Rabu, 24 Februari 2016

Komnas HAM sebut pemda jadi bagian massa intoleran

Wartawan BBC Indonesia
24 Februari 2016

Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jakarta, Selasa (23/02), mengundang Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan bahwa pemerintah kabupaten/kota adalah pelaku yang paling banyak diadukan melakukan dugaan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Bahkan, pemerintah daerah justru menjadi bagian dari massa intoleran dan turut berpartisipasi dalam perbuatan intoleran.
Dalam laporan Komnas HAM yang dikemukakan dalam Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jakarta, Selasa (23/02), pemerintah kabupaten/kota menempati peringkat tertinggi pada daftar pihak yang diadukan sebagai pelaku dugaan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan keyakinan dengan 36 kasus dari total 93 kasus sepanjang 2015.
Komnas HAM menilai hal ini terjadi karena Pemda tidak berani berhadapan dengan massa intoleran.
Pemda justru menjadi bagian dari massa intoleran dan turut berpartisipasi dalam perbuatan intoleran.
“Kecenderungannya, pemerintah daerah mengikuti apa yang diinginkan kelompok intoleran. Komnas HAM melihat pelaku pelanggaran HAM yang ditindak, tidak lantas kemudian kelompok korban yang disuruh mengalah dan dikorbankan,” kata Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM, Jayadi Damanik.
“Dari yang kami temukan, (peraturan) ini ditiru kabupaten/kota dan sekaligus menjadi alat kelompok-kelompok tertentu alat pembenar untuk melakukan kekerasan terhadap Ahmadiyah,” kata Jayadi kepada wartawan BBC Indonesia.
Hak atas fotoAP
Image captionAksi kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah terjadi di Pandeglang, 2011 lalu.

Mudah membuat aturan

Dihadapkan pada temuan Komnas HAM, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menilai Pemda terlalu mudah membuat berbagai aturan yang bertentangan dengan Konstitusi.
Dia mengklaim telah mengembalikan 139 Perda yang bermasalah dan bertentangan dengan undang-undang hingga awal tahun ini.
"Kebanyakan Perda yang kami kembalikan bertentangan dengan undang-undang diatasnya. Misal, wanita kalau sendirian di atas jam 22.00 ditangkap. Lah kalau dia kerja sampai malam? Ada wali kota mau buat aturan di daerahnya semua perempuan harus berjilbab, padahal ada sembilan persen yang beragama non-Muslim. Nah itu harus dilihat," ujar Tjahjo.
Lantas, apakah ada langkah lanjutan dari Kemendagri? “Ya pokoknya sudah kami ingatkan. Kalau tetap nekad, kami coret, itu saja.”
Lain halnya dengan Mendagri, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin merespons temuan Komnas HAM dengan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama yang tengah disiapkan.
”Pemerintah akan mencatat hasil pertemuan ini dan menjadi pijakan bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan-kebijakannya. Ini momentumnya pas karena kami di Kementerian Agama tengah menyiapkan RUU Perlindungan Umat Beragama. Kami berharap tahun ini bisa selesai sehingga tahun depan bisa dibahas dengan DPR,” kata Lukman.
Hak atas fotoREUTERS
Image captionMassa membakar sebuah gereja di Aceh Singkil, 2015 lalu.

Menyusup ke birokrasi

Temuan Komnas HAM bahwa pemerintah kabupaten/kota kerap menjadi bagian dari massa intoleran dikuatkan oleh pengamatan staf khusus Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani.
Dalam diskusi tentang Kebebasan Agama, Gerakan Takfiri dan Deradikalisasi, di Jakarta, Senin (22/02), Jaleswari mengungkapkan bahwa sikap intoleransi telah menyusup ke dalam masyarakat, termasuk birokrasi.
Dia menyebut ada pegawai negeri sipil yang masuk dalam organisasi massa yang intoleran, menolak Pancasila, dan mendirikan khilafah atau negara Islam.
Birokrasi pemerintahan, kata Jaleswari tidak steril dengan nilai-nilai fundamentalisme dan itu tidak dapat dikontrol. Tetapi, menurut dia, seharusnya negara yang diwakili oleh pemimpin tidak seharusnya bekerja sama atau berkompromi dengan kelompok-kelompok intoleran.
Image captionPemerintah dinilai punya andil penting dalam menyuburkan iklim toleransi maupun intoleransi.
Yenni Wahid dari Wahid Institute menilai pemerintah pusat sejatinya tidak punya rancangan besar dalam menangani kasus-kasus intoleransi.
”Pemerintah pusat tampaknya belum punya blueprint (cetak biru) bagaimana harus menghadapi kasus-kasus itu. Kami melihat negara bisa punya peran luar biasa dalam hal menyuburkan iklim toleransi maupun intoleransi,” kata Yenni.
Imdadun Rahmat selaku pelapor khusus kebebasan beragama dan berkeyakinan dari Komnas HAM mencatat pemerintah masih menerapkan sejumlah kebijakan diskriminatif, seperti UU Nomor1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama.
Lalu ada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat.
Dalam laporannya, Komnas HAM menyebut Jemaah Ahmadiyah sebagai pihak yang paling sering menjadi korban pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 17 kasus dari 93 kasus.
Adapun Jawa Barat menempati peringkat teratas dalam daftar pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkeyakinan berdasarkan sebaran wilayah peristiwa dengan 20 kasus dari 87 kasus.

Sumber: BBC Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar