Sabtu, 08 Agustus 2009

Sumilah: "Saya Korban Salah Tanglap"

Kesaksian Sumilah, Wanita Korban Geger Komunis 1965: 

Meskipun tampak tegar dan ceria, dera siksa puluhan tahun tetap menggetar dari relung hati Sumilah. Demikianlah kesan pertama bertemu dengan wanita korban geger komunis 1965 itu. 
Penderitaannya di masa lalu, kini telah menjadi kebanggaan tersendiri yang mengangkangi segala kemunafikan sejarah bangsa ini. 

POSMO EXCLUSIVE-Berbekal sebuah alamat yang diberikan oleh Syarikat Indonesia, posmo exclusive bertandang ke sebuah rumah wanita korban geger komunis 1965 di kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta. 

Apa yang terungkap dari wanita bernama Sumilah ini, sungguh menunjukkan sisi gelap bangsa Indonesia kala itu. Sumilah ketika itu, telah berusia 25 tahun dan bekerja sebagai guru di SDN Kalasan III, Prambanan, Sleman, Jogjakarta. Kepada posmo exclusive, Sumilah berkenan kembali menceritakan pengalaman hidup di era tahun 1960-an yang penuh tragedi itu. 

Pada sekitar tahun 1960-1965-an, Sumilah adalah seorang gadis belia penuh cita-cita dan vitalitas. Seorang pengagum Bung Karno. Saat ini pun Sumilah mengaku masih mengidolakan presiden pertama RI itu. Sumilah sungguh kagum terhadap Bung Karno karena mampu menggugah semangat rakyat Indonesia untuk bangkit dan menjadi cerdas. 

“Sampai saat ini, belum ada tokoh sehebat Bung Karno itu”, ujarnya kepada posmo exclusive, bangga. 
Berangkat dari kekaguman itu, Sumilah yang tamatan Sekolah Guru Bantu (SGB) mengajar di sebuah SDN Kalasan III. SGB, jelas Sumilah, adalah pendidikan setingkat SLTP ditambah pendidikan guru selama setahun. Dengan ijazahnya itu, Sumilah menjadi Guru Bantu sambil mengikuti Kursus Guru A (KG A) di Bogem. 

Pada tahun 1963, Sumilah lulus ujian persamaan. Kelulusan ini diperlukan untuk menjadi guru sekolah dasar negeri. Niat Sumilah menjadi guru itu terdorong ingin mencerdaskan bangsa seperti diletupkan dalam berbagai pidato Bung Karno. 
Saat itu, Sumilah juga sudah aktif dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ketika PGRI itu pecah menjadi dua, PGRI Vak Sentral dan PGRI Non Vak Sentral, Sumilah ikut PGRI Non Vak Sentral. 

Perpecahan ini tentu tidak lepas dari dinamika politik tanah air yang sedang giat membangun negeri pasca perang kemerdekaan. Demikian pula dengan Sumilah. 

Semangatnya menggebu untuk terus memajukan diri dan bangsanya. Lalu bersama kawan-kawan seusia, Sumilah sekolah lagi di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Kotabaru, Jogjakarta. Dari Kalasan, Prambanan, Sleman, Sumilah dan kawan-kawan bersepeda penuh keceriaan menuntut ilmu ke Kotabaru Jogjakarta. 

Di sela kesibukannya mengajar dan sekolah, bersama-sama kawan pula Sumilah masih menyempatkan diri menjadi tenaga pengajar kelas sore untuk Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Sungguh ketika itu, Sumilah adalah gadis penuh vitalitas dan pengabdian. Perawan dengan masa depan cerah. Hanya saja ketika itu, Sumilah belum punya pacar. Geger PKI Sumilah, gadis cerdas asal Kulonprogo itu tak pernah menyangka. Masa mudanya yang sebegitu indah dan penuh harapan, akhirnya terhempas. Belum sempat lulus dari FKIP PGRI jurusan Sejarah Antropologi, Sumilah mendadak ditangkap. 

Saat itu, tahun 1965, Sumilah tepat berusia 25 tahun. Manakala terdengar kabar pembunuhan enam jendral dan satu perwira di Jakarta pada dini hari 1 Oktober 1965, situasi menjadi tidak menentu. Di Jogjakarta, menurut Sumilah, kabar yang terdengar sangat simpang-siur. Disebutkan PKI terlibat dalam pembunuhan para jendral itu. Padahal, menurutnya, saat itu PKI adalah partai yang legal. Kesimpang-siuran kabar terjadinya pembunuhan para petinggi militer di Jakarta itu menimbulkan ketegangan dan ketakutan. 

Tetapi, Sumilah muda saat itu tak peduli dan menganggapnya hanya persoalan politik di tingkat pusat, Jakarta. Terlebih, Sumilah sama sekali tidak memiliki kepentingan dengan dunia politik. Sumilah hanya ingin mengejar cita-cita. 

Membangun negeri dengan menjadi guru. Tetapi, niatan tulus itu terbantahkan oleh realitas sadis yang merenggut semua masa depannya. Tanpa sepengetahuan Sumilah, seluruh guru yang aktif di PGRI Non Vak Sentral ditangkap. Sumilah sendiri tertangkap paling akhir. Itu pun baru disadarinya ketika bertemu dengan kawan-kawan seprofesi ketika berada di penjara. 

Sumilah menuturkan, pada suatu siang ketika sedang mengajar di kelas 6 SD, dua orang pria berpakaian serba putih dan berpeci putih mendatanginya. Dua orang itu memberikan surat, sambil menyuruh Sumilah untuk segera datang ke Kantor Polsek Kalasan. Saat itu juga, Sumilah meluncur ke Polsek Kalasan masih dengan seragam mengajarnya. Ketika tiba di Kantor Polsek Kalasan, Sumilah dibiarkan duduk menunggu sampai sore. Sedikit pun tak ada pemberitahuan mengapa dirinya dipanggil dan dibiarkan saja menunggu. 

Secara kebetulan seorang muridnya, Harjanti, terlihat melintas di Kantor Polsek itu. Sumilah meminta tolong untuk dibawakan baju ganti. Belakangan kemudian Sumilah tahu, saat itu ternyata di dalam penjara Polsek Kalasan sudah penuh dengan tahanan laki-laki. Sumilah ditawan di ruang tunggu karena hanya ia seorang yang wanita. Selama sehari semalam, Sumilah dibiarkan berada di Polsek Kalasan. Pada pagi, saat Sumilah hendak mencuci muka, seorang sipir mengawalnya dengan menodongkan bedil. 
“Saat itu pun saya belum mengerti, mengapa saya diperlakukan begitu”, kenang Sumilah. 
Sesudah sehari semalam di Polsek Kalasan, Sumilah bersama puluhan tahanan pria diangkut dengan truk menuju Gedung Jeverson di utara Tugu Jogjakarta. Saat itulah, Sumilah mengetahui ternyata kawan-kawannya mengajar sudah lebih dulu ada di Gedung Jeverson. Sesudah dipindahkan ke Gedung Jeverson, bersama puluhan tahanan lain Sumilah dipindahkan lagi ke LP Wirogunan, Jogjakarta. 

Di LP itulah kemudian Sumilah dipenjarakan selama 4 tahun. Belakangan Sumilah mengetahui, aktifitasnya di PGRI Non Vak Sentral dan semangatnya mengajar dalam program Pemberantasan Buta Huruf dianggap sebagai kegiatan di bawah naungan GERWANI alias PKI. 
“Semua anggota PGRI Non Vak Sentral ditangkap dan dianggap onderbow GERWANI/PKI”, terang Sumilah. 

Salah Tangkap 

Tamatlah sudah masa muda Sumilah. Tetapi, Sumilah masih memiliki kesaksian lain berupa kasus salah tangkap yang terkait dengannya. Ketika itu di LP Wirogunan, pada sekitar 1967-1968, seluruh tahanan masih dalam proses introgasi. Saat itu, introgasi dilakukan di Gedung Jeverson, dengan Jaksa Militer (Mahmilub) dan Jaksa Sipil. Sumilah mengaku sangat beruntung, dirinya diperiksa oleh seorang Jaska Sipil bernama Hadi Sasongko, SH. Jika diperiksa oleh Jaksa Militer, menurut Sumilah, pemeriksaan selalu dengan penyiksaan, dilecehkan dan diperkosa. Ketika diperiksa, Sumilah kukuh menjawab pertanyaan Jaksa dengan jawaban tidak. 

“Pokoknya, semua pertanyaan mengarah pada apakah saya PKI, GERWANI dan terlibat dalam pesta harum bunga atau mencungkil mata para jendral yang dibunuh di Jakarta itu. Saya selalu menjawab, tidak”, terang Sumilah. 

Dari Jaksa Sipil yang baik hati itu, Sumilah mengetahui dalam kelompok tahanannya ada seorang wanita dari Madukismo-Bantul yang sengaja disusupkan sebagai mata-mata.

”Wanita itu bernama Nurgianti. Di dalam penjara, Nurgianti selalu mengaku-aku sebagai pelaku pesta harum bunga di Lubang Buaya dan mencungkil mata para jendral”, kata Sumilah, yang kemudian saat itu meyakini, Nurgianti adalah mata-mata. Apa lagi, setiap malam Nurgianti selalu ‘dibon’ oleh para sipir. 
“Dibawa ke lantai atas. Ya, pasti diperkosa”, kata Sumilah. 
Sesudah selesai semua proses pemeriksaan, Sumilah dikembalikan lagi ke LP Wirogunan. 
“Dalam catatan pemeriksaan saya, ditulis kata MERAGUKAN. Artinya, saya tidak terbukti terlibat dalam peristiwa apa pun yang menyangkut G 30 S”, terang Sumilah. 
Tetapi, setelah dikembalikan lagi ke LP Wirogunan, masih ada proses pemeriksaan lagi untuk membuat pengelompokan tahanan berdasarkan berat-ringannya hukuman. 
“Ketika saya dipanggil lagi, saya katakan Sumilah itu ada dua. Sumilah dari Kulonprogo atau Sumilah yang lain dari Prambanan. Lalu seorang sipir tidak jadi memanggil saya dan memanggil Sumilah dari Prambanan yang ketika itu masih berusia 14 tahun. Dari pemeriksaannya, Sumilah dari Prambanan itu mengaku terlibat karena takut dengan ancaman para interogator. Akhirnya, saya selamat dan dimasukkan di LP Wirogunan di kelas C. Sedangkan Sumilah dari Prambanan dibawa ke penjara khusus wanita di Plantungan, Semarang”, beber Sumilah. 
Sumilah dari Prambanan, menurut Sumilah dari Kulonprogo, ditangkap karena sering menari dan menyanyi genjer-genjer di kelurahan. 

“Sumilah-Prambanan dan Sumilah saya dari Kulonprogo, sama-sama tidak tahu apa-apa. Tapi, nasib saya masih agak beruntung”, jelas Sumilah. 

Sumilah Kulonrpogo, keluar dari LP Wirogunan pada tahun 1970, ketika ada pembelaan HAM Internasional. 
Tiga tahun kemudian, Sumilah baru bisa menikah dan kini memiliki dua putra. Sayang, sang suami lebih dulu menghadap pada Sang Pencipta, membuat Sumilah menjadi orangtua tunggal dengan beban stigma buruk komunis yang dituduhkan tanpa bukti. 

Sejak keluar dari penjara itu, Sumilah tinggal di desa kelahirannya, Kulonprogo. Berpasrah diri menjadi petani, karena tak mungkin lagi menjadi guru seperti dulu. Jika mengingat kembali kisah Soekardjo Wilardjito, pada tahun 1970-an, seluruh tapol memang banyak yang dibebaskan sebagai syarat permintaan hutang Soeharto kepada Amerika. 

Sumilah bebas dengan syarat harus melapor setiap hari Kamis ke KORAMIL setempat. Kewajiban melaporkan diri atau apel ini baru berakhir ketika Soeharto lengser dari kursi kepresidenan. 
“Sejak Soeharto lengser itu, KTP saya juga sudah tidak diberi tanda ET. Tapi, hak-hak saya belum kembali. Semua upaya yang saya lakukan bersama sejumlah LSM, berhenti di tengah jalan. Saya mohon, pemerintah memperhatikan nasib Sumilah-Sumilah yang lain itu”, ujar Sumilah mewanti-wanti. 

sumber : derapkaki.multiply.com

0 komentar:

Posting Komentar