Rabu, 12 Maret 2008

Pulau Buru Yang Tak Boleh Dilupakan


Oleh AGUS HILMAN - Maret 12, 2008

 MENDENGAR Pulau Buru, bulu kuduk berdiri. Di sana, ribuan orang dibuang dan disiksa, karena dituduh oleh pemerintah Orde Baru sebagai antek partai komunis yang paling dimusuhi oleh rezim tersebut selama kekuasaannya. Di pulau yang dirimbuni pohon-pohon minyak kayu putih itu pula, seorang punggawa sastrawan bangsa, Pramoedya Ananta Toer di buang karena ketajaman karya-karya sastranya dianggap dapat merobek kekuasaan Soeharto kala itu. Kini Pulau itu telah menjadi kabupaten di Propinsi Maluku.

Sebelum cahaya senja, kami (Saya, Eko Cahyono, H. Agussalim Sitompul, dan Husein sebagai petunjukan jalan) tiba di Pelabuhan Buru. Para buruh angkut sibuk menawarkan jasanya. Deburan ombak pantai yang kecil seperti riaknya air danau seolah tidak mengetahui betapa letih mengapung di atas kapal Fery semalaman penuh. Meski cuaca gelombang tidak besar, perjalanan 12 jam begitu melelahkan. Berbagi oksigen dengan sekitar 150 penumpang di kapal Fery yang super mungil membuat gerah dan panas. Apalagi kondisi badan saya saat itu nge-drop. Dari Ambon berangkat pukul 17.00 dan sampai di tujuan esoknya sekitar pukul 05.00 waktu setempat. Kalender saat itu menunjukkan tanggal 10 Desember 2007. Sebenarnya, kami akan naik kapal cepat, bukan kapal Fery. 

Tapi sayang, kapal ekspres yang berdaya tempuh empat jam Ambon-Buru dan hanya beroperasi sekali sehari tersebut, tidak dapat kami kejar. Berlayar dengan Fery pun harus dilakukan. Kami langsung menuju kecamatan Namlea, jantung kota kabupaten Buru yang baru berdiri kurang lebih tiga tahun. Kecil dan cukup padat, karena dikurung oleh bukit dan hamparan laut. Jika dibandingkan, lebih luas bandara Soekarno-Hatta daripada kota Namlea. Lokasi bermalam sudah disediakan di Grand Sarah Hotel. Meski hanya dua lantai dan berkapasitas sekitar 30-an kamar, hotel itu tergolong paling mewah dan berisi lumayan lengkap. 
“Abang cari yang paling mewah dari hotel ini di sini, tidak bakal ada”. Kata Dino, Ketum HMI Cab. Namlea, ketika menyambut kami dengan hangat dan rela meluangkan waktunya. Tarif bermalam paling rendah Rp. 250 ribu.
Perlu diketahui, meski usia tergolong muda, HMI menjadi satu-satunya organisasi mahasiswa yang terbesar di Namlea. Setiap mengadakan hajatan, seperti Intermediate Training, ratusan bendera-bendera HMI sudah terpajang dari pelabuhan hingga lokasi training. Jaringannya menembus hingga lapisan terbawah. Bahkan, penjaga tiket masuk pelabuhan pun masih menjadi anggota aktif HMI.  
Minyak Telon dan Pasar Lambelu

Di pulau Buru, pohon minyak kayu putih tumbuh liar dengan sendirinya, seperti ilalang dan rumput. Jika membiarkan tanah tidak tergarap, pohon minyak kayu putih tumbuh sendiri. Di kala musim kemarau, pohon-pohon minyak kayu putih yang mengering acap terbakar. Tapi terbakarnya pohon tersebut juga membawa keberuntungan. 
“Pohon-pohon yang sudah terbakar, nanti minyaknya jadi lebih banyak”. Begitu ungkap Iful dengan logat khas Ambon, salah seorang pemuda Namlea. 
Memang, terlihat banyak pohon menghitam bekas terbakar. Lahan-lahan itu seperti tak bertuan Tidak terurusi.

Terlintas dalam benak, betapa kaya negeri ini.Begitu banyak khasanah di Pulau Buru yang belum terjamah oleh kerasnya kehidupan modern. Kekayaan alam yang besar dan kehidupan yang damai. Tidak ada rasa sedikitpun nuansa bekas Pulau pembuangan tapol/napol apalagi nuansa konflik bersaudara di Maluku yang sempat berimbas di sana. Bagi warga setempat, tamu bagaikan raja. Beberapa pekan sekali, teradapat pasar yang disebut pasar malam Lambelu. Nama tersebut sedikit ganjil, karena Lambelu adalah sebuah nama kapal besar yang mengangkut penumpang dari Jawa, Sulawesi, Ambon, hingga Papua. 

Para penjual umumnya berasal dari Sulawesi. Mereka menafaatkan kapal Lambelu yang ke Papua yang melintasi Namlea. Dua hari kemudian, kapal besar itu akan singgah kembali di Namlea. Para pedagang-pedagang pun akan bergegas kambali pulang ke asal mereka masing-masing menggunakan kapal Lambelu. Karena itulah, pasar malam tersebut dinamakan Lambelu dan hanya beroperasi selama dua malam.

Untuk masalah gizi, masyarakat sekitar Namlea terjamin. Ikan laut sudah jadi makanan sehari-hari dan biasa. Makan tanpa ikan laut, santapan seolah kurang lengkap. “Bahkan, ikan sebesar lengan bisa dapat Rp 10 ribu,” ungkap Aswad, pemilik toko plastik di pasar Namlea yang mangaku pernah kuliah di Yogyakarta. Tapi, pemuda berkulit sawo matang itu menyampaikan keluhan nelayan yang pendapatan ikannya kini tidak seperti dulu lagi.
   
Saksi Kekejaman Rezim

Empat hari setelah menginjak pulau Buru, baru kami punya kesempatan melihat tempat pembuangan para tapol/napol. Rugi rasanya datang jauh-jauh ke pulau Buru jika tidak mengunjugi lokasi tapol/napol. Asvi Warman Adam menyebutkan, di Pulau inilah tempat dibuangnya sekitar 10 ribu tapol peristiwa 1965 pada tahun 1969.
Mereka yang dibuang di Pulau Buru disiksa dan disakiti. Jauh dari keluarga dan distigmakan sebagai PKI dan pengkhianat Negara. Ribuan tahanan yang dibuang tersebut, dipaksa untuk membabat hutan menjadi lahan sawah, jembatan, merambah jalan. Tahun-tahun pertama pembuangan golongan B, pulau Buru masih hutan lebat dan gelap. Tapol yang masuk golongan B mendapat hukuman dengan dibuang ke Pulau Buru. Golongan A, dapat dipastikan tidak hidup. Sementara golongan C, lebih ringan. Terakhir pembuangan massal tapol/napol ke Pulau Buru yang terjadi tiga kali gelombang terjadi pada tahun 1971.

Walau mereka dicampur dengan masyarakat yang transmigran, pada rezim Orba tapol/napol mendapat kawalan yang sangat keras.  Dipenuhi rasa penasaran itu, sekitar pukul dua siang waktu setempat, kami berangkat ke Unit. 
Biasanya, orang-orang di Pulau Buru menyebut lokasi pembuangan para tapol/napol dengan sebutan Unit. Jumlah unit cukup banyak dan berjarak satu sama lain sekitar 4-5 kilometer. Ada juga unit pembuangan yang sampai sekarang masih disebut Mako (Markas Komando). “Unit-unit tersebut tidak berurutan. Meski ada Unit empat belum tentu ada unit tiga, umpamanya begitu”. Ungkap Saefuddin warga setempat.

Tempat-tempat tersebut kini sudah punya nama daerah sendiri. Misal, unit empat masuk wilayah Savanajaya, ada juga Waeapu. Walau begitu, warga Buru kadang masih tetap menyebutnya unit. Dulu, para tapol/napol dicampur dengan para transmigran. Tapi, tapol/napol tetap berada dalam pengawasan tentara.Mobil melaju kencang. Jalan berkelok-kelok kami lalui. 
Saya, bersama teman-teman dipandu Dino. Rute pertama kami langsung menuju lokasi terdekat, unit empat, Savanajaya. Jarak tempuh dari Namlea memakan sekitar satu jam. Sepanjang perjalanan hanya terlihat bukit-bukit gundul yang dirimbuni pohon minyak kayu putih yang mulai mengering. Sesekali indahnya laut Pulau Buru terlihat jelas ketika melintasi ketinggian.

Mobil angkutan umum cukup langka. Alat transportasi darat lebih banyak menggunakan jasa ojek. Uniknya, di sana terdapat becak. Karenanya, jika ingin mengelilingi Pulau Buru, di Namlea terdapat jasa rental mobil. 
“Disini nyewa oto 500 ribu per-hari, bang.” 
Dino menjelaskan dengan logat khasnya pada kami sedang menikmati perjalanan menuju unit.Tidak terasa kami sudah tiba di Savanajaya yang dulu disebut unit empat. Tidak seperti yang dibayangkan. Tempat pembuangan itu cukup maju dan ramai. Jalannya sudah hot mix. Sawah disekitar di pinggir jalan rumah-rumah sangat luas, sejauh mata memandang. Di sini, terdapat pasar yang kelihatannya baru dibangun, tapi nampaknya belum berfungsi maksimal. Waktu menunjukkan pukul 3 sore waktu Indonesia timur (WIT).

Dino langsung memperkenalkan kami dengan orang tua angkatnya, bekas tapol/napol yang pernah dia ceritakan bertetangga dengan Pramoedya Ananta Toer. Beliau menyambut kami dengan hangat penuh semangat. Kami pun begitu gembira dan langsung memulai percakapan seputar bangsa. 
“Saya seperti usia 20 tahun lagi, kalau membicarakan perjuangan anti-amerika dan nekolim.” 
Demikian ungkap bapak yang memperkalkan dirinya dengan nama Daryun tersebut. Pal Daryun membuka memori sejarahnya dengan semangat. Sempat dia mengeluhkan kaum muda saat ini yang kurang mengerti sejarahnya sendiri. Malah larut dalam budaya hura-hura. Begitu semangat dia bercerita, apalagi membincangkan kelicikan ekonomi Amerika. Sebaliknya, kami selaku pemuda merasa kalah dengan semangat membaranya.

Pak Daryun, salah satu dari 10 ribu tapol/napol yang dibuang oleh rezim militer Soeharto karena dituduh terlibat dalam pemberontakan tahun 1965. Sejak di buang ke Buru, dia tidak pernah pulang ke kampung halamannya di Bandung, Jawa Barat. 
“Saya dibuang sekitar usia 27 tahun”, ungkap lelaki yang pernah keluar di MetroTV saban 30 September tersebut. 
Siksaan selalu diterimanya. Mereka dipaksa membuat jalan, jembatan, dan lainnya. Banyak nyawa melayang. “Yang paling banyak mendapat siksaan hingga tewas berasal dari tapol/napol yang berusia muda.” Tutur pak Daryun dengan prihatin. Perlakuan itu, mematri trauma mendalam. Sesekali beliau takut bertutur lepas pada kami soal sejarah 1965, seperti berhadapan dengan rezim Orba.  

Dengan logat Sunda yang masih terasa, kawan Pramudya tersebut banyak menuturkan sejarah kelam bangsa. Dia menegaskan dirinya sebagai pengagum Soekarno. “Saya orang yang berada di Bawah Bendera Revolusi,” menegaskan berkali-kali kepada kami. Kendati demikian, Pak Daryun yang terlihat bugar diusianya yang ke-62 itu, toh tetap dibuang ke Pulau Buru hingga kini beliau dianugerahi dua anak hasil dari pernikahannya pada tahun 1982. 

Ada cerita menarik dari pak Daryun tentang keberanian Pramoedya Ananta Toer. Suatu hari, Jenderal Sumitro datang ke barak-barak tapol/napol. Semua orang berdiri hormat, tapi Pram memilih duduk santai sembari beteriak, 
“Wahai Jenderal, apa yang kamu cari, lepaskan seragammu yang berlumuran darah itu !”. 
Para pengawal siagap ingin menghajar Pram, tapi Sumitro memerintahkan agar Pram dibiarkan saja karena menurutnya Pram sudah tua dan sudah bau tanah.“

Sumbangsih para tapol/napol bagi kemajuan Pulau Buru demikian besar. Mereka umumnya berasal dari kalangan terdidik, cerdas, dan memiliki wawasan kemadiran bangsa yang tangguh. Kini dari mereka ada yang dipekerjakan Pemda seperti menjadi arsitek. Bahkan ada yang jadi dewan daerah. “Jika tidak ada tapol/napol, Pulau Buru tidak akan seperti saat ini”, ungkap seorang pemuda setempat.    

Aset Sejarah yang Terabaikan

Banyak tempat-tempat sejarah yang merekam jejak-jejak tapol/napol di pulau Buru, tapi sudah tidak terurusi. Kamp-kamp pembuangan yang kini sudah menjadi desa pemukiman seperti desa-desa lainnya sebanarnya merupakan aset sejarah yang sangat berharga. Tapi sayang hal tersebut belum sepenuhnya disadari oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Rekaman sejarah kekejaman rezim yang tedapat di Pulau Buru dapat dijadikan pelajaran bagi anak bangsa untuk lebih dekat dengan sejarah bangsanya. 

Ada beberapa tugu tempat pembantaian tapol/napol, awalau tidak dapat kami saksikan langsung, karena waktu sudah mulai petang. Satu-satunya yang dapat kami saksikan adalah tempat pertemuan tapol/napol di Savanajaya yang seluruhnya terbuat dari kayu. Tempat yang berdesain panggung tersebut kurang lebih tingginya 5-10 meter dengan lebar 10 meter dan panjang sekitar 50 meter. Tempat tersebut seolah menyuguhkan rasa dan nuansa kekerasan, kengerian, dan pederitaan yang dialami para tapol/napol. Terasa begitu dekat.

Merinding bulu kuduk rasanya membayangkan kekerasan yang mereka alami akibat kekejaman sebuah rezim Orba. Sejenak, kami semua merunduk mendoakan mereka yang dibuang tidak berdosa, tanpa pengadilan untuk memperoleh keadilan, disiksa, dicerca, hingga dijauhi keluarga dan masyarakat. 

Saat bermunajat, bahkan sebagian dari kami sampai ada yang meneteskan air mata. Pukul 6 sore. Berdiskusi dengan pak Daryun sangat mengasyikkan, sehingga kami lupa waktu. Kami pun berpamitan dan beliau menasihati kaum muda agar terus semangat menatap perubahan untuk bangsa ini yang sudah bobrok ini. Dia berharap dapat dikirimi buku-buku progressif oleh kami dari Jawa. “Insya Allah, akan kami kirimkan, pak !,” respons salah satu kawan kami asal Sumatera, Swanvri.

Kami pun kembali ke Grand Sarah ketika beranjak petang kendati masih menyimpan seribu penasaran untuk menyusuri unit-unit yang lain. Waktu yang terbatas, memaksa hati tidak puas. Tapi, ada kegiatan dan pekerjaan utama yang harus kami selesaikan di Namlea bersama Dino dan kawan-kawan sebelum kami bertolak ke Jawa. 

Bagi saya, pulau Buru memberi kesan yang tidak akan pernah terlupakan, karena disana menyimpan ribuan sejarah yang tidak akan boleh dilupakan dan terlupakan oleh seluruh generasi bangsa ini. Sebuah saksi kekerasan dan kekejaman rezim yang tidak boleh terulang oleh pewaris pemimpin bangsa mendatang. Pualu Buru aku akan merindukanmu.

***

0 komentar:

Posting Komentar