Kamis, 02 Juli 2015

Wajah Perbukuan Indonesia di Frankfurt Book Fair 2015

Rizky Sekar Afrisia, CNN Indonesia | Kamis, 02/07/2015 16:54 WIB

Ilustrasi buku. (Flickr/timetrax23)

Jakarta, CNN Indonesia -- Stan seluas dua ribu meter persegi di Frankfurt Book Fair 2015 bakal menjadi wadah Indonesia menampilkan segala imajinasinya. Tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan dalam ajang festival buku terbesar dunia itu.

Ratusan buku bakal dipamerkan. Puluhan penulis didatangkan. Sajian-sajian kuliner lezat dihidangkan. Keberagaman Indonesia dinomorsatukan. Persis seperti tema Komite Nasional, "17.000 Islands of Imagination".

Keberagaman itu pula yang digarisbawahi Ronny Agustinus dari penerbit Marjin Kiri, yang ikut berangkat memamerkan buku-bukunya ke Frankfurt Book Fair 2015. Perdebatan soal siapa yang berangkat dan tidak, atau tema utama bayangan, menurutnya lebih baik tidak dilanjutkan.


Dalam tulisannya di dinding Facebook, Kamis (2/7) Ronny mengutip Paulo Coelho yang pernah protes sampai tak berangkat ke Frankfurt saat Brasil menjadi tamu kehormatan pada 2013. Alasannya waktu itu, ada beberapa penulis muda yang menurutnya layak tapi tak diberangkatkan.

"Ini menunjukkan bahwa medan sastra di mana pun ya selalu memiliki pihak-pihak yang dominan atau berusaha mendominasi, yang kemudian dikritik oleh generasi yang lebih baru dan lebih segar. Jelas tidak ada yang salah dengan kritik-kritik ini," tulisnya.

Diwawancara CNN Indonesia pagi tadi, Ronny tidak mau berkomentar banyak soal kisruh Frankfurt Book Fair 2015. Ia hanya menekankan pentingnya merepresentasikan wajah sastra Indonesia secara utuh sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair tahun ini.

"Tema keberagaman yang luar biasa itu harus mewakili semuanya, meskipun susah karena banyak problem yang mengakar," kata Ronny.

Salah satu masalah adalah soal database penulis. Indonesia belum punya data pasti semua buku yang terbit, baik melalui penerbit besar maupun terbit secara independen. "Kita juga jarang tahu penulis dari Indonesia Timur, seperti Papua. Itu harus dihadirkan," ujarnya.

Selain daerah, genre juga harus representatif, kata Ronny. Meskipun lagi-lagi, kenyataannya susah. "Seperti ada tuntutan pembaca (Jerman) lebih fokus ke sastra. Jadi sastra mendapat porsi khusus. Tapi masih banyak lagi kok yang bisa kita tampilkan," kata Ronny melanjutkan.

Mengapa penting?

Intinya, kalau bisa Indonesia menyuguhkan semua yang dimiliki. Sebab Ronny sendiri sudah merasakan pentingnya berangkat ke Frankfurt. Tahun lalu Marjin Kiri ikut memamerkan buku-bukunya di sana. "Hadir di sana membawa exposure besar secara internasional," ujarnya.

"Boleh bilang ini enggak penting. Kehadiran kita di sana tidak akan langsung membereskan masalah internal perbukuan. Tapi kita jadi punya jaringan internasional," lanjut Ronny.

Selama ini antara penerbit dalam negeri dengan asing, yang bisa memasarkan karya-karya penulis Indonesia lebih luas ke luar, hanya saling kontak melalui surat elektronik atau paling banter telepon. Dengan bertemu muka, jaringan yang terjalin jadi lebih erat.

"Ada kepercayaan lebih yang terbangun."

Hadir di sana membawa exposure besar secara internasional.Ronny Agustinus, Marjin Kiri
Tahun ini, Marjin Kiri menyiapkan beberapa buku unggulan. Namun belum ada yang diterjemahkan. Tidak seperti penulis yang syaratnya harus ada karya yang diterjemahkan, penerbit justru membawa karya unggulan yang belum diterjemahkan agar mendapat respons.

"Kita justru mencari jaringan ke sana. Buku yang dipamerkan dan dibawa penerbit untuk berdagang hak cipta itu beda," ujarnya.

Ronny menjelaskan, untuk buku-buku yang dibawa penerbit pun tidak ada seleksi dari Komite Nasional, khususnya Komite Buku. Hanya penerbitnya yang diseleksi. Soal pemilihan buku, diserahkan ke pertimbangan internal. "Tapi temanya akan beragam dengan sendirinya."

Ronny membenarkan Marjin Kiri punya "selera" buku yang berbeda. Namun, tidak semua yang ia bawa adalah tentang komunisme atau peristiwa 1965. Meskipun, ia tahu memang ada peminat khusus untuk tema-tema seperti itu.

"Di Jerman itu kan ada lingkungan eksil 1965. Tentu mereka tertarik membahas itu. Tapi tidak bisa dibilang juga itu yang paling diminati," ujarnya.

(rsa/rsa) 


Sumber: CNN Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar