Kamis, 12 Juli 2018

Narasi Realis-Humanis S. Rukiah dalam Sastra Revolusi

Ruth Indiah Rahayu*


Potret S. Rukiah. Kredit foto: wikiwand.com 

Baik kita belajar praktis di dalam romantik kita.

Bilamana tulisan dan ceritaku pagi ini tak panjang-panjang, itu bukan tanda bahwa sayangku padamu tidak panjang, tapi urusanku di luar kepanjangan kasih sayang, banyak pula yang panjang-panjang. Sementara dalam perkelahian ideologi dan pertempuran darah macam begini, kita pisahkan dulu kedua ruangan ini, dan masing-masing tak usah dibikin ucapan yang panjang-panjang

(S. Rukiah, Kejatuhan dan Hati)

BETAPA kita ingin mengumpulkan narasi revolusi kemerdekaan (pra dan pasca-kemerdekaan) dari sudut padang perempuan yang mengalami atau berada dalam aktivitas revolusi. Sebab narasi perempuan dalam revolusi kemerdekaan belum diungkap secara kaya.
Pun historiografi (nasional) Indonesia ketika menceritakan “pemuda revolusi” tak menceritakan aktivitas perempuan di dalamnya.
Sebenarnya, narasi perempuan dalam revolusi kemerdekaan dapat kita peroleh dari karya sastra atau tulisan perempuan pelaku revolusi. Salah satu narasi itu ditulis oleh S. Rukiah yang dikenal sebagai sastrawan perempuan sebelum terjadi Tragedi 1965.

Siapa Rukiah? Kiranya pembaca IndoPROGRESS tidak asing dengan nama ini. Meski tak ada salahnya disinggung sedikit tentang dirinya. Rukiah pernah menjadi anggota LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sayap sastra pada 1959, dan bersuamikan Sidik Kertapati –pejuang kemerdekaan Indonesia yang bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31. Sedikit tentang Sidik, pada 16 Agustus 1945 bersama dengan D.N. Aidit, Armunanto, A.M. Hanafi, dan pemuda revolusioner lainnya mempersiapkan kekuatan rakyat untuk mengamankan Proklamasi yang dibacakan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Kiranya Rukiah yang berasal dari Purwakarta bertemu dengan Sidik, mungkin dalam perang gerilya mempertahankan kemerdekaan melawan kembalinya Belanda antara 1945-1949, ketika Sidik bergerilya di Jawa Barat.

Pada masa perang gerilya itu, Rukiah telah bekerja sebagai guru sekaligus pengarang di sekitar Purwakarta (Jawa Barat) saja. Suasana perang gerilya itulah yang dinarasikan Rukiah yang berbobot karya sastra. Karyanya menceritakan tokoh protagonis perempuan yang seperti merepresentasikan gagasan-gagasannya tentang “perempuan zaman baru” (zaman emansipasi).

I

Hampir semua ide cerita dalam karya Rukiah mengungkapkan peperangan batin perempuan di masa revolusi kemerdekaan. Mungkin itu peperangan batin pengarangnya. Mungkin pula perempuan secara umum. Barangkali, karena masa produktivitasnya di tengah revolusi kemerdekaan, maka Rukiah lebih banyak menyeritakan kondisi peperangan batin yang dialami perempuan: antara memilih status quo (ikut Belanda) dan revolusi (ikut revolusi bersama pemuda). Perang batin itu berada dalam dunia batin personal (mikro) yang mempunyai korelasi sebab-akibat dengan urusan ideologi-politik (makro).

Pandangan dunia makro dengan sangat halus namun tandas telah berhasil dipertalikan oleh Rukiah ke dalam dunia mikro –rasio, perasaan, kesadaran— personal melalui tokoh-tokoh protagonis perempuan. Dengan begitu kita dapat merasakan hasrat yang tersembunyi dalam dunia mikro dan kepentingan yang manifes pada dunia makro perempuan menghadapi perubahan di tengah perang gerilya kemerdekaan.
Hasrat dan kepentingan perempuan itu diungkap oleh Rukiah dengan menggunakan bahasa yang gamblang, ekspresif, dan terkadang liris ke dalam skema konflik batin perempuan. Sebagai pembaca, kesatuan rasio dan perasaan kita diaduk-aduk dalam gairah revolusioner yang menyala, yang merah dan menggelora. Itulah yang menurut saya kekhasan karya Rukiah yang tak dapat diulang oleh siapa pun.

Ketika mengungkap peperangan batin para perempuan itu, Rukiah tidak menempatkan peperangan itu di atas lanskap problem ketidakadilan berdasarkan gender. Persisnya, dia tidak memaknakan peperangan batin perempuan oleh penyebab utamanya berasal dari struktur patriarki —dimana perempuan tersubordinasi ke dalam kuasa laki-laki. Rukiah bahkan menunjukkan kekuatan perempuan yang realis, yaitu yang rasional dalam menentukan pilihan untuk dirinya sendiri, dan kesanggupannya memikul konsekuensi-konsekuensi atas pilihannya.

Maka, bagi pembaca yang gemar narasi air mata, Anda tidak akan menemukan para perempuan yang ditokohkan Rukiah menjadi korban penipuan cinta laki-laki. Sebab, laki-laki yang ditokoh pun termasuk laki-laki “zaman baru” yang menghirup udara “modern”, udara emansipasi. Emansipasi yang disuarakan Rukiah, bukan hanya emansipasi relasi perempuan dan struktur sosialnya, bukan pula hanya emansipasi negara Indonesia dari kolonialisme, melainkan juga suatu harapan akan emansipasi kelas sosial.

II

Saya meminjam pisau analisa Michelle Barret[1] –seorang feminis sosialis– ketika menulis ulasan A Room of One’s Own karya Virginia Woolf. Ada tiga pisau analisa yang disampaikan Barret untuk karya Woolf, yaitu mengenai (1) karya Woolf sebagai produksi budaya (sastra) seorang perempuan yang masih tersisih dalam dunia sastra abad 20, (2) pembaca perempuan atas karya Woolf sebagai penerima produksi budaya, dan (3) tentang representasi perempuan yang diciptakan Woolf ke dalam diri tokoh protagonisnya. Menurut pandangan saya, tiga pisau analisa itu dapat kita gunakan untuk membaca lebih sistematis atas karya-karya Rukiah.

Pertama, sulit untuk ditolak bahwa Rukiah telah berhasil menerobos tembok produksi budaya di bidang sastra pada pertengahan abad 20 di Indonesia yang baru merdeka –dimana sudut pandang pengarang laki-laki sangat memberi corak tertentu terhadap produksi sastra pada masa itu. Dalam era pasca-Poejangga Baroe (disebut pula Angkatan 45) kiranya cukup banyak pengarang laki-laki menciptakan perempuan sebagai tokoh protagonis yang merepresentasikan kemajuan, yaitu kemajuan yang dibimbing oleh rasionalitas dan bukan oleh paham lama yang memuja irasionalitas, konservatisme, dll.

Contoh Pramoedya Ananta Toer telah memproduksi karya berjudul Larasati dalam latar revolusi. Larasati digambarkan sebagai perempuan yang memiliki sikap teguh di tengah perang untuk tetap berpihak pada republik, dan secara simbolis telah memberikan selendang merah kepada para pemuda yang sedang berperang. Barangkali karena Pram seorang pengarang laki-laki, maka ia kurang mampu mengungkap ke dalam dunia mikro Larasati, yaitu peperangan batinnya, atau dunia uncouncious motives tentang revolusi.

Hal ini berbeda dengan Rukiah, karena ia sendiri seorang perempuan, maka ketika ia menciptakan tokoh protagonis perempuan di dalam karyanya, maka ia mampu menyelam ke dasar uncouncious motives  perempuan tentang aneka hasrat yang disembunyikan maupun tersembunyi. Kita dapat membaca pada seluruh karya Rukiah, baik prosa maupun puisi, ungkapan peperangan batin perempuan itu sangat kuat dan mengaduk-aduk rasio dan perasaan pembaca. Pun Rukiah sangat efisien dalam memilih diksi, menggunakan bahasa, tidak bertele-tele dan terasa lugas.

Kekuatan gaya sastranya itu membuat Rukiah sebagai seorang pengarang perempuan yang bisa mendobrak majalah sastra bergengsi Poedjangga Baroe dan bekerja di sana bersama pengarang laki-laki lainnya (1948). Selain itu untuk pertama kalinya bagi seorang perempuan menerima hadiah BMKM (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) pada 1952 untuk karya prosa Kejatuhan dan Hati. Itu artinya, rasa sastra Rukiah –sastra perempuan sebagaimana karya Woolf—telah berhasil menerobos dunia sastra yang didominasi laki-laki.

Kedua, sayang kita masih belum tahu tentang fakta siapa pembaca karya-karya Rukiah pada masa itu, sebab setelah Tragedi 1965, Rukiah dan karya-karyanya dibantai oleh rezim Orde Baru. Pembaca di masa Orde Baru tak lagi mengenal Rukiah, melainkan lebih mengenal Ike Soepomo, Maria A. Sardjono, dll, yang menarasikan perempuan seperti burung dalam sangkar dan penuh isak tangis.
Maka sangat sulit bagi saya untuk menilai sejauhmana karya-karya Rukiah telah memberikan pengaruh, yaitu mengubah cara pandang pembaca perempuan pada masa itu. Sebagai contoh, karya-karya Woolf telah berhasil menyedot pembaca perempuan, dan memberikan pengaruh luar biasa, yaitu mampu membangun pertanyaan ke dalam diri perempuan itu tentang apa menjadi perempuan dan apa itu kebebasan?
Namun, saya mencoba mengatasi ketiadaan fakta tentang pembaca perempuan atas karya Rukiah dengan metode refleksivitas, yaitu saya menjadi pembaca masa sekarang untuk merasakan dan menilai peperangan batin perempuan di masa lalu.

Pertanyaannya sederhana: sejauhmana peperangan batin dalam gejolak revolusioner yang dinarasikan Rukiah itu terpantul ke dalam hasrat, rasio dan perasaan saya?
Seberapa jauh saya terpengaruh oleh gagasan emansipasi “zaman baru” yang direpresentasikan tokoh protagonis dalam narasi revolusi Rukiah?

Ini jawaban saya sebagai pembaca masa kini: bahwa kekuatan Rukiah ternyata tidak sekadar mengaduk perasaan/emosi pembaca sehingga pembaca keluar air mata. Rukiah bukan penulis yang membuat pembaca menjadi cengeng, meski topik yang ia ceritakan tentang cinta. Tetapi sekaligus tidak membuat pembaca menjadi terbakar oleh retorika ideologi, sehingga cinta antarpersonal tersubordinasi ke dalamnya.

Ini yang menarik bahwa Rukiah bermaksud untuk menyeimbangkan rasio dan perasaan dalam relasi yang dialektis. Pandangan yang umum beranggapan bahwa perempuan hanya mempunyai emosi dan rasionya kurang, tetapi Rukiah mampu menunjukkan sebaliknya. Memang rasio dan emosi berlangsung dalam pertentangan yang terus menerus, hingga para perempuan itu pada akhirnya harus mengambil keputusan: berdasarkan perasaan atau rasio! Dengan kata lain, di satu pihak hasrat perempuan terpenjara oleh “aturan-aturan sosial yang dibuat manusia”, dan di lain pihak perempuan mempunyai hasrat untuk merdeka dari penjara normatif itu.

Perang antara rasio dan perasaan seperti itu masih dialami oleh para perempuan abad milenium saat ini, tentu dengan latar yang berbeda, yaitu latar revolusi digital. Di tengah revolusi digital ini pintu kebebasan perempuan terbuka lebar, pilihan untuk menentukan nasib diri sendiri pun tersedia banyak, tetapi kebebasan itu bersifat virtual. Sementara, yang nyata, perempuan di Indonesia pada saat ini cenderung terpenjara kembali ke dalam norma yang ultra-konservatif, yang mengharuskan perempuan tidak mempunyai kebebasan memilih dalam berpakaian, menentukan usia perkawinan, menentukan suami, menentukan hak reproduksi dan poligami (poligini).

Setelah saya membaca karya-karya Rukiah itu, sebagai pembaca kelas borjuasi kecil –seperti halnya Rukiah, gagasan Rukiah yang diekspresikan melalui perang batin perempuan itu membuat saya tiba-tiba ingin berjarak dengan tindakan praktis sehari-hari, lalu mencari keheningan untuk reflexive dan mendengarkan perang batin antara rasio dan perasaan! Kiranya ekspresi Rukiah yang jujur dalam karya-karyanya itu sanggup menelanjangi ketakutan dan ketidakberanian diri sendiri melawan bangkitnya norma konservatif yang memenjara kembali perempuan.

Ketiga, tentang representasi perempuan sebagai tokoh protagonis. Dalam situasi revolusi, Rukiah menggambarkan peperangan batin perempuan: Apakah pergi berperang dengan tentara kanan atau laskar pemuda kiri? (dalam Kejatuhan dan Hati). Di rumah saja mengurus anak atau mencari suami yang “hilang” dalam revolusi? (“Istri Prajurit” dalam Tandus).
Menikah dengan laki-laki kaya untuk menyenangkan ibu atau mencari cinta bagi diri sendiri? (dalam Kejatuhan dan Hati) Memilih cinta laki-laki yang beroganisasi politik dan terjun ke dalam revolusi atau cinta laki-laki peragu yang terlalu banyak membaca buku dan berpikir? (“Antara Dua Gambaran” dalam Tandus). Hidup mengalir biasa dalam kemiskinan atau ikut gaduh dalam ketidakmenentuan revolusi? (“Mak Esah” dalam Tandus).
Semua itu adalah pilihan-pilihan yang mengepung para perempuan, baik perempuan terpelajar maupun yang buta huruf dan miskin. Di antara pilihan-pilihan itu Rukiah berupaya memenangkan “suara hati perempuan”, yang berdiri sebagai “pihak ketiga” atau mensintesiskan kontradiksi antara rasio dan perasaan.

Dalam Kejatuhan dan Hati, sebagai contoh, cara pandang dunia Ibu yang diajarkan kepada tiga anak perempuannya adalah: carilah suami kaya agar dapat membalas budi ibu yang telah membesarkan mereka! Cara pandang dunia Ibu semacam ini sungguh berdiri di luar konstestasi ideologi sosialisme, kapitalisme/kolonialisme/imperialisme, nasionalisme, Islamisme, atau lainnya.
Cara pandang Ibu itu membimbing dan sekaligus menciptakan peperangan batin anak-anak perempuan dalam menentukan masa depannya sendiri. Cara pandang Ibu itu melampaui ideologi revolusi yang saat itu sedang membara. Cara pandang Ibu itu bahkan melampaui cara pandang suaminya untuk membebaskan pilihan hidup anak-anak perempuannya. Apakah dalam hal ini Rukiah sedang melayangkan kritik kepada cara pandang yang memuja kebendaan, sehingga tolok ukur terhadap cinta pun berdasarkan kepemilikan atas harta kekayaan? Saya berpendapat bahwa Rukiah sedang melayangkan kritik kepada cara pandang kebendaan melalui tokoh Ibu (representasi “adat dan paham lama” atau konservatisme), dan cara pandang ini lantas mendapat kritik (perlawanan) dari Susi (anak Ibu) sebagai representasi cara pandang baru yang membebaskan pilihan perempuan, dan yang kemudian diteguhkan oleh Lukman kekasih Susi (representasi dari cara pandang sosialisme).

Di tengah perang batin Susi berada antara pandangan dunia Ibu dan Lukman, Rukiah meneguhkan pilihan suara hati Susi, yaitu membuang yang tidak logis dari pandangan Ibu dan Lukman, dan menerima yang logis dari keduanya. Dengan kata lain, melalui representasi Susi, Rukiah menyodorkan pandangannya mengenai posisi realis seorang perempuan borjuasi kecil di tengah revolusi. Pada masa itu yang telah mampu memikirkan dan memutuskan atas pilihan-pilihan adalah perempuan borjuasi kecil (yang terpelajar) seperti Susi, sementara perempuan rakyat pekerja miskin seperti Mak Esah (“Mak Esah” dalam Tandus) telah terstruktur dalam posisi kelas yang tidak bisa memilih, kecuali mati!

Kiranya revolusi kemerdekaan pada masa itu belum mampu membebaskan perempuan seperti Mak Esah yang miskin, melainkan baru mampu membebaskan perempuan seperti Susi yang berasal dari keluarga borjuasi kecil.

III

Menurut klasifikasi perkembangan genre sastra di Indonesia, Rukiah menurut saya dapat ditempatkan ke dalam genre sastra revolusi (populer disebut Angkatan 45) yang mempunyai ciri realis (dalam memotret kondisi sosial), humanis (dalam mengobsesikan kebebasan manusia) dan ekspresif (dalam arti estetika dan gaya bahasa). Ia realis dalam menarasikan gejolak personal dan revolusi, yaitu sebagaimana adanya.
Tetapi ia kritis dan tidak dogmatis dalam memeluk ideologi yang ia sebuat “merah”. Ia mengritik para penganut ideologi yang mekanik, yang seperti robot, dan alhasil kehilangan aspek manusianya. Dalam hal ini Rukiah memberi tempat pada kehendak bebas manusia untuk memperjuangkan emansipasi masyarakat dan negara sebagaimana manusia (bukan robot ideologi).

Singkatnya, karya Rukiah itu saya sebut realis-humanis dalam genre sastra revolusi (kemerdekaan nasional).

***
___________
[1] Michele Barret, “Introduction”, dalam Woolf, V, A Room of One’s Own and Three Guiness, (Harmondsworth: Penguin, 1983)

Pertama dimuat di IndoProgress 


0 komentar:

Posting Komentar