Minggu, 08 Juli 2018

"Jenderal, di manakah kubur mereka ?" [1]

Oleh: Yoseph T Taher


1 Oktober 1965 merupakan titik awal masa kegelapan bumi Indonesia. Enam Jenderal, petinggi Angkatan Darat Indonesia, diculik dan dibunuh oleh para militer dibawah pimpinan Letkol. Untung Samsuri dalam suatu gerakan yang dinamakan “Gerakan 30 September” atau disingkat G30S. 
Hanya beberapa jam setelah itu Jendreal Angkatan Darat lainnya, Soeharto, Panglima Komando Strategi Angkatan Darat, yang tidak diutak-utik oleh Gerombolan Untung, dalam hal ini, seperti sudah tahu sebelumnya, bertindak cepat menghabisi gerombolan G30S yang dipimpin oleh Untung Samsuri yang tidak lain adalah anak angkat mantu Jenderal Soeharto sendiri. 
Soeharto, yang pada zaman Kolonia Belanda adalah seorang Sersan KNIL/ tentara Belanda, tidak tanggung-tanggung dalam menghabisi para gerombolan ini, bahkan lebih jauh melakukan rekayasa dan fitnah serta membakar emosi dan kebencian rakyat dengan menuduh bahwa PKI berada dibalik layar, sebagai dalang dari G30S ini. 
Golongan pemuda dari berbagai massa, dihasut dan dipersenjatai oleh Angkatan Darat untuk menumpas PKI dan semua anggotanya. Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhi Wibowo yang menjadi kepercayaan Soeharto bertugas membantai 3 juta anggota komunis di Jakarta, Jateng, Jatim dan Bali, disamping para oramas milisia yang dipersenjatai dan bertindak sama di daerah-daerah lain di Indonesia. 
Pembunuhan berlangsung dimana-mana. Tubuh manusia-manusia yang diduga sebagai PKI terkapar dimana-mana, bahkan tidak sedikit yang kepalanya dipenggal dan dipertontonkan disepanjang tepi jalan, sedang tubuhnya dibuang kesungai-sungai, merapung memenuhi permukaan air hingga berbulan-bulan rakyat takut dan merasa jijik memakan ikan sungai! Pembunuhan merajalela dibumi persada dibawah kendali dan sokongan Angkatan Darat. Dasar atau hukum yang digunakan adalah ‘dugaan” dan “indikasi” atau dianggap terlibat , tanpa perlu proses pengadilan. 
Tak heran kalau Bertrand Russel, seorang tokoh Liberal British pada tahun 1966 mengatakan : "...in four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years."-- Bertrand Russell, 1966 (Dalam empat bulan, manusia di Indonesia yang dibunuh, lima kali lipat dari jumlah manusia mati karena perang di Vietnam). 
Terror besar merajalela. Saling curiga mencurigai antara bangsa. Anak lawan bapak, paman lawan kemenakan, menantu lawan mertua, pekerja lawan majikan……tidak ada hukum samasekali. Manusia-manusia kaki tangan Angkatan Darat yang menjadi informan (tukang tunjuk) berkeliaran dimana-mana bahkan menjadi algojo buat orang-orang yang dituduh ‘ada indikasi’ sebagai PKI.
Karena begitu banyaknya manusia yang dibunuh, bagi yang tidak mungkin lagi dibunuh langsung, ditangkap dan ditahan diberbagai-bagai penjara dan rumah tahanan militer dan sipil. Diseluruh Indonesia, ratusan ribu manusia yang ditangkap dan ditahan dalam penjara dan rumah-rumah tahanan selama belasan tahun dengan kondisi yang sangat tidak manusiawi hingga banyak yang mati karena lapar dan sakit. 
Dikota Pekanbaru, Riau, keadaannya tak berbeda dengan lain-lain daerah di Indonesia.
SEORANG staf Kedutaan Besar Amerika di Jakarta melaporkan tentang teror militer-muslim yang langsung ditujukan melawan kaum buruh dalam perusahaan vital minyak Caltex: 
“Muslim dengan sepengetahuan dan pesetujuan pihak militer menjarah rumah-rumah komunis di dalam kota dan menutup gedung-gedungnya di daerah-daerah. Pihak militer menggerebek rumah-rumah pimpinan PKI dan memberitahukan pihak pimpinan perusahaan minyak Caltex pada 29 Oktober 65, akan rencana militer, yang bakal menangkapi anggota-anggota dan pimpinan buruh komunis Perbum, yang menjadi tulang punggung dan kekuatan PKI di Provinsi Riau.” (Mike Head/Marian Wilkinson, Sydney Morning Herald, 20 Juli 1999)
Pada tanggal 18 November 1965 (20 hari setelah pemberitahuan pihak militer kepada Manajer Caltex), maka pihak militer, dengan dibantu oleh organisasi-organisasi buruh muslim dan lokal, melakukan operasi penangkapan atas anggota dan pimpinan organisasi buruh minyak Perbum (Persatuan Buruh Minyak), di seluruh daerah perusahaan Caltex. 
Ratusan buruh, baik staf maupun non staf, ditangkap dan dikumpulkan dalam satu tempat tahanan yang bernama RTM, Rumah Tahanan Militer, di ibukota provinsi, Pekanbaru. 
Nampaknya tanggal 18 Nopember 1965 adalah sebagai awal ‘hari penangkapan’ yang berlaku serentak diseluruh Indonesia dan sepertinya sudah diatur dan diperintahkan oleh “sang atasan” yaitu para Jenderal Angkatan Darat di Jakarta. Bagi perusahaan minyak asing Caltex, bukanlah hal yang sulit untuk mengetahui siapa yang menjadi anggota Perbum, karena semenjak 1 Mei 1964, telah ditandatangani suatu Persetujuan Bersama antara kaum buruh dan majikan, yang disebut CLA (Colective Labour Agreement), di mana kaum buruh diwajibkan memberi surat pernyataan yang ditandatangani kepada majikan untuk memotong gajinya Rp100/bulan guna diserahkan kepada organisasi yang dipilih oleh buruh. Dengan demikian, seluruh buruh minyak yang menjadi anggota Perbum, yang merupakan 75% dari jumlah semua buruh, terdaftar namanya pada perusahaan minyak Caltex! 
Dan ketika tiba saat militer yang dibantu organisasi buruh muslim dan lokal (PPC, Persatuan Pegawai Caltex), dengan mudah menangkapi anggota-anggota Perbum yang dituduh sebagai organisasi buruh komunis, yang jumlahnya tidak kurang dari tiga ribuan. 

(bersambung ke bagian 2)

0 komentar:

Posting Komentar