka berdua ibarat atau bagaikan 2 orang petarung nakhoda. Selaku pimpinan yang telah membawahi sedetasemen kelasinya masing-masing. Yang telah nembawa berlayar 2 buah bahtera yang berbeda. Mengarungi samudra kehidupan senirupa kita yang penuh gelombang ombak yang berdebur dengan dahsyat.
Dan tentu anda dapat menyimak tamsil dari makna perbedaan nasib dari kedua nakhoda. Berserta kelasi-kelasinya dalam bahtera mereka masing-masing.
Kini, baru sekian hari yang lalu. Soenarto PR, tokoh seniman perupa, pendiri Sanggar Bambu telah berpulang. Jadi hanya tinggal Amrus Natalsya seorang diri saja lagi. Selaku pendiri sanggar Bumi Tarung (SBT) berasal habitat dari alumni ASRI Sore yang hampir habis. Diantara lainnya yang sudah lama pada pergi.
Sebagai satu-satunya seniman perupa alumni ASRI Sore terakhir yang masih hidup. Beliau telah berada di usia senja. Sudah sering duduk di kursi roda sambil melukis. Dan kadang masih bisa sedikit memahat patung kayunya. Seolah-olah keberadaan kemampuan daya kerjanya berkarya di usia senjanya kini. Masih bisa ditunjang oleh kebangkitan kenangannya kepada waktu belajarnya di sore hari yang lampau. Ketika berada ditengah kawan-kawannya se ASRI Sore di Bintaran Lor Yogya, 64 tahun yang silam.....
***

0 komentar:

Posting Komentar