Senin, 15 Februari 2016

Kediri dan Huru-haranya Menjelang G-30-S PKI


Senin, 15 Februari 2016 12:00


Bila mengenang sejarah kota Kediri, umumnya orang selalu mengaitkannya dengan  sejarah raja-raja dan tokoh-tokoh Jawa khususnya dari kerajaan Kadiri seperti Joyoboyo, Dhaha (raja Panjalu), Empu Sendok, R Wijaya, dan Airlangga. Itu merupakah sejarah Kediri  jauh sebelum terbentuk  atau wujudnya bangsa dan negara Indonesia ini.

Sementara itu,  pasca Indonesia merdeka, daerah Kediri secara historis ternyata dikenal pula menjadi salah satu basis massa PKI dengan simpatisannya yang fanatik. Pada saat bersamaan Kediri merupakan basis kaum santri dan warga NU yang di sana terdapat banyak kiai dan berdiri banyak pondok pesantren. Beberapa literatur menyebutkan bahwa di daerah yang dilewati sungai Brantas ini memang pernah terjadi konflik hebat antara pendukung komunis dan antikomunis khususnya saat-saat meletusnya peristiwa G-30-S tahun 1965.

Akhir-akhir ini tidak sedikit pihak seperti LSM acap menyalahkan dan menyudutkan secara berlebihan tidak hanya kepada golongan pemuda NU waktu itu, tapi juga PNI, Kristen, Katolik dan lain-lain dari kelompok yang ketika itu merasa terancam dengan adanya PKI, dan selanjutnya mereka melakukan aksi balas dendam setelah adanya kabar "peristiwa Gestapu" bahwa sejumlah perwira TNI diculik dan dibunuh gerakan tentara yang diatur PKI. Bahkan ada yang menuduh orang NU lah baru kemudian kalangan marhaenis yang mengambil inisiatif pembalasan dendam yang kali ini posisi PKI menjadi korban dan musuh pelbagai golongan tadi.

Maka agar berita seputar ini ada perimbangan, di bawah  ini penulis sajikan kembali catatan naratif Abdul Wahid Asa, mantan pemimpin umum majalah Aula, yang menyaksikan sendiri bagaimana situasi kota Kediri tempo itu jelang meletusnya peristiwa G-30-S PKI. Berikut kesaksian Abdul Wahid Asa:

"Tahun 1964-1965 di Kediri PKI sedang mengalami masa moncernya. Setiap hari mereka pamer kekuatan di jalan-jalan kota sampai pelosok desa.

Mereka berbondong-bondong berkumpul di alun-alun. Yang laki-laki rata-rata berpakaian serba hitam. Perempuannya berkebaya warna-warni. Kebanyakan mereka mengenakan capil, yaitu topi bambu berbentuk kerucut yang biasa dipakai para petani waktu ke sawah. Capil tersebut bertuliskan BTI (Barisan Tani indonesia) atau Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). keduanya adalah anggota mantel PKI. Di sela-sela lautan manusia itu, puluhan kelompok seniman jaranan (kuda lumping) sedang unjuk kebolehan. Terompetnya mendendangkan lagu genjer-genjer.

Di sisi utara alun-alun didirikan tribun dan sebuah panggung, tempat para pimpinan memberikan arahan. Rupanya mereka sedang mengadakan kampanye pengganyangan tujuh setan kota dan tujuh setan desa yang mereka sebut sebagai para setan ini adalah musuh rakyat.

Satu di antara setan itu adalah tuan tanah. Yang mendapat julukan begitu ialah petani yang memiliki tanah lebih dari dua hektar. Sehingga dengan propaganda ini, setiap orang Islam yang kaya adalah musuh rakyat yang harus dilenyapkan.

Setelah beberapa orang manggung, barisan rakyat ini bergerak keliling sambil memekikkan yel ganyang setan kota, ganyang setan desa.  Orang-orang yang ikut menyaksikan di sepanjang jalan juga harus ikut menyahut teriakan mereka dengan kata ganyaaang! Bila tidak  mereka akan dituduh sebagai kontra revolusi dan itu berarti sebagai sasaran ganyang.

Aksi semacam itu terus menerus diadakan. Dalihnya ada saja: memperingati hari besar ini-itu, hari ulang tahun organisasi ini-itu, dan segala macam.

Maka untuk melaksanakan hal itu, setelah kembali ke desa, mereka mengadakan aksi sepihak. Wujudnya berupa menyerobot tanah-tanah pak haji untuk dibagi-bagikan kepada rakyat (anggota PKI). Bila pemiliknya menunjukkan keberatan, langsung diganyang dengan dianiaya, seringkali sampai tewas.

Akibat hal ini, setiap hari ada berita kekisruhan di berbagai desa. Di Desa Jengkol, Adan-adan, Tiru, Satak, dan lain-lain terjadi bentrok antara BTI yang mengadakan aksi sepihak dari pemuda Ansor yang membela pak haji. Di Kanigoro Kecamatan Kras terjadi penyerbuan terhadap PII (Pelajar Islam Indonesia) yang sedang mengadakan training.

Dengan ulah PKI ini suhu politik jadi memanas. Antar warga masyarakat terjadi saling curiga, yang satu merasa terancam oleh lainnya. Hal ini mendorong para kiai mengadakan penggemblengan  kepada para santri dan keluarganya. Mereka diberi wirid dan azimat yang bisa menumbuhkan keberanian, kekuatan dan kekebalan. Suasana siaga dan waspada tercipta dengan sendirinya.

Betul juga. Tak lama sesudah itu  RII menyiarkan pengumuman dewan revolusi adanya gerakan 30 September, orang segera menafsirkan: inilah wujud dari gerakan PKI. Mereka membunuhi dengan kejam beberapa jendral yang dituduh antek Nekolim dan memasukkannya ke dalam sumur di lubang buaya. Memang betul ketua CC PKI DN Aidit dan koleganya terlibat langsung peristiwa itu." Demikian catatan naratif Abdul Wahid Asa dalam kolom pembuka majalah Aula edisi Mei 2007.   (M. Haromain)



Bila mengenang sejarah kota Kediri, umumnya orang selalu mengaitkannya dengan  sejarah raja-raja dan tokoh-tokoh Jawa khususnya dari kerajaan Kadiri seperti Joyoboyo, Dhaha (raja Panjalu), Empu Sendok, R Wijaya, dan Airlangga. Itu merupakah sejarah Kediri  jauh sebelum terbentuk  atau wujudnya bangsa dan negara Indonesia ini.

Sementara itu,  pasca Indonesia merdeka, daerah Kediri secara historis ternyata dikenal pula menjadi salah satu basis massa PKI dengan simpatisannya yang fanatik. Pada saat bersamaan Kediri merupakan basis kaum santri dan warga NU yang di sana terdapat banyak kiai dan berdiri banyak pondok pesantren. Beberapa literatur menyebutkan bahwa di daerah yang dilewati sungai Brantas ini memang pernah terjadi konflik hebat antara pendukung komunis dan antikomunis khususnya saat-saat meletusnya peristiwa G-30-S tahun 1965.

Akhir-akhir ini tidak sedikit pihak seperti LSM acap menyalahkan dan menyudutkan secara berlebihan tidak hanya kepada golongan pemuda NU waktu itu, tapi juga PNI, Kristen, Katolik dan lain-lain dari kelompok yang ketika itu merasa terancam dengan adanya PKI, dan selanjutnya mereka melakukan aksi balas dendam setelah adanya kabar "peristiwa Gestapu" bahwa sejumlah perwira TNI diculik dan dibunuh gerakan tentara yang diatur PKI. Bahkan ada yang menuduh orang NU lah baru kemudian kalangan marhaenis yang mengambil inisiatif pembalasan dendam yang kali ini posisi PKI menjadi korban dan musuh pelbagai golongan tadi.

Maka agar berita seputar ini ada perimbangan, di bawah  ini penulis sajikan kembali catatan naratif Abdul Wahid Asa, mantan pemimpin umum majalah Aula, yang menyaksikan sendiri bagaimana situasi kota Kediri tempo itu jelang meletusnya peristiwa G-30-S PKI. Berikut kesaksian Abdul Wahid Asa:

"Tahun 1964-1965 di Kediri PKI sedang mengalami masa moncernya. Setiap hari mereka pamer kekuatan di jalan-jalan kota sampai pelosok desa.

Mereka berbondong-bondong berkumpul di alun-alun. Yang laki-laki rata-rata berpakaian serba hitam. Perempuannya berkebaya warna-warni. Kebanyakan mereka mengenakan capil, yaitu topi bambu berbentuk kerucut yang biasa dipakai para petani waktu ke sawah. Capil tersebut bertuliskan BTI (Barisan Tani indonesia) atau Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). keduanya adalah anggota mantel PKI. Di sela-sela lautan manusia itu, puluhan kelompok seniman jaranan (kuda lumping) sedang unjuk kebolehan. Terompetnya mendendangkan lagu genjer-genjer.

Di sisi utara alun-alun didirikan tribun dan sebuah panggung, tempat para pimpinan memberikan arahan. Rupanya mereka sedang mengadakan kampanye pengganyangan tujuh setan kota dan tujuh setan desa yang mereka sebut sebagai para setan ini adalah musuh rakyat.

Satu di antara setan itu adalah tuan tanah. Yang mendapat julukan begitu ialah petani yang memiliki tanah lebih dari dua hektar. Sehingga dengan propaganda ini, setiap orang Islam yang kaya adalah musuh rakyat yang harus dilenyapkan.

Setelah beberapa orang manggung, barisan rakyat ini bergerak keliling sambil memekikkan yel ganyang setan kota, ganyang setan desa.  Orang-orang yang ikut menyaksikan di sepanjang jalan juga harus ikut menyahut teriakan mereka dengan kata ganyaaang! Bila tidak  mereka akan dituduh sebagai kontra revolusi dan itu berarti sebagai sasaran ganyang.

Aksi semacam itu terus menerus diadakan. Dalihnya ada saja: memperingati hari besar ini-itu, hari ulang tahun organisasi ini-itu, dan segala macam.

Maka untuk melaksanakan hal itu, setelah kembali ke desa, mereka mengadakan aksi sepihak. Wujudnya berupa menyerobot tanah-tanah pak haji untuk dibagi-bagikan kepada rakyat (anggota PKI). Bila pemiliknya menunjukkan keberatan, langsung diganyang dengan dianiaya, seringkali sampai tewas.

Akibat hal ini, setiap hari ada berita kekisruhan di berbagai desa. Di Desa Jengkol, Adan-adan, Tiru, Satak, dan lain-lain terjadi bentrok antara BTI yang mengadakan aksi sepihak dari pemuda Ansor yang membela pak haji. Di Kanigoro Kecamatan Kras terjadi penyerbuan terhadap PII (Pelajar Islam Indonesia) yang sedang mengadakan training.

Dengan ulah PKI ini suhu politik jadi memanas. Antar warga masyarakat terjadi saling curiga, yang satu merasa terancam oleh lainnya. Hal ini mendorong para kiai mengadakan penggemblengan  kepada para santri dan keluarganya. Mereka diberi wirid dan azimat yang bisa menumbuhkan keberanian, kekuatan dan kekebalan. Suasana siaga dan waspada tercipta dengan sendirinya.

Betul juga. Tak lama sesudah itu  RII menyiarkan pengumuman dewan revolusi adanya gerakan 30 September, orang segera menafsirkan: inilah wujud dari gerakan PKI. Mereka membunuhi dengan kejam beberapa jendral yang dituduh antek Nekolim dan memasukkannya ke dalam sumur di lubang buaya. Memang betul ketua CC PKI DN Aidit dan koleganya terlibat langsung peristiwa itu." Demikian catatan naratif Abdul Wahid Asa dalam kolom pembuka majalah Aula edisi Mei 2007.   (M. Haromain)

0 komentar:

Posting Komentar