Jumat, 03 November 2006

Sejarah Tanah Di Sambirejo

Friday, November 03, 2006

MENURUT hasil investigasi yang dilakukan dengan mewawancarai langsung para pelaku sejarah, —kendati mereka tidak ingat secara tepat tanggal kejadian— sejarah tanah yang saat ini sedang menjadi sengketa antara warga Sambirejo dan PTPN IX dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pada tahun 1942, Belanda meninggalkan Indonesia karena kalah oleh tentara Jepang. Di wilayah Sambirejo terdapat perkebunan serat nanas (Droog Culture) yang pernah dikelola oleh Belanda, tetapi tidak diteruskan oleh Jepang. Akibatnya tanah perkebunan itu menjadi terlantar. Demikian juga setelah Indonesia merdeka, tanah itu tetap dibiarkan begitu saja.

Menurut penuturan warga, masyarakat Sambirejo selalu ikut andil dalam menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia dengan cara merangsum atau membantu melayani kebutuhan tentara Republik Indonesia pada waktu itu. Mengingat kebutuhan pangan tentara kita semakin banyak, sedangkan lahan pertanian yang ada masih sempit, pada tahun 1947 warga berinisiatif untuk membakar bekas perkebunan serat nanas peninggalan pemerintah kolonial Belanda itu dan digunakan untuk bercocok tanam. Peristiwa pembakaran perkebunan tersebut dalam sejarah masyarakat daerah Sragen dikenal dengan istilah “Tanah Bumi Hangus”. Selanjutnya, warga menggarap lahan sesuai dengan kemampuannya masing-masing sehingga tidak beraturan. Oleh warga, tanah tersebut ditanami palawija guna kepentingan perjuangan tentara. Tahun 1949, setelah tentara Republik Indonesia meninggalkan daerah Sambirejo, warga Sambirejo dan Kedawung pun mulai mencari lahan garapan masing-masing.

Baru pada tahun 1954, pemerintah desa melakukan penertiban penggarapan tanah dan diatur agar warga mendapat bagian secara merata. Pembagiannya diatur sbb: Pertama, bagi kuli setengah lawas mendapatkan bagian 15 larik (sekitar ½ ha); Kedua, bagi kuli setengah anyar mendapat bagian 2000 m2; dan Ketiga, bagi yang berstatus kuli kenceng tidak mendapatkan bagian karena sudah mempunyai sawah. Sejak saat itu, petani mendirikan rumah dan mengerjakan tanah tersebut dengan tekun sebagai sumber penghidupan. Pada masa itu belum populer istilah sertifikat tanah dan hanya dilandasi rasa saling percaya diantara sesamanya dan diketahui oleh para perangkat pemerintahan sebagai adat yang hidup dalam masyarakat. Baru pada tahun 1964 masyarakat (secara perwakilan) mendapatkan kekuatan hukum berupa hak milik atas tanah yang mereka tempati sebagai lahan pertanian dan pemukiman. Kekuatan hukum itu berupa Kutipan SK Kepala Inspeksi Agraria Jawa Tengah dan Surat Keterangan Pemberian Hak Milik oleh Direktorat Jenderal Inspeksi Agraria Propinsi Jawa Tengah, baik secara perwakilan maupun individu.

Namun pada tahun 1965, Pemerintah melalui Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) —sekarang telah berubah menjadi PTPN IX— hendak menyewa tanah yang dikuasai petani itu untuk proyek perkebunan karet. Mereka akan menyewa selama 25 tahun dan akan memberikan uang ganti rugi kepada petani pemilik lahan sebesar 2.500 rupiah per bagian (sekitar 2000 m2). Warga tentu saja sangat keberatan dengan rencana tersebut karena tanah itu adalah satu-satunya sumber penghidupan mereka. Namun, PPN nekat. Demikian juga dengan warga. Demi mempertahankan tanah tersebut masyarakat berjuang sekuat tenaga untuk menolak rencana tersebut. Maka perlawanan pun berlangsung sengit terhadap niat PPN itu; jika PPN membuat lobang untuk ditanami karet, warga menutup lobang tersebut atau mencabuti tanaman karet yang ditanam dan menggantinya dengan pohon pisang. Kejadian ini berulang sampai beberapa kali dan warga menamai peristiwa ini dengan sebutan “AKSI”.

Namun bersamaan dengan itu, rupanya oknum perangkat desa melakukan intimidasi terhadap warga serta berhasil mengumpulkan/menyita surat-surat bukti kepemilikan tanah dari sebagian besar warga.

Aksi saling tanam-cabut antara PPN dan petani ini berlangsung sampai pada saat meletus Tragedi Nasional G-30-S tahun 1965. Menggunakan momentum ini, PPN dan aparat keamanan mendiskreditkan petani yang menentang rencana penanaman pohon karet sebagai anggota PKI.

Sebagian besar warga lelaki yang dianggap sebagai orang PKI (di-PKI-kan) ditangkap dan ditahan di Sragen. Bahkan mereka diperlakukan secara tidak manusiawi, disiksa dan disuruh kerja paksa. Tinggallah para perempuan, anak-anak dan orang-orang jompo yang tinggal di lahan pertanian itu dan mereka dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka itu. Jika mereka tidak mau, diancam bahwa rumah beserta isinya akan dibakar. Dengan sangat terpaksa ibu-ibu, anak-anak dan kaum jompo itu meninggalkan tanah dan rumah yang sudah mereka tempati selama bertahun-tahun. Bukti surat kepemilikan atas tanah yang dimiliki oleh warga pun diambil dan dimusnahkan. Rumah warga yang masih berdiri dimusnakan, hasil pertanian yang masih ada di rampas dan warga yang masih tinggal di lokasi diusir keluar. Tanah mereka pun dirampas secara paksa dan tanpa ada perlawanan lagi, PPN menanami lahan milik warga itu dengan pohon karet. Maka sejak tahun 1966, mulailah perusahaan perkebunan karet itu beroperasi.

Setelah tanah warga Sambirejo berubah menjadi perkebunan karet, kondisi kehidupan mereka pun berubah dari petani bertanah menjadi buruh tani dengan kondisi ekonomi yang lemah. Di sini jelas, bahwa pengambilalihan tanah tersebut yang dilakukan pemerintah (dalam hal ini PPN) tanpa mengindahkan kaidah hukum dan hak asasi manusia (HAM). Jadi, kalaupun PTPN IX selama ini memiliki HGU (Hak Guna Usaha) No. Sk.16/HGU/DA/82, ternyata mengandung banyak cacat secara yuridis dan administrasi.

Anehnya tahun 1974, keluar sertifikat Hak Milik Nomor 163 atas nama Wagimin di dusun Bayanan, Desa Jambeyan, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Padahal sampai sekarang di atas tanah tersebut masih terdapat tanaman karet.

Tahun 1982, perkebunan karet tersebut baru mendapatkan HGU berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No Sk.16/HGU/DA/82 pada tahun 1982 untuk PT Perkebunan XVIII.

Monco Kaki (Saksi Sejarah)
Berikut adalah kesaksian warga masyarakat Sambirejo yang selama ini tidak pernah terdengar. Kebanyakan dari mereka tidak berpendidikan dan tidak tahu kepada siapa akan mengadukan permasalahan tersebut. Pada masa reformasi ini kembali warga mempunyai keberanian dan bangkit untuk menyuarakan sejarahnya. Beberapa saksi tersebut adalah :

1. Sastro Mujimin (60 tahun)
Menurut Sastro, ayahnya bernama Kromokiman pernah memiliki tanah seluas 2500 m2 di lokasi perkebunan. Tanah tersebut diperoleh ayahnya pada tahun 1958 dan merupakan pemberian negara. Semula tanah tersebut dimiliki oleh Belanda, dan setelah merdeka tanah tersebut dibagikan kepada rakyat.

Kromokiman menanami tanahnya dengan tanaman kelapa dan berbagai macam tanaman lainnya. Namun anehnya, pada tahun 1965 ada perintah dari negara, dalam hal ini dilakukan oleh Kepala Desa bernama Demang, supaya tanah itu diberikan kepada negara.

Karena takut maka seluruh penduduk desa, termasuk ayah Sastro, menyerahkan tanah mereka kepada kepala desa, walaupun tidak ada alasan yang jelas untuk apa dan mengapa tanah itu diambil. Padahal saat tanah tersebut diambil, tanaman-tanaman di kebunnya sudah siap untuk dipanen. Tanaman milik warga yang siap dipetik hasilnya itu ditebangi karena ternyata tanah itu akan ditanami dengan pohon karet. Tidak ada ganti rugi sama sekali atas segala kerugian yang ditanggung oleh Kromokiman dan warga lainnya itu.

Sastro menuturkan bahwa pada waktu itu, banyak penduduk desa yang ditangkap karena dituduh terlibat PKI. Tidak sedikit dari mereka yang sebenarnya tidak tahu apa-apa terhadap tuduhan itu, tetapi tetap ditangkap. Hal ini menimbulkan ketakutan bagi Kromokiman dan penduduk desa lainnya sehingga mereka tidak berani menentang pengambilan paksa terhadap tanah mereka.

Sastro pernah bekerja di PT Perkebunan Karet selama 3 tahun. Sebab setelah tanah-tanah rakyat tersebut dikuasai oleh PTP, pihak perkebunan melalui Kepala Desa setempat menunjuk 3 orang per desa untuk bekerja menggarap kebun karet yang telah dikuasai PTP itu.

2. Mulyo Pawiro/Sirin (70 tahun)
Mulyo Pawiro atau Sirin sekarang tinggal di Mbayut, Jambeyan, RT 01/RW V, Sambirejo. Pria yang berasal dari Magetan, Jawa Timur ini menikah dengan Lamiyem, warga Sambirejo tahun 1942. Sejak itu, Sirin tinggal bersama isterinya di daerah Sambirejo. Sebelumnya ia juga pernah ikut Pakdhe-nya di Sunggingan, Jambeyan.

Menurut Sirin, tanah yang sekarang digunakan sebagai perkebunan karet itu dulu merupakan tanah yang disewa oleh Belanda, dan digunakan untuk perkebunan nanas dan kopi. Tahun 1942, setelah Belanda kalah dalam perang melawan Jepang (setelah Pearl Harbour diserang tentara Jepang), secara otomatis tanah perkebunan nanas di Sambirejo dikuasai oleh Jepang. Namun tanah tersebut tidak diusahakan oleh Jepang, melainkan dibiarkan ditelantarkan begitu saja.

Tahun 1945, Mulyo Pawiro mendapatkan tanah tersebut melalui Demang Sambirejo sebanyak ¼ bagian (¼ hektar) dan diberikan bukti kepemilikan berupa pethuk D dari kabupaten. Namun bukti pemilikan tanah itu kemudian diminta oleh Demang Sastro Sumarto, sekitar tahun 1964-an, dan sampai sekarang bukti pemilikan tanah tersebut tidak bisa ditemukan lagi.

Setelah pethuk D milik Sirin diambil Demang Sastro, tahun 1964, ada berita yang disampaikan oleh Lurah setempat yang menyatakan bahwa tanah itu akan disewa oleh pihak PPN selama lebih kurang 25 tahun. Sebenarnya dia tidak menginginkan tanahnya disewa oleh pihak PPN, tetapi Sirin terus dipaksa dengan berbagai macam cara. Misalnya dengan mengatakan bahwa apabila warga tidak memberikan tanahnya maka mereka dianggap sebagai orang PKI, atau dengan ancaman apabila warga tidak memberikan tanahnya, rumah mereka akan dibakar.

Tahun 1965 terjadilah tragedi nasional yang disebut G30S, sehingga tanah tersebut akhirnya menjadi "rebutan" masyarakat Sambirejo. Banyak orang-orang Sambirejo yang dituduh terlibat dengan G 30 S, termasuk di antara mereka adalah Mulyo Pawiro. Mereka dibawa oleh tentara dan polisi, dan ditawan di Sragen selama 3 bulan.

Sepulang dari tawanan, ternyata tanah milik Mulyo Pawiro sudah ditanami karet. Terpaksa dia hanya bisa menerima keadaan itu. Pada saat meminta tanah warga untuk perkebunan karet, Lurah Sambirejo pernah mengatakan, “oleh ora oleh kowe kudu oleh”, dan katanya untuk tanah milik Mulyo Pawiro seluas ¼ bagian ( ¼ hektar) itu akan mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 2.500 (dua ribu lima ratus rupiah). Namun uang yang pernah ditawarkan itu tidak pernah dia terima, dan memang tidak ada masyarakat Sambirejo yang mau menerimanya.

Mulyo Pawiro berharap tanah yang sekarang dikuasasi PTP itu dapat kembali sehingga hidupnya cukup. Dia juga berharap dan agar perjuangan untuk mendapatkan tanah perkebunan karet Sambirejo segera berhasil, karena selama ini dia tidak mampu membiayai kebutuhan anaknya, terutama untuk kepentingan pendidikannya. Padahal dia mengerti bahwa pendidikan bagi anak adalah bekal terpenting yang dapat diberikan oleh orangtua.

3. Parto Wiyono/Samin (75 tahun)

Parto Wiyono alias Samin mulai tinggal di Sambirejo sejak tahun 1950. Pria berputra 4 yang sekarang tinggal di Mbayut, Jambeyan ini berasal dari Wonogiri, Jawa Tengah.

Sebagaimana cerita mengenai sejarah tanah dari warga lain, menurut Parto Wiyono, setelah kalah dalam perang melawan Jepang (sekitar tahun 1942), Belanda meninggalkan Indonesia. Secara otomatis perkebunan nanas milik Belanda dikuasai oleh Jepang. Namun, saat dikuasai tentara Jepang, perkebunan tersebut tidak diusahakan. Karena dibiarkan terlantar, tanah bekas perkebunan nanas itu digarap oleh rakyat, sampai saat meletus pemberontakan G 30 S. Pada saat tragedi tersebut, tanah yang dahulunya dikuasai oleh rakyat “dirampas” oleh pamong praja, dan akhirnya tanah tersebut diserahkan kepada PPN untuk dijadikan perkebunan karet.

Parto Wiyono juga sempat menjadi tawanan di Sragen selama 3 bulan, karena dituduh terlibat G 30 S. Menurut Parto, waktu itu masyarakat tidak berani melakukan perlawanan karena situasinya masih sangat ‘gawat’. Setiap hari polisi bisa ’mengambil’ orang-orang yang dicurigai. Pada waktu itu orang yang bertugas untuk ‘menunjuk’ siapa-siapa yang akan ditawan adalah Joyo Wiyono dan Wiro Karjo. Sekarang keduanya sudah meninggal.

Parto Wiyono merasakan, keberadaan PTP IX yang mengelola perkebunan sekarang ini, tidak membawa manfaat apapun bagi masyarakat. Masyarakat memang diperbolehkan untuk menanam tanaman secara tumpang sari di lokasi perkebunan, namun setiap kali panen, mereka harus ’membayar’ kepada mandor sekitar Rp 10.000 sampai Rp 20.000 untuk ¼ hektar tanah yang diperoleh dengan cara “nyromot” (mengambil) tanah perkebunan PTP IX.

Sebagai orang desa yang hanya bisa kerja sebagai petani, persoalan utama yang dihadapi Parto yaitu dia tidak mempunyai tanah/lahan pertanian. Akibatnya, dia harus menjadi buruh tani sampai ke kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar. Padahal satu hari “mburuh” dia hanya mendapatkan uang Rp 10.000. Celakanya lagi, dalam waktu 2 (dua) bulan rata-rata dia hanya mendapatkan kesempatan “mburuh” sebanyak 2 (dua) kali.

Sekarang Parto Wiyono tidak bisa “mburuh” lagi, karena sudah tua dan sudah tidak mempunyai tenaga untuk melakukan pekerjaan kasar. Sebagai gantinya, dia menggembala sapi atau kambing.

4. Marijo ( 60 tahun)
Dulu, Marijo memiliki ¼ hektar tanah, yang diperoleh dari peristiwa Tanah Bumi Hangus. Tanah yang dikelolanya waktu itu belum ada sertifikatnya (tanda bukti kepemilikan). Lahan yang disebutnya sebagai erep itu, sempat digarap Marijo selama 20 (dua puluh) tahun. Tanah erep itu dulu dia tanami kelapa dan petai.

Setelah Gestok, tanah miliknya (bekas perkebunan nanas Belanda) diminta oleh pemerintah. Permintaan itu tidak secara halus, melainkan disertai ancaman bahwa apabila tanahnya tidak diberikan, maka rumahnya akan dibongkar dan dibakar habis. Seingat Marijo, tanah-tanah yang diambil paksa waktu itu adalah tanah milik Somo, Yoso, Ridin, Parto Lilin, dan Karto Putih, Parto Saiman, Poso Redjo, dan Mbah Pati.

Saat orang-orang Sambirejo ditahan di Sragen, Marijo juga ditahan selama 3 bulan. Bukan hanya ditahan, Marijo juga mendapatkan perlakuan yang melampaui batas kemanusiaan. Padahal Marijo tidak tahu sama sekali apa kesalahan yang dia perbuat sehingga harus ditahan dan disiksa seperti itu.

Sekembalinya dari tahanan, tanahnya telah ditanami karet dan rumahnya telah digusur paksa oleh pihak PPN. Dia pun disingkirkan oleh keluarganya karena dianggap PKI. Akhirnya Marijo menjual rumahnya –satu-satunya yang masih tersisa— dan membeli tanah lagi di desa Sukorejo (sampai sekarang masih ditempati). Sekarang tanah itu dia tanami sayuran serta buah-buahan. Marijo menjual rumahnya karena merasa “keloro-loro” (dia tidak bisa mengambil hasil kebunnya, karena dilarang oleh penduduk desa dengan menggunakan kekerasan).

5. Mulyodikromo (70 tahun)
Sekitar tahun 1948, petani Sambirejo membuka perkebunan nanas untuk dijadikan lahan pertanian. Waktu itu harga tanah per hektar Rp 60.000, tapi untuk petani harganya hanya Rp 25.000. Satu hektar tanah biasanya digarap 2 orang. Setelah tahun 1955, pemerintah mengambil kebijakan untuk membagi setiap 1 hektar tanah kepada 4 orang, sehingga masing-masing mendapat ¼ hektar.

Seingat Mulyodikromo, tiba-tiba Demang (lurah pada waktu itu) mengatakan bahwa tanah tersebut akan disewa oleh pemerintah untuk lokasi perkebunan karet selama 25 tahun. Ganti rugi yang ditawarkan untuk tanah tersebut sebesar Rp 2.500. Jika masyarakat tidak mau meyerahkan tanahnya, maka mereka akan “di-PKI-kan”. Dia pun menjadi takut menolak tindakan pemerintah itu dan hanya bisa ”nggrundel”.

Setelah tanahnya dirampas, ia “mburuh” di daerah lain, sampai ke Karanganyar. Upah ”mburuh” tersebut per harinya berupa satu beruk tepung singkong. Kalau pun tidak dibayar dengan tepung, dia hanya akan mendapatkan "gandoran" (sisa singkong yang telah membusuk di dalam tanah). Namun sering juga dia tidak mendapatkan gandoran atau pun tepung, walaupun telah mencangkul satu hari penuh. Dan terpaksa pulang tanpa mendapat upah apa-apa.

Untuk makan sehari-hari, terkadang ia dan keluarganya hanya makan ”jenggi” (kulit singkong yang diiris, dijemur dan direbus). Padahal sebelum tanahnya dirampas oleh PPN, ia dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari walaupun sederhana. Bahkan terkadang ada sisa yang bisa dijual.

6. Atmo Pawiro Rakimin (65 Tahun)
Pada tahun 1957, diadakan pembagian tanah oleh Kades Jambean. Masing-masing keluarga mendapat jatah ¼ Ha. Demikian juga dengan Atmo Pawiro. Dia mendapat tanah bekas perkebunan serat Nanas seluas ¼ ha yang kemudian ia tanami jagung, ketela, dan kacang. Selanjutnya dia mendapat bukti kepemilikan tanah berupa Pethok D dari Demang Jambean.

Sekitar tahun 1964, warga dikumpulkan oleh Bayan Karyo. Saat itu, pethok D milik warga diminta oleh Bayan dan warga dipaksa agar mau menyewakan tanahnya selama 25 tahun kepada PPN. Namun Atmo Pawiro mengelola tanah tersebut hingga tahun 1965 dan setelah itu, dia dipaksa oleh Kadus Sunggingan yang menjalankan perintah Kades Jambean, untuk menyerahkan tanahnya ke PPN untuk disewa selama 25 tahun.

Bagi Atmo Pawiro, tanah di bekas perkebunan serat nanas itu merupakan penopang hidup utama keluarganya, karena ia tidak mempunyai tanah lain. Sejak tanahnya diambil paksa, kehidupan keluarganya menjadi parah. Saat anak pertamanya lahir, Atmo Pawiro harus mencari makan dengan menjadi buruh ke lain desa atau ke kecamatan lain. Upah yang dia terima biasanya berupa sisa ketela yang tertinggal atau 1 kg pati ketela. Sisa ketela yang diperoleh itu dijadikan grawul sebagai makanan pokok setiap hari.

Hingga sekarang, ayah 5 anak ini masih sangat menginginkan tanahnya kembali karena itu adalah tanah miliknya dan harus dikembalikan setelah digunakan oleh PTP selama 25 tahun. Atmo Pawiro tinggal di Dukuh Sunggingan, Jambeyan, Sambirejo.

7. Sutopo (67 Tahun)
Tahun 1949, bersama penduduk lainnya Sutopo ikut membumihanguskan tanah konversi atau yang dikenal dengan kebun serat nanas. Alasanya, karena tanah tersebut tidak bertuan dan petani pada waktu itu sangat membutuhkan tanah. Saat itu, siapa saja yang membutuhkan tanah dan ingin mengelolanya diperbolehkan untuk mengelola tanah bekas kebun serat nanas.

Sutopo mengelola tanah tersebut sampai tahun 1960. Ketika keluar UUPA dia ingin mengesahkan tanah yang dikelolanya. Sutopo menanyakan proses pengsahan tanah kepada Mulyanto, seorang pegawai agraria di Sragen. Oleh Mulyanto dikatakan, ia tidak bisa memperoleh bukti kepemilikan karena telah mempunyai tanah Bumi Gawe yaitu tanah yang diperoleh dari orang tuanya (seperti bengkok) secara turun temurun. Karena mendapat keterangan tersebut, maka Sutopo tidak mengerjakan lagi tanah konversi itu, sehingga tanah yang semula dia kelola menjadi ladang penggembalaan.

Tahun 1965, Sutopo dibawa ke Sagen oleh CPM polisi karena dianggap ikut dalam aktivitas pemuda rakyat. Dia juga dituduh sebagai Algojo PKI. Atas tuduhan ini, Sutopo dipenjara selama 5 tahun. Menurut pengakuannya, selama dalam penjara Sutopo diperlakukan secara tidak manusiawi: dipukuli dan dicacimaki. Memang pada awalnya selama disekap di kamp, makanan masih terjamin. Tetapi setelah itu, dia hanya diberi grontol satu gelas. Sutopo disuruh kerja bakti menggarap sawah tetapi tidak pernah diberi hasilnya. Selama tahun 1966 – 1967, dia disuruh kerja bakti di luar tahanan hingga ke daerah Tangkil, Bayanan, Plumpung, Kroyo, dan Gondang.

Selama Sutopo dalam tahanan, tanaman di tanah bumi gawe warisan orangtuanya, ternyata dijarah tetangganya dan tanah bekas tanah konversi (bekas kebun serat nanas) yang dulu dia kelola, telah berdiri beberapa rumah. Sepulang Sutopo dari tahanan pada tahun 1970, tanah bumi gawe digarapnya lagi. Kini, Sutopo tinggal di Desa Jambeyan, RT 2 RW 1, Sambirejo.

8. Karno (56 Tahun)
Ayah Karno pernah memiliki garapan di tanah konversi (kebun serat Nanas) seluas ¼ Ha. Tahun 1959, ayahnya meninggal dunia, dan tanah konversi itu dia garap hingga tahun 1964.

Tahun 1964, tanah konversi yang dikelolanya diminta oleh Lurah Jambean, katanya akan disewa PTP selama 25 tahun untuk kebun karet. Lurah Jambean pada waktu itu memaksa Karno dengan mengatakan: “mau tidak mau tanah ini harus diserahkan ke negara untuk ditamani karet.”

Selanjutnya, seperti nasib tanah milik warga lainnya, tanah milik Karno pun ditanami karet oleh PPN. Namun, warga sempat melakukan perlawanan saat penanaman karet. Mereka melakukan aksi pencabutan. Kejadian ini berulang beberapa kali hingga PTP tidak mau lagi menanam pohon karet di tanah itu. Karno dan warga lainnya dapat menggarap lagi tanahnya hingga tahun 1965.

Pada tanggal 11 Oktober 1965, Karno ditangkap dan dimasukkan kamp di Sragen. Selama di kamp, dia dipukuli dan disuruh kerja bakti di daerah Bayanan, Komdang dan Wonogiri. Khusus di Wonogiri, Karno disuruh membuat jalan Purwantoro – Pacitan bersama-sama dengan Sipor dari Magelang selama 20 bulan. Saat dirinya dalam tahanan itulah, tanah garapannya dijarah dan dijadikan kebun karet.

Selama dia di kamp, sapi satu-satunya kekayaan keluarga diminta oleh Bayan Wirokaryo dengan alasan untuk biaya mengeluarkan Karno dari tahanan. Setelah bebas, Karno menopang hidup keluarga dengan membuka bengkel motor di desanya. Dia tinggal di RT 02 Rw 01 Jambean Lor, desa Jambeyan, Sambirejo, Sragen.

9. Mulyo Utomo (77 tahun)
Mulyo lahir pada tahun 1924. Tahun 1952, dia ikut dalam aksi bumi hangus di perkebunan nanas Belanda dan selanjutnya ikut menggarap ¼ hektar dari tanah tersebut. Tanah seluas itu, dia tanami grawul, singkong dan petai.

Selang beberapa tahun, hasil bumi hangus itu “didum roto” (dibagi secara merata) oleh Lurah Sastro Sumarto. Mulyo Utomo mendapat bagian ¼ hektar. Namun setelah meletus peristiwa G 30 S, ia ditawan di Sragen selama 9 bulan 1 minggu. Polisi yang menangkapnya mengatakan bahwa ia melanggar peraturan karena telah menduduki tanah negara. Saat ditawan, ia meninggalkan isteri dan 6 anaknya yang masih kecil-kecil.

Tanpa pemberitahuan lebih dulu, pihak kelurahan pun merampas tanahnya tanpa “ditembung” dan tanpa ada ganti kerugian sepeser pun. Sementara istrinya diusir dari tanah itu. Rumahnya juga harus dibongkar dan hanya diberi jangka waktu 1 hari. Apabila tidak segera dibongkar, rumah itu akan dibakar. Sebelumnya pun, Mulyo juga diancam, apabila tidak menyerahkan tanahnya, ia akan ditembak. Akhirnya, isteri Mulyo membawa anak-anaknya pulang ke rumah orang tuanya di Sekar Pethak. Selama Mulyo berada di tahanan, kebutuhan anak-anak dan istrinya ditanggung oleh mertuanya.

Mulyo mengaku ”keloro-loro”dan “boten sekeco” ketika tanahnya diambil oleh pihak perkebunan. Sekembalinya dari Sragen, Mulyo dan kelima saudaranya menggarap tanah milik ayah mereka, yang luasnya hanya ¾ hektar. Hasil dari kebun itu tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Oleh sebab itu, Mulyo harus “mburuh” di tempat lain. Pada masa-masa awal setelah Mulyo bebas, keluarganya terpaksa harus makan grawul, bonggol pisang, dan srapah karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Baju yang dipakai anak-anaknya terbuat dari serat nanas yang dianyam dan karung goni.
Saat ini, Mulyo dan keluarganya tinggal di Bayanan, Jambeyan, Sambirejo. Ia berharap tanahnya bisa kembali untuk dapat meningkatkan penghasilannya.

10. Ibu Karyorejo (70 tahun)
Bu Karyo pada waktu pembagian tanah bekas kebun nanas mendapat bagian ¼ hektar. Tanah tersebut belum memiliki Pethok D. Lahan itu ia kerjakan dengan suaminya dan ditanami kelapa, jati, jagung, kacang, dsb.

Selama beberapa tahun, hasil dari lahan itu sebenarnya dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Namun pada tahun 1965, lahan tersebut diminta oleh kepala desa untuk dijadikan perkebunan karet. Sebenarnya Bu Karyo dan keluarganya sangat keberatan jika tanahnya dijadikan perkebunan karet, sebab ia dan keluarganya sudah “rekoso-rekoso” membangun rumah dan menanami tanah tersebut. Terlebih lagi, tanaman-tanamannya sudah siap untuk dipanen.

Namun, pemerintah tidak peduli. Aparat desa mengancam jika tanah tersebut tidak diserahkan, maka rumahnya akan dibakar. Bu Karyo dan tetangga-tetanggannya merasa takut terhadap ancaman itu. Selain itu, mereka juga takut kalau dituduh PKI karena banyak anggota masyarakat yang menolak rencana itu dituduh sebagai anggota PKI, ditangkap dan ditawan di Sragen. Menurut pengakuan Bu Karyo, ada tetangganya yang bernama Tomo, sampai dipotong telinganya. Kejadian itu semakin membuat warga ketakutan dan tidak berani melawan keinginan penguasa. Bahkan ketika Bu Karyo meminta supaya ia dapat mengambil hasil buminya sebelum ditanami karet, aparat waktu itu tidak mengizinkan. Mereka justru menebangi tanaman-tanamannya yng sudah siap petik serta merobohkan rumah yang dengan susah paayah ia buat selama seminggu.

Bu Karyo terpaksa merelakan tanahnya dijadikan perkebunan karet. Ia hanya bisa meratapi nasibnya itu. Setelah tanahnya diambil, keluarga Bu Karyo kehilangan sumber penghasilan tetap dan mereka pun kehilangan rumah sebagai tempat tinggal. Karena lokasi rumah dan pekarangannya sudah ditanami karet, maka Bu Karyo bersama suami dan anaknya, ikut tinggal di rumah ayahnya. Terbatasnya lahan yang dimiliki oleh ayahnya, memaksa Bu Karso dan suaminya harus mburuh di desa atau daerah tetangga.

Sampai saat ini, Bu Karso tinggal di rumah saudaranya. Ia sangat berharap tanah yang merupakan haknya itu dikembalikan kepadanya, agar anaknya dapat menggarap tanah itu untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Kehidupan ekonomi mereka saat ini dapat dikatakan “pas-pasan”.

11. Marto Maridi (7o Tahun)
Menurut Marto Maridi, setelah Belanda meninggalkan daerah Sambirejo, rakyat melakukan aksi bumi hangus di tanah perkebunan peninggalan Belanda yang berupa perkebunan nanas. Marto pun ikut dalam aksi itu. Setelah aksi bumi hangus, ia mendapat jatah tanah seluas ¼ hektar. Tanah itu ia kelola dan ditanami dengan tanaman boga dan pohon jati. Tanah yang diperolehnya itu belum memiliki bukti kepemilikan.

Seingat Marto, waktu itu sebenarnya pemerintah berniat untuk memberikan letter D kepada masyarakat, namun belum terlaksana. Pemberian bukti kepemilikan itu mundur, disebabkan ada beberapa orang yang mengupayakan adanya pengurangan biaya pembuatan letter D.

Sekitar tahun 1965, Lurah desanya memerintahkan agar tanah yang dimiliki warga di situ, termasuk tanah milik Marto diberikan ke pemerintah. Padahal belum pernah ada pembicaraan antara pihak kelurahan dan masyarakat mengenai rencana itu, namun tiba-tiba ada keputusan sepihak. Pemerintah juga tidak memberikan ganti rugi bagi tanah yang diambil itu.

Namun karena takut, Marto akhirnya menyerahkan tanahnya ke Lurah desa. Ketakutannya ini disebabkan karena adanya ancaman dari pemerintah, bahwa bagi warga yang tidak menyerahkan tanahnya akan ‘dihabisi’. Setelah tanah itu diserahkan, pohon-pohon yang ada di tegal yang sudah mulai besar, ditebangi semua. Begitu pula dengan tanaman-tanaman yang siap dipanen. Di tengah kepedihan itu, ia merasa bersyukur, karena ia masih memiliki tanah lain walaupun sempit, sehingga ia dapat ‘mencari makan’ untuk keluarganya.

Saat ini, harapannya tanah-tanah yang dulu menjadi garapan masyarakat dikembalikan lagi ke pemiliknya, karena itu adalah milik masyarakat.

12. Karsopawiro (70 Tahun)
Karsopawiro menceritakan, tanah perkebunan nanas milik Belanda dibabat alas oleh rakyat. Dia pada waktu itu juga ikut babat nanas. Oleh pemerintah, perkebunan nanas itu sebagian dijadikan perkampungan penduduk dan sebagian lagi dijadikan daerah tegalan. Ia sendiri mendapat bagian seluas 1,5 hektar.

Setelah selama 5 tahun Karso menggarap lahan itu, Carik Poncosumanto mengumumkan bahwa tanah tegalan tersebut akan diminta oleh PPN. Menurut Carik, tanah akan disewa sampai seumur karet saja atau sekitar selama 25 tahun. Pemerintah akan membeli tanah itu dengan harga 5 ringgit. Setelah itu, tanaman-tanaman milik warga mulai ditebangi dan lahannya mulai ditanami dengan pohon karet. Surat DC yang pernah dimiliki Karso juga diambil oleh Bayan Bulu dan malah dijadikan mainan mercon oleh anak Bayan tersebut.

Setelah tanahnya diambil oleh PPN, Karso tidak memiliki sumber penghasilan lain. Tanah itu yang dirampas itu merupakan tanah satu-satunya yang ia miliki. Karso merasa sangat nelangsa melihat tanahnya diambil begitu saja oleh pemerintah. Namun apa daya, ia tak mampu berbuat apa pun waktu itu karena takut dicap PKI. Orang yang dicap PKI pasti ditangkap seperti orang-orang lainnya.

Ironisnya, kakaknya yang bernama Karyo, justru bekerja di perkebunan karet itu sebagai mandor. Karso sebenarnya sudah mengingatkan kakaknya itu supaya jangan bekerja untuk perkebunan karet, karena mereka telah merampas tanah rakyat. Tapi kakaknya tidak pernah menghiraukan nasehatnya.

Menurut Karso, setelah tanahnya diambil untuk perkebunan karet, penduduk Sambi benar-benar kehilangan sumber penghidupan. Rata-rata mereka tidak memiliki tanah garapan lain. Sementara ini, untuk memenuhi kebutuhan istri dan keempat anaknya, Karso yang tinggal di Bonorejo ini harus “mburuh” ke daerah-daerah lain, bahkan sampai Jakarta hingga tahun 1970. Sampai saat ini, kehidupan keluarga dan anak-anaknya sekadar “pas-pasan”.

13. Karto Soemito (80 tahun)
Intinya, sejarah terjadinya perkebunan karet yang diceritakan Karto Soemito sama dengan kisah yang dituturkan oleh saksi sejarah lainnya. Setelah Belanda kalah perang melawan Jepang, maka Belanda meninggalkan perkebunan nanasnya begitu saja. Kemudian terjadilah aksi bumi hangus terhadap tanah perkebunan peninggalan Belanda itu. Setelah tanaman nanas dibabat, maka dibukalah tegalan yang diperuntukkan bagi para petani. Petani yang mampu menggarap tanah yang luas mendapatkan tanah yang cukup luas, sedangkan orang yang hanya mampu mengerjakan lahan sedikit hanya mengambil tanah secukupnya.

Waktu itu, Karto mengerjakan ¼ hektar tanah tegalan bekas perkebunan nanas Belanda. Setelah selang beberapa waktu, pemerintah mengambil alih tanah tegal tersebut untuk dibagi rata dengan petani yang lain. Karto mendapatkan bagian yang sama dengan bagian yang digarapnya dahulu, ¼ hektar. Tanah tersebut dijadikan erep (tanah pekarangan).

Pada saat terjadi gerakan pada tahun 1965, tanah erep yang dimilikinya diminta oleh pamong praja. Pemerintah sebelumnya tidak pernah mengadakan musyawarah dengan para pemilik tanah. Malahan, menurut Karto, dia diancam apabila tidak mau pindah, maka rumahnya akan dibakar. Maka, meski dengan berat hati, Karto menyerahkan tanahnya tanpa mendapatkan ganti rugi dari pemerintah.

Untuk menghidupi keluarganya, dia menjadi buruh dengan upah Rp 300 sampai Rp 500 per hari. Walaupun sebenarnya dia “ora lilo” apabila tanahnya dipergunakan untuk perkebunan karet, tetapi karena takut dicap PKI, ia harus menyerahkan tanah miliknya satu-satunya itu. Kehidupannya jauh lebih baik saat dia masih mempunyai tanah erep. Padahal waktu itu, pada setiap musim panen, dia masih harus menyerahkan setengah hasil panennya kepada pamong praja. Kini, Karto tinggal di Dukuh Bayanan, Jambeyan, Sambirejo.

14. Parto Sentono/Pardi (75 tahun)
Suami Samiyem ini mengisahkan sejarah perkebunan karet sebagai berikut; Pada saat Belanda meninggalkan Indonesia, perkebunan nanas yang sebelumnya menjadi milik Belanda ditebang oleh masyarakat untuk dijadikan tanah tegalan. Aksi tersebut sampai sekarang dikenal dengan istilah bumi hangus. Masyarakat yang melakukan bumi hangus pada waktu diantaranya adalah masyarakat Sambi, Jambeyan dan Sukorejo. Setelah beberapa waktu, kelurahan membagi tanah tegalan tersebut dengan adil. Setiap orang (baca: keluarga) mendapatkan ¼ hektar (1 hektar digarap oleh 4 orang).

Pada tahun 1965, saat meletusnya G 30 S, pethuk D tanah tegalan milik Parto hilang. Dan setelah gerakan tersebut, tanah tegalannya ditanami pohon karet oleh PPN. Tidak pernah ada musyawarah atau beritahuan sebelumnya kepada pemilik tanah tegalan serta tidak ada pemberian ganti rugi sama sekali. Tegalan Parto sebelum diambil oleh PPN biasanya ditanami dengan pohon buah-buahan, petai, dan kelapa. Dan pada waktu PPN mengambil tanah tegalnya, sebenarnya tanaman yang ada sudah siap dipanen, tetapi dia tidak dapat menikmati hasilnya.

Saat tanahnya diambil oleh PPN, Parto bingung memikirkan di mana anak dan istrinya akan tinggal. Akhirnya, dia memutuskan untuk membawa keluarganya tinggal di rumah saudaranya selama 2 bulan. Selanjutnya dia menggarap tanah warisan dari orangtuanya seluas ¾ hektar. Harapan Parto hanya satu, yaitu agar tanah yang sekarang dijadikan perkebunan karet dapat dikembalikan kepada rakyat. Saat ini, ia tinggal di Dukuh Bayanan, Jambeyan, Sambirejo.

15. Karso Pawiro/Sakimin (80 tahun)
Ayah Karso Pawiro adalah penggarap tegal di bekas perkebunan nanas Belanda seluas ¼ hektar. Setelah Karso dewasa, tanah yang dikelola oleh ayahnya itu diberikan kepadanya untuk digarap.

Selang beberapa waktu penggarapan, dia dipanggil Lurah untuk datang ke kelurahan dan diminta untuk menyerahkan tanah tegalannya. Saat tanahnya diambil untuk dijadikan perkebunan karet, dia mengaku: “kulo mendel kemawon, ajrih menawi dipun bekto wonten Sragen.”

Setelah tanah tegalannya diambil, secara otomatis Karso tidak mempunyai tanah lagi. Terpaksa dia menjadi buruh di desa-desa tetangga. Selama menjadi buruh, dia hanya mendapatkan uang Rp 1.250 per harinya.

Sampai sekarang pun, dia masih merasa prihatin atas apa yang terjadi di perkebunan karet PPN. Karso sangat berharap agar tanah tersebut dapat kembali kepada masyarakat dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan. Saat ini, dia tinggal di Dukuh Wonodadi, Jambeyan, Sambirejo.

16. Joyosero Alias Srono (75 Tahun)
Dulu Srono ikut babat alas nanasan bersama sejumlah penduduk di daerahnya. Kemudian pemerintah membagi-bagi tanah itu kepada rakyat. Srono mendapat ¼ hektar untuk erep.

Tanah tersebut ia tanami dengan berbagai macam tanaman boga.
Sekitar tahun 1965, tanah tersebut diminta oleh kepala desa untuk dijadikan perkebunan karet. Atas rencana pemerintah itu, rakyat menjadi resah namun tidak berani melawan. Waktu itu ia dan warga di daerahnya dijanjikan akan diberi uang ganti rugi sebesar Rp 2.500, namun ia menolak uang tersebut karena pada dasarnya ia tidak mau tanahnya dijadikan perkebuanan karet. Srono merasa ‘diperkosa’ oleh pemerintah, karena sebenarnya tidak mau menyerahkan tanahnya tapi dipaksa. Bahkan, ia dituduh menjadi anggota PKI dan kemudian ditahan di Sragen selama 3 tahun.

Pada waktu di dalam tahanan, Srono mengaku sangat menderita. Dia dan tahanan lainnya jarang sekali mendapat makanan. Belum ditambah berbagai siksaan yang harus mereka terima setiap hari. Banyak dari teman-temannya yang meninggal di dalam tahanan. Menurut Srono, ia harus menempati ruangan sekitar ¼ hektar untuk 4000 orang. Kalau berkumpul, mereka jadi berjubel-jubel. Tidur pun terkadang sampai harus bertumpuk-tumpuk.

Setelah 3 tahun menderita di tahanan, Srono "dikembalikan" ke rumah. Dia merasa terkejut melihat anaknya sudah bisa berlari-lari, karena waktu ia ditangkap anaknya masih berusia 15 hari. Lebih terkejut lagi, tanahnya sudah menjadi perkebunan karet.

Selama di dalam tahanan sampai ia bebnas, istrinya berjualan gethuk di pasar dan anaknya yang masih kecil dititipkan ke tetangganya. Melihat kehidupan keluarganya yang sangat kekurangan, Srono lalu merantau ke Jakarta. Di sana ia bekerja serabutan menjadi tukang batu, membersihan selokan, dan lain-lain. Apa pun ia lakukan asal anak-istrinya di rumah bisa makan.

17. Sono Wiyono (71 Tahun)
Sono Wiyono tinggal di Dusun Bayanan, desa Jambeyan, kecamatan Sambirejo, Sragen sejak tahun 1929. Sekarang umurnya sudah 71 tahun. Dia mengetahui aksi pembumihangusan kebun Nanasan bekas milik kolonial Belanda, tetapi dia tidak ikut aksi karena sudah memiliki tanah milik orangtuanya yang cukup luas. Waktu itu, orang-orang yang melakukan aksi adalah warga petani yang tidak memiliki lahan garapan.

Kemudian terjadi pengaturan tanah Nanasan tersebut oleh Demang Jambeyan. Sono yang telah menikah tetapi belum memiliki tanah garapan sendiri, mendapat bagian tanah seluas ¼ Ha. Pembagian dan pengaturan tanah tersebut dilakukan oleh mantri langsir. Tanah yang sudah ada bangunan rumahnya tidak ikut diukur.

Setelah mendapat tanah, Sono mendirikan rumah di atasnya untuk tempat tinggal bersama istri dan anaknya. Sisanya untuk kebun yang ia ditanami singkong dan jagung.

Belum lama Sono mengerjakan tanah itu, saat sedang istirahat di rumah, dia dikagetkan oleh kedatangan 1 truk tentara. Tanpa tanya jawab, dia langsung diangkut dan dia melihat teman-temannya satu dusun juga diangkut. Mereka di bawa ke kelurahan Jambeyan. Di sana mereka dijaga puluhan tentara. Selanjutnya, bersama-sama dengan orang-orang satu desa, Sono dibawa ke kecamatan Sambirejo dan menginap satu malam di sana. Waktu itu dia dan kawan-kawannya tidak tahu mengapa ditangkap dan dikumpulkan di kecamatan. Dari Kecamatan, penduduk yang ditangkap itu dibawa ke Sragen dan dikumpulkan di Setro (sekarang LP). Mereka ditanya oleh petugas, “Mengapa menempati tanah yang bukan milikmu?” Saat itu, Sono baru tahu kalau dia dan rekan-rekannya ditangkap karena dituduh BTI dan menempati tanah bekas Nanasan. Sono ditahan di setro selama 80 hari dan diperlakukan dengan tidak manusiawi. Ia dipukuli dan ditendang oleh tentara.

Sepulang dari tahanan, rumah dan tegalnya sudah tidak ada. Semua sudah rata dengan tanah dan menjadi perkebunan karet. Sono membiayai hidupnya dan keluarga dengan mengelola ¼ Ha tanah dari orangtuanya. Sebagian tanah itu digunakan untuk mendirikan rumah. Usaha dari pengelolaan tanah ini ternyata tidak mencukupi kebutuhan 3 anaknya, sehingga dia menjadi buruh macul hingga ke desa-desa lain dengan imbalan ketela atau satu “beruk” tepung ketela. Tepung ketela ini dibuat sego thiwul untuk makan sehari-hari. Saat mendapat rezeki, dia membeli tanah garapan yang dikelolanya hingga sekarang.

Cerita lainnya dialami oleh istri Sono. Setelah suaminya dibawa ke Sragen, isteri Sono dipanggil oleh Bayan Wirosetro. Dia dikumpulkan di Baloh Panti bersama dengan 7 orang lainnya. Saat itu, Bayan Wirosetro minta uang Rp 5 untuk biaya pengurusan Letter D tanah yang ditempati Sono. Jika tidak memberi uang, dia diperintahkan untuk dengan segera memindahkan rumah dalam waktu 5 hari. Jika tidak mau memindahkan, rumah akan dibakar. Isteri Sono memberikan uang yang diminta, tetapi letter D belum diberikan dia sudah diusir oleh Bayan Wirosetro.

Lalu bersama 3 anaknya yang masih kecil-kecil, isteri Sono memindahkan rumahnya ke tanah milik orangtuanya. Tanah itu masih berupa tegalan seluas ¼ Ha. Untuk biaya pembongkaran, pemindahan dan pembangunan ulang rumah itu, isteri Sono terpaksa menjual sapi satu-satunya seharga Rp 150. Uang sisa penjualan sapi digunakan untuk biaya hidup selama Sono di tahanan. Belum cukup, kambingnya pun ikut dijual.

18. Kartowijoyo (80 Tahun)

Kartowiyono lahir di dusun Gedangan, Sragen. Setelah dewasa dia merantau ke Singapura. Sepulang dari merantau, menikah dengan gadis yang adalah tetangganya sendiri. Sebagai keluarga baru yang belum memiliki tanah untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, tahun 1947 Kartowiyono bersama rekan-rekannya yang tidak memiliki tanah menghadap Demang Sambi. Mereka berencana untuk membabat kebun Nanasan bekas perkebunan Belanda untuk dijadikan tegalan dan tempat tinggal. Demang Jambean waktu itu mengatakan tidak mau bertanggungjawab atas keinginan warga itu dan kalau warga mau membabat harus mau bertanggungjawab sendiri. Warga pun akhirnya membabat kebun nanasan hingga bersih.

Upaya pembersihan kebun nanasan itu bukan pekerjaan yang mudah, sebab kebun nanasan itu telah menjadi gerumbulan lebat dan sangat banyak tanaman liar. Terlebih lagi, kondisi fisik tanaman nanas yang berduri dan sangat keras, sehingga walaupun pembabatan ini dilakukan oleh ratusan orang, tetap memakan waktu relatif lama.

Setelah pembabatan selesai, Kartowiyono mendapatkan jatah ¼ Ha untuk mendirikan rumah dan ½ Ha untuk tegalan. Di tanah tegalan itu, dia menanam tanaman jagung, kacang, dan ketela pohon. Tahun 1947, dia mulai membangun rumah di atas tanah bekas Nanasan itu.

Tahun 1955, Demang Sambi berencana untuk mengatur pemakaian tanah nanasan yang telah digarap warga. Tetapi rakyat tidak mau karena dulu Demang tidak mau ikut bertanggungjawab atas pembabatan kebun nanasan. Akhirnya, Demang Sambi tidak lagi mempersoalkannya dan warga pun mengelola tanah itu dengan tenang untuk kehidupan mereka sehari-hari. Penggarapan tanah itu berlangsung hingga tahun 1965, karena pada tahun itu tanah warga direbut oleh PPN.

Peristiwa perebutan itu, menurut cerita Kartowijoyo, terjadi pada tahun 1965. Tanpa pemberitahuan kepada rakyat, pekerja PPN yang dikawal oleh tentara dan Hanra melobangi atau “nyemplongi” tanah tegalan rakyat untuk ditanamai karet. Penyemplongan ini menyebabkan tanaman ketela, jagung, kacang serta padi gogo milik petani rusak. Warga tidak bisa menerima perlakukan seperti ini. Apabila siang hari pekerja menanam pohon karet, maka malam-harinya warga beramai-ramai mencabuti pohon karet itu. Kejadian penanaman karet dan dilanjutkan dengan pencabutan oleh rakyat berulang hingga 3 kali.

Kartowijoyo dan rekan-rekannya mempermasalahkan penanaman karet yang tanpa pemberitahuan lebih dulu. Waktu itu suasana sangat tegang, sampai-sampai tentara mengeluarkan tembakan peringatan ke udara beberapa kali. Setelah ada musyawarah antara pimpinan rakyat dengan pihak PPN –tetapi Kartowiyono tidak tahu hasilnya— lalu rakyat disuruh pulang. Kartowiyono sangat kecewa karena ternyata tanahnya tetap ditanami karet. Dia berniat untuk melakukan perlawanan lagi, tetapi belum sempat diat itu dilaksanakan, dia bersama rekan-rekannya ditangkap oleh tentara.

Untuk tanah yang telah didirikan rumah tidak dicemplongi, dan sekarang telah bersertifikat yaitu dibuat pada tahun 1968.

Kartowiyono juga menceritakan, dia ditangkap oleh Hanra Kadipiro pada hari Selasa Legi sekitar jam 12 siang. Saat itu, ia sedang membuat ember dari seng. Dia dibawa bersama rekan-rekannya yang lain dan dikumpulkan di kelurahan Sambi. Selanjutnya mereka dibawa ke kantor Kecamatan Sambirejo dan menginap satu malam di sana. Puluhan tentara menjaga warga yang ditahan.

Setelah menginap satu malam, mereka dibawa dengan truk ke Sragen dan dikumpulkan di Setro (sekarang LP). Selama perjalanan ibu jari tangan mereka diikat dengan ibu jari tangan rekannya. Sampai di Setro, mereka dipanggil satu persatu untuk di bawa ke pabrik Mojo dan di-screening, diinterograsi mengenai aksi bumi hangus kebun Nanasan. Setelah itu, mereka dikembalikan ke penjara Setro.

Sekitar jam 7 malam, Kartowiyono bersama 50 orang lainnya di bawa ke Ebin. Di sana, ia dipukuli hingga babak belur dan sampai tidak dapat bangun lagi. Selanjutnya sekitar jam 4 pagi, mereka dikembalikan ke panjara Setro Sragen. Kartowiyono menginap di penjara prodeo tersebut hingga 3 bulan dan diperlakukan dengan baik.

Sementara itu, isteri Kartowiyono (sekarang 65 tahun) saat ditinggal suaminya, sudah memiliki satu anak yang masih berumur 1 tahun. Ia jualan kecil-kecilan di pasar Sambi dengan menggendong putranya. Jarak antara rumahnya dengan pasar Sambi + 5 km, dia tempuh dengan jalan kaki. Setelah tanahnya dirampas, dia tidak berani mengambil hasil kebun yang sebenarnya siap dipanen, karena dia diancam oleh orang-orang PPN.

Sepulang Kartowiyono dari penjara tegalnya telah ditanami karet yang berumur kira-kira 3 bulan. Dia sangat tidak rela tanahnya ditanami karet, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa karena diancam oleh Demang Sambi dan pihak PPN yang didukung oleh tentara. Dan untuk biaya hidup sehari-hari, Kartowiyono membuat ceret, ember dan gembor dari seng yang merupakan keahliannya sejak semula, ketrampilan yang diperolehnya saat merantau di Singapura.

Saat ini, Kartowijoyo tinggal di dusun Wonodadi, desa Sambi, kecamatan Sambirejo. Dia masih mengharapkan tanahnya kembali untuk kehidupan anaknya.

19. Pawiro Suparjo (60 Tahun)
Menurut Mbah Parjo tanah karet itu merupakan hak rakyat, karena dia tahu pasti bagaimana usaha keras rakyat membersihkan tanaman nanasan bekas peninggalan kolonial Belanda karena rakyat memang membutuhkan tanah garapan. Tidak ada yang merasa paling berhak terhadap tanah itu sehingga rakyat mengusahakannya secara bersama-sama.

Saat aksi pembersihan kebun Nanasan itu, Parjo masih muda. Ayah Parjo sudah meninggal. Dia bersama ibunya menempati tanah peninggalan ayahnya seluas ¼ ha yang digunakan untuk rumah dan pekarangan yang ditanami jagung dan ketela. Keperluan hidup sehari-hari bergantung pada tanah yang mereka ditempati itu. Parjo tidak mendapat tanah garapan di bekas kebun Nanasan sebab ia masih muda dan belum menikah.

Tahun 1959 Parjo menikah dengan gadis setempat. Orang tua istrinya juga sudah janda dan mempunyai tanah di tegalan bekas Nanasan seluas ¼ Ha. Tanah yang berjarak 500 m dari rumahnya itu akhirnya dikelola Parjo dengan cara membeli tahunan.

Parjo menceritakan, bahwa pada tahun 1965, warga dipanggil ke kelurahan oleh Carik desa Sambi (Ponco Sumarto) yang sekaligus menjabat sebagai caretacer Lurah Sambi. Sebagian warga ada yang datang memenuhi panggilan Carik dan ada sebagian yang tidak datang. Parjo termasuk warga yang datang ke kelurahan. Dalam pertemuan itu diberitahukan bahwa tanah bekas Nanasan yang telah menjadi tegalan itu akan ditanami karet. Dikatakan juga, tanah itu milik negara sehingga boleh tidak boleh, tetap harus ditanami karet.

Warga yang menolak rencana penanaman karet, ditangkapi dan dibawa ke Sragen. Ketika teman-temannya diambil oleh tentara, Parjo tidak ikut dibawa. Menurut pengakuannya, hal itu karena dia masih saudara dengan Bayan Sambi. Namun tanah tegalan yang disewanya, sebagaimana nasib tanah tegalan milik warga lainnya, dicemplong untuk menanam karet. Warga tidak dapat berbuat apa-apa karena jika melawan akan dibawa ke Sragen. Mereka hanya diam saja ketika tanahnya dicemplongi dan hasil tanaman yang belum sempat dipanen diambil oleh aparat.

Setelah tanahnya diambil paksa, untuk menghidupi 2 orang anaknya, Parjo terpaksa merantau ke Jakarta. Ia bekerja sebagai kuli bangunan. Dalam hati, Parjo sebenarnya tidak rela jika tanahnya ditanami karet karena tidak ada manfaat bagi kehidupannya, malah menyengsarakan sampai sekarang. Pawiro Suparjo beralamat di dukuh Wonorejo, Desa Sambi, Kecamatan Sambirejo.

Sumber: Atma Solo 

0 komentar:

Posting Komentar