Jumat, 25 Desember 2009

Pembantaian Massal Orde Baru Dibalik Strategi CIA

Letkol Pnb. Heru Atmodjo [Foto: Doc] Oleh: Heru Atmodjo 

Pendahuluan


Bangsa ini telah mengalami tragedI pembunuhan massal yang paling besar setelah korban perang dunia kedua. Jutaan orang dibantai tanpa kesalahan atas dirinya. Pembantaian, penculikan, kekerasan penahanan tanpa mengindahkan norma-norma keadilan dan kemanusiaan terjadi di mana-mana pada 1965-1966. Hak Asasi Manusia (HAM)  dilecehkan secara massal, sekalipun kita dalam konstitusi menjunjung tinggi  azas kemanusiaan sejak Proklamasi dibangunnya RepublikIndonesia.

Sampai hari ini telah 43 tahun lamanya tak ada tanda-tanda kekuasaan pemerintah, maupun organisasi internasional PBB mau memberikan perhatian tentang keadilan yang sejatinya kepda Korban.  Kalau pun ada lembaga penelitian HAM, bentuknya hanyalah untuk membenarkan dan memberikan justifikasi kepada pelakunya, sebuah basa-basi politik, penipuan dan penyesatan terhadap publik.

Peneliti internasional yang independen, tokoh-tokoh terhormat dan lembaga-lembaga HAM PBB tak mampu membuka jalan keadilan bagi korban. Oleh karena itu  sebagai seorang Korban yang mengalami langsung penyiksaan, sejak  sebelum kejadian, selama kejadian dan setelah kejadian hingga hari ini , ingin memaparkan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan sikap apa yang tepat menyikapi pelanggaran HAM berat 1965/1966.

 

Politik Pasca Perang Dunia Kedua

Perang dunia kedua diakhiri dengan pengeboman bom atom di Hiroshima danNagasaki, dengan kerusakan  yang amat mengerikan. Kita bangsa Indonesia tidak menghendaki terulangnya kembali perang yang mengerikan itu. Dan karenanya kita tidak ingin memasuki kubu-kubu pertahanan militer, yang diangun oleh Blok Barat maupun Blok Timur. yang masing-masing mengandalkan bom nuklir yang jauh lebih dahsyat dari bom yang dijatuhkan di Jepang.  Indonesia, memilih kebijakan bebas dan aktif.. Akan tetapi sikap demikian ini tidak berkenan bagi pihak Amerika. Bahkan caci-maki umpatan yang kasar dan sadis dilontarkan kepada kita.  “Negara yang tidak memihak, Netral, sama dengan tidak bermoral”. Cacian dan  penghinaan ini dilontarkan secara absurd.  dan konyol. Politik bebas-aktif diartikan sebagai  netral, sesuatu kebodohan dari kaum intelktuil dan menamakan dirinya negarawan..

Kepala Negara kita  menjadi bahan olok-olokan, dan puncaknya ingin melikuidasinya. Dalam suatu seminar, kaum pewaris fasis ini dengan jelas-jemelas memilih Sukarno sebagai sasaran politik globalnya, bukan pemimpin Negara Komunis, Kruschev atau Mao Tse-tung yang jadi sasaran, melainkan Sukarno yang menjadi musuh utamanya.

Subversi, melalui CIA, USIS, Students Exchange Program, MAG (Miliatary Advisory Group), melalui segala aspek kehidupan,  pendidikan terutama pendidikan militer.  Mereka berhasil mendidik ribuan perwira-perwiara angkatan bersenjata dan kaum intelektuil. Dari sinilah mereka merekrut agen-agen intelijennya (CIA).  Perwira-perwira yang cerdas, tapi nasionalisme nya lemah, menjadi sasaran garapan mereka. untuk dijadikan agennya, baik secara tidak sadar atau pun secara sadar, supaya mau menjual dirinya. Ujungnya terlibat secara terbuka, menjadi agen subversi, dan mengorganisasi pemberontakan, seperti PRRI/PERMESTA Namun meskipun pemberontakan ini gagal, dapat ditumpas oleh para patriot dan pembela Sukarno, mereka tidak berhenti sampai disitu, melainkan lebih canggih, lebih intensif. Sukarno yang berjiwa besar, bahkan berpandanganjauh ke depan, demi kepentingan yang jauh lebih dalam dan berjangka panjang  membebaskan Allen L. Pope, penerbang yang ditembak jatuh, dan telah dijatuhi hukuman mati oleh Bung Karno   dibebaskan dibeaskan secara diam-diam.

Kegagalan Amerika  tidak menyebabkan mereka mengakhiri subversinya. Justeru menjadi lebih sistematis dalam menyusun starteginya. Ketika pemerintah kita melancarkan Operasi Pembebasan Irian Barat, dan diakhiri dengan perundingan perdamaian antara Belanda – Indoneisa pada 1962,  Ketua Perundingan Perdamain di Camp David, USA, adalah Elsworths Bunker, mewakili pemerinath Amerika, Indonesia diwakili oleh Menlu Dr.Suandrio dan Belanda oleh PM Luns.

Rapat Team CIA  di Baguio City Philipina.


Ketika Inggris mencoba memprovokasi dengan memasuki perairan Indonesia dengan Royal Eastern Fleet, convoi kapal induk Victorious-nya pada November 1964, karena dilawan dan dipermalukan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia, kapal induk Victorious ini tunduk, dan manut kepada apa yang kita perintahkan. Dan karena itu pula Laksamana Udara Omar Dani dan asistennya, masuk dalam daftar sasaran CIA dan MI-6 .

Selanjutnya pada bulan Maret 1965,  pimpinan Team CIA Timur Jauh menyelenggarakan rapat di Baguio City Philipina, yang dihadiri Averell Harriman, William Bundy, Elsworth Bunker dan Howard P.Jones, mantan Dubes Amerika di Indonesia. Mereka menentukan strategi Penggulingan Sukarno.

Lima options didiskusikan:
(1)         Apakah politik Amerika terhadap Indonesia akan dipertahankan seperti yang sedang berlaku pada waktu itu? Sidang menolak, mengingat Amerika menghadapi Vietnam yang semakin gawat, tak mungkin menghadapi dua front. Kongres Amerika akan minta pertanggunganjawab kepada mereka.
(2)         Apakah dapat diusahakan pendekatan kepada Sukarno agar Sukarno mau merubah politiknya yang anti-imperialisme Amerika? Jones, menurut David T. Johnson, menguraikan bahwa “Adalah saya yang ditugasnya oleh Presiden untuk mendekati Sukarno untuk menjalin hubungan seerat-eratnya. Dan untuk itu saya sukses. Akan tetapi tidak ada orang di dunia ini yang dapat merubah politik Sukarno  yang anti-imperialisme Amerika”
(3)         Kalau begitu habisi saja Sukarno. Lagi-lagi Jones menentangnya. dengan mengatakan “tujuh kali telah kami coba, sejak penggranatan Cikini sampai peristiwa Idul Adha, semuanya gagal”. Kalau tidak ingin membuat kegagalan lagi, jangan sekali-kali membuat serangan langsung kepada Sukarno.
(4)         Bagaimana kalau kita dorong Angkatan Darat Indonesia untuk menggulinngkan Sukarno? Tidak mungkin dilakukan, karena  Angkatan Darat tidak kompak. Sedikitnya ada tiga faksi dalam Angkatan Darat, yaitu loyalis Sukarno, loyalis Nasution dan yang lain. Salah satu bergerak pasti faksi yang lain menghadapi.
(5)         Kondisi dan situasi politik Indonesia diwarnai oleh tajamnya politik antara AD dan PKI. Pada akhir tahun 1964 yang lalu telah dicoba melalui Badan Pendukung Ajaran Sukarno (BPS)  dan Manikebu dengan mendorong Chaerul Saleh, Murba, Adam Malik, BM Diah, untuk mengucilkan PKI semua gagal. Tapi scheme itu dapat dilanjutkan dengan fersi AD vs PKI. Biarkan PKI terjerumus ke dalam jurang yag mereka gali sendiri, sehingga pelanrangannya menjadi sah. Kalau PKI waspada untuk tidak mau masuk ke dalam lubang yang mereka gali sendiri, harus direkayasa.

Maka strategi dari sari dari lima options di atas telah menjadi garis strategi CIA untuk penggulingan Sukarno, ialah:
(a)    Biarkan PKI menggali lubangnya sendiri dan terperosok ke dalamnya sehingga pelarangannya menjadi sah. Kalau mereka mwaspadai hal ini harus direkayasa.
(b)  Serangan langsung kepada Sukarno tidak dibenarkan. Melalui law and orde scheme sangat disarankan.
(c) Melalui peningkatan tahap demi tahap sasaran dapat dicapai.

 

Tindak Lanjut Pasca Baguio City


(1)          Pasca meeting Baguio City, Elsworths Bunker menuju Jakarta bertemu dengan Marshall Green. Tinggal di Jakarta sebagai Duta Besar Utusan Presiden Lyndon Johnson selama dua minggu.
(2)         Pada bulan April 1965 sabotase dump mesiu di pangkalan udara Iswahyudi. Menimbulkan kerugian mesiu besar bagi AURI.
(3)     Di Jakarta beredar issu Dokumen Gilchrist, yang intinya rencana seranga Inggris ke Indonesia, dengan bantuan “local army friends”
(4)     Bersamaan dengan issu tersebut issu “Dewan Jendral” dilansir dengan sangat sistematik.
(5)     Issu sakinya Bung Karno, mendorong pembentukan Komisi Tanggap Darurat tujuannya mencegah situasi chaos. Dengan jelas melibatkan Guy Pauker dari RAND CORPORATION (CIA)
(6)     Issu Dewan Jendral dan sakitnya Presiden, dikembangkan menjadi alasan intuk PKI mendorong tampilnya Kolonel Latief, Letkol Untung dan kawan-kawannya untuk menyusun aksi pada 5 Oktober 1965.
(7)     Mayor Udara Sujono tampil mengorganisir latihan massa, Akhirnya dijadikan kekuatan sipil untuk mersama dengan kelompok Untung, yang ujungnya membuat rencana penculikan jendral, untuk ditangkap  dan akan diajukan kepada Presiden. Tapi dalam perjalanannya penangkapan jendral dikembangkan menjadi “Tangkap mati atau hidup”
(8)     Pembunuhan jendral-jendral dan pembentukan Dewan Revolusi dijadikan pembenaran untuk melakukan pembantaian missal oleh ABRI, dengan bantuan kelompok anti-Sukarno, dipimpin oleh Kolone Sarwo Edhie Wibowo.
(9)     Pembantai Massal mendapat justifikasi Nasional dan Internasional, dan meminta pertanggungajawab Sukarno sebagai Presiden, dengan cap Orla lawan Orba.

Penggalian Wonosobo Pasca Rezim Suharto

(a)          Suatu kelengahan rezim penerus Suharto, memungkinkan penggalian Wonosobo. Berlangsung hanya sekali itu selanjutnya izin penggalian berikutnya tak dapat izin.
(b)         Delegasi 65 ke Eropa pada 2003 telah menyelenggarakan pertemuan diAmsterdam.
(c)          Pertemuan di Parlemen Eropa di Brussel, Belgia, yang dihadiri anggota parlemen Uni Eropa yang terdiri dari Belgia, Belanda dan Inggris, terbuka pengakuan membenarkan langkah pembunuhan massal oleh rezim Suharto sebagai pembersihan Komunisme. Begitu pula Konferensi Tahunan Komisi Kemanusiaan PBB di Geneva.

Apa yang dapat diperbuat ke depan

1.      Komisi Kemanusiaan PBB berhasil membentuk Pengadilan Kriminal Internasional, di Den Haag, Belanda.
2.      Akan tetapi pengadilan ini hanya berhasil mengadili pemimpin Serbia, sekalipun ia meninggal sebelum pengadilan berhasil menjatuhkan hukuman kepada Slobodan Melosovik.
3.      Terbuka kemungkinan dibawa ke Dewan Keaman PBB (Security Council). Akan tetapi untuk berhasilnya membawa masalah Pembantaian Massal 1965 ke Dewan Keamanan ini dengan tidak mengecilakan usaha kita sangat kecil keberhasilannya,kecuali terjadi perubahan komosisi keanggotaan Dewan Keamanan PBB ini.

        
Jakarta,  Desember 2009
Heru Atmodjo


Referensi:
1.      George Kahin, Subversion is US Foreign Policy
2.     David T. Johnson, CDI  (Center of Defense Intelligence), Washington D.C.
3.      John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal
4.      Sukarno,  Nawaksara, 1966

0 komentar:

Posting Komentar