Selasa, 17 Juli 2018

Martin Aleida


Yayasan Lontar berencana mendokumentasikan profil audio-visual sekitar 40 penulis Indonesia. Entah kenapa saya terpilih. Kemarin, wawancara dengan saya berlangsung sekitar satu jam. Ada suasana datar, ada suasana ceria, dan ada dimana saya tak kuasa membendung emosi, pelupuk mata terasa didesak airmata.

Pewawancara yang manis, seusia putri saya, bertanya apa makna Indonesia bagi saya. 


"Saya tak meminta juga tak bisa menolak untuk menjadi Indonesia," kata saya.



Saya lahir di sebuah kampung di tepi Sungai Asahan. Sampai pada satu titik saya menyesali, untuk tidak mengutuk kekuasaan di negeri ini. Ketika baru duduk di bangku sekolah rakyat, saya sudah mengenal sastra modern. Saya deklamator terbaik di kota saya, juga di tingkat provinsi. 

G30S mengubah segala. Saya di perantauan, di Jakarta. Sebagaimana semua aliran sungai di negeri ini kepada siapa orang-orang tak tahu perkara ditebas dan dibuang jasadnya ke air yang mengalir, Asahan juga menyaksikan tubuh yang tersangkut di tebing sebelum hanyut ke muara. 

Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan yang agamis. Kakek saya menabuh beduk dan azan 5 kali sehari semalam (baca cerpenku Ziarah Kepayang di Kompas) untuk mengingatkan seisi kampung. Saya menempelkan tanda gambar Masyumi, pilihan ayah saya pada pemilu pertama di negeri ini, di tangga rumah. 

Suasana seperti di neraka yang tak pernah tertulis di kitab suci manapun, mencekam kemudian. Kakak dan abang saya, seluruh keluarga, begitu cemas, bukan pada nasib saya, tapi pada kekayaan yang ikut mendewasakan saya. Mereka mengumpulkan buku saya, juga dua piala, diam-diam memasukkannya ke dalam perahu dan membawanya ke daratan seberang. 

Di situ anak batin saya itu mereka kubur. Bukan kehendak hati mereka. Kuasa negeri ini membuat mereka takut. Agam Wispi, Pramoedya, Hamka, Gorki, juga kliping cerpen 'Kalung' Guy de Maupassant, dan tentu saja dua piala saya harus dikubur untuk memuaskan kuasa yang mabuk darah. 
Bagi kekuasaan saat itu buku pembawa bencana tak peduli apa yang tertulis di situ. Dalam wawancara itu saya ceritakan sejak bangku kelas dua SMA saya sudah menulis. 
"Apa motif Abang?" Karena terpesona setengah tak percaya bahwa ada orang yang bertarung untuk sesuap nasi. 
Itulah yang saya tulis. Namun, setelah rezim militer tumbang dengan sadar saya menyambut "The Call of The Wild" manakala kebebasan menulis menyingsing. 
Terus terang, saya tak ingin bersembunyi, saya menulis dengan bertendens. 

Saya menulis sebagai korban, tentang korban, untuk korban kepada siapa sastra ditakdirkan untuk memihak. Saya kecil hati melihat ratusan ribu yang jadi korban tidak menyadari kekuatan kata-kata. Mereka tak perlu menjadi penulis hebat. Surat mereka kepada istri, suami, yang ditulis apa adanya tentu akan menjadi monumen penting bagi bangsa ini untuk tidak mengulangi kebiadaban serupa. Menjelang akhir wawancara saya diminta untuk memberikan satu saja kata sifat tentang Indonesia. Tak perlu memejamkan mata, dalam satu tarikan nafas saya katakan: menggetarkan. 

(Foto: Dewi Noviami)

0 komentar:

Posting Komentar