Sabtu, 05 Juni 2010

Buah Tangan Bujang Parewa


Sabtu, 5 Juni 2010 | 11.01 WIB | Oleh Iwan Komindo*)
Nusa Kambangan, 1979
“Kita segera bebas,” bisik Ragil. Kumis tebalnya menggelitik daun telinga Bujang Parewa. “Ah… geli ah,” gerutu Bujang Parewa seraya mundur beberapa langkah dan menggosok-gosok daun telinga.
“Aku serius! Kita dapat amnesti internasional. Tahun 1979 ini seluruh tahanan dapat ampunan,” lanjut Ragil meyakinkan. Dia tetap berbisik.
Kali ini matanya membelalak menatap Bujang Parewa dalam-dalam guna mempertegas kabar yang dibawa itu benar adanya. Sejurus kemudian, wajahnya yang keriput dimakan usia clingukan menyapu segala arah. Bola matanya berkeliaran memeriksa keadaan.

Mereka berdua, sekamar di Lembaga Pemasyarakatan Candi, Nusa Kambangan. Meski usia bertaut jauh, keduanya berkawan akrab. Persamaan nasib membuat dua laki-laki ini kerap berbagi dalam banyak hal.

Empat belas tahun sebelumnya, paska hura-hara September 1965, Ragil tercerabut dari akar sosialnya. Lurah yang sangat dihormati di Jogjakarta itu ditangkap oleh tentara atas tudingan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).

Begitu pula Bujang Parewa. Aktivis Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) ini ditangkap bulan Desember 1965 saat berusia 15 tahun. Kala itu dia masih duduk di kelas 3 SMP.

***

Senin hingga Sabtu, tahanan politik di Nusa Kambangan dipaksa bekerja. Ada yang menjadi kuli kasar membangun ini dan itu. Ada yang berkebun menanam berbagai sayur-mayur, umbi-umbian dan aneka pohon berbuah. Hari Minggu mereka dapat jatah libur.

Selain rutinitas itu, tahanan juga kebagian piket jaga malam. Tugasnya selain mengontrol keamanan juga memastikan gardu listrik tetap beroperasi dengan baik. Piket jaga malam ini dibagi bergiliran. Dalam seminggu, seorang tahanan kebagian sekali.

Lain halnya dengan Bujang Parewa. Dia piket malam dua kali dalam seminggu. Bukan karena tambahan hukuman, melainkan menggantikan tugas Pak Ragil yang sakit-sakitan. Sebetulnya Pak Ragil tak pernah meminta tolong agar tugasnya digantikan. Bujang Parewa-lah dengan kesadaran penuh menawarkan diri.
“Bapak istirahat saja. Tak baik berjaga malam.”
Di kamar itu Bujang Parewa dipercaya sebagai palkam-sebutan untuk kepala kamar. Dialah yang bertanggungjawab atas apapun yang terjadi di kamar yang dihuni 21 orang tahanan politik dari berbagai kota.

Bila melihat orang tua berambut putih itu kedinginan dan batuk-batuknya kumat di malam hari, Bujang Parewa seringkali berbagi selimut. Tak hanya itu, dia juga kerap memijit Pak Ragil.

Semua dilakukannya dengan senang hati. Tanpa ada embel-embel apapun. Bujang Parewa selalu ingat dengan nasehat ibunya yang mengingatkan agar selalu ikhlas melakukan apapun dan senantiasa membantu orang yang butuh pertolongan.

***
“Nih…ada titipan surat buat kamu Parewa,” tutur Pak Ragil seraya menyodorkan secarik amplop berbungkus rapi. Parewa sedikit terheran-heran, “dari siapa ya?” gumamnya bertanya pada diri sendiri. Surat itu disambarnya dan dipatutnya lama-lama. Setelah dibolak-balik beberapa kali, surat itupun dibuka perlahan.
Melalui surat, Pak Ragil rupanya menceritakan segala yang dialami di Nusa Kambangan kepada keluarganya di Jogjakarta, termasuk kisah tentang perlakuan Bujang Parewa. Hal itu diketahui Parewa ketika membaca surat yang dikirim Sri, anak perempuan Pak Ragil.

Beberapa hari kemudian, saat hendak berkirim surat ke Jogja, Pak Ragil bertanya,
“Parewa, mau nitip surat ndak buat adekmu di Jogja?” “Oiya, tentu. Tunggu sebentar,” sahut Parewa.
Hari demi hari telah berlalu. Senin hingga Sabtu tahanan tetap melakukan rutinitas seperti biasanya. Nguli dan berkebun. Minggu libur. Hanya saja kini Parewa punya tambahan kerjaan baru, yakni berbalas-balasan surat dengan Sri. Surat yang dikirimnya selalu satu amplop dengan surat Pak Ragil. Dalam satu amplop dua surat. Begitu pula surat datang dari Jogja.
Satu amplop untuk dua orang, Pak Ragil dan Parewa.

Kini, Parewa sudah tahu paras Sri lewat foto yang dikirim. Gadis yang duduk di kelas 3 SMA itu berparas ayu, menurut Parewa. Keayuan Sri-lah yang menginspirasi Parewa melukis sekuntum bunga di sehelai kertas. Lukisan itu dikirimkan ke Jogja berikut kata-kata penuh rayuan tentunya.

Bukan main senangnya hati Sri menerima kiriman lukisan itu. Bunga itu membuatnya berbunga-bunga. Di tempat terpisah, Parewa-pun berbunga-bunga. Padahal, semenjak kecil Parewa tipikal orang yang tak berani berhadapan dengan perempuan. Jangankan menggoda, bertegur sapapun dia tak bernyali.

Semasa sekolah dulu, tiap berpapasan dengan perempuan dia selalu merunduk. Di jalan, bila berpapasan dengan perempuan di persimpangan jalan, dia memilih menyimpang. Hal itulah yang memunculkan sindiran dari teman sebaya: Parewa jumpa perempuan lansung ciut ibarat kerupuk disiram air.

***

Di Nusa Kambangan banyak hal dipelajari. Penjara tak ubah universitas. Di sinilah Parewa berjumpa Hendra Gunawan, maestro senirupa tanah air yang bersahabat dengan pelukis Affandi. Parewa menaruh minat besar terhadap senirupa. Dia berguru kepada Hendra yang tak pernah pelit berbagi kepandaian.
“Tahanan PKI itu orangnya pintar-pintar dan tidak pernah pelit dengan ilmunya. Jadi, di sini, kalau mau belajar bahasa asing ada gurunya, belajar melukis ada gurunya…” begitu bunyi surat Parewa kepada Sri suatu waktu.
Bermacam hal terkait ilmu senirupa didulang Parewa dari Hendra Gunawan. Dia belajar melukis dan mengukir. Perkakas merupa seperti cat, kain kanvas dan pahat untuk mengukir didapat dari orang-orang yang membesuk.

Berkarya itu berhubungan erat dengan rasa. Setiap manusia tentu punya rasa. Rasa muncul karena pengaruh sekitar. Rasa dingin dan panas dipengaruhi suhu. Rasa jengkel maupun senang juga dipengaruhi hal-hal yang ada di sekitar. Pendek kata, setiap manusia tentu punya rasa. Rasa menangkap keadaan.

Saat muncul rasa ingin kencing, maka segera keluarkan. Muncul rasa ingin buang air besar, segera keluarkan. Kalau tidak dikeluarkan jadi penyakit dia. Begitupula berkarya, saat merasakan sesuatu, terbayang akan sesuatu langsung keluarkan. Tuangkan rasa itu menjadi sebuah karya. Kalau tidak akan berdampak buruk bagi kesehatan jiwa. Jadi hidup ini sebetulnya perkara mengolah rasa.

Petitih itu didapatnya dari Hendra Gunawan yang terkenal dengan lukisan berjudul ‘Pengantin Revolusi’. Hendra adalah pelukis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Sebelum di Lekra dia pernah bergabung di Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang didirikan S. Sudjojono pada tahun 1937.

Di zaman pendudukan Jepang, Persagi berusaha merealisir seni lukis Indonesia baru dengan semangat menolak estetika seni lukis Mooi Indie yang hanya mengungkapkan keindahan dan eksotisme saja.

Dengan semangat nasionalisme, Persagi ingin membawa seni lukis Indonesia pada kesadaran tentang realitas sosial yang dihadapi bangsa dalam penjajahan. Di samping itu, dia ingin membawa nafas baru pengungkapan seni lukis yang jujur dan empati yang dalam dari realitas kehidupan lewat ekpresionisme.

Tak ayal Persagi jika di ranah senirupa, Persagi ditempatkan sebagai pemberontak estetika “Mooi Indie” yang telah mapan dalam kultur kolonial feodal. Bagi mereka seni adalah implementasi dari perjuangan estetika yang mengandung moral etik kontekstualime dan nasionalisme.

Di Nusa Kambangan, sepertinya tidak beralaku pepatah siapa yang menabur angin dia yang menuai badai/siapa yang menanam dia yang memetik. Para tahanan memang diwajibkan berkebun dari hari Senin sampai Sabtu, tapi memanen tidak bisa sembarangan.

Karena lapar, lantaran minimnya makanan, tak sedikit tahanan yang diam-diam mencuri buah-buahan atau tanaman lainnya. Makanya Parewa membuat lukisan berjudul ‘Mencuri Tanaman Sendiri’.

Banyak pelajaran didapat Parewa di Nusa Kambangan, termasuk belajar melawan rasa takut terhadap perempuan. 
“Usia bertambah terus. Kalau gini-gini aja kapan punya istri. Jangankan punya istri, pacar aja nggak akan dapat,” pikirnya.
Ketakutan harus dilawan. Mulailah dia bergerilya memantau perempuan-perempuan di Nusa Kambangan. Aw…aw…pilihan jatuh kepada Ratih, anak gadis kepala sipir penjara. Ini dia perempuan paling cantik di sini…

Suatu hari, Kapten Heng, si kepala sipir memerintahkan Parewa menyapu dan mengepel rumahnya. Tak ada tahanan yang berani menolak perintah Kapten Heng. Jadilah Parewa ngesot melantai di kediaman sipir yang dikenal galak itu.

Kebetulan Ratih sedang asyik membaca di ruang tengah. Jantung Parewa berdebar-debar. Ratih tampak asyik dengan bukunya. Dalam hati, Parewa berpikir, ini saatnya mencoba keberanian dengan gadis paling cantik. Kalaupun ditolak tak apa, yang penting coba dulu. Ditolak sama gadis paling cantik apa salahnya.

Sambil ngesot tanpa menegadah sedikitpun, Parewa mendekati Ratih. Semakin dekat…semakin dekat…dan matanya tertumbuk pada betis bunting padi nan mulus. Parewa memberanikan diri menyentuh kaki itu dengan kain pelnya.
“Eh, maaf Neng,” Parewa berbasa-basi dalam kepura-puraan.
“Eh, nggak apa-apa,” Ratih menimpali.
“Nggak sengaja,” kali ini Parewa melirik ke paras Ratih nan aduhai.
Mata bertemu mata. Entah pelet apa yang dimainkan Parewa, bunga desa Nusa Kambangan itu meraih kedua tangan anak muda kita dan menariknya berdiri.
 Jangan-jangan bunga yang sedang mekar itu rindu akan sentuhan kumbang. Ratih memang kesepian. Dia tak punya teman sebaya.

Merasa dapat angin segar, Parewa langsung melontar kata, 
“Neng cantik sekali. Mau saya lukis?”
Rupanya sanjungan itu ampuh, kawan. Ratih tergoda.
“Boleh,” katanya tersipu malu.
“Saya pikir Neng sombong, ternyata tak hanya cantik, Neng juga baik hati,” lagi-lagi Parewa melempar rayuan maut. Ratih semakin melambung.
Sepi. Selain mereka berdua tak ada orang lain di rumah itu. Berbekal kertas dan pensil yang diberikan Neng Ratih, Parewa mulai berkarya.
“Hari ini sayalah manusia yang paling bahagia di dunia ini,” gumam Parewa sambil menggambar.
“Kenapa?”
“Bagaimana tidak? Saya bisa berlama-lama menatap gadis paling cantik yang pernah saya jumpai.”
“Ah, Akang bisa aja.”
Semenjak pertistiwa itu, Parewa sembuh dari sakitnya. Dia tak lagi canggung dengan kaum hawa. Makanya, ketika anak Pak Ragil menyurati, dia tak gamang sedikitpun menguntai kata-kata indah penuh rayuan.

***

Amnesti internasional menjadi topik utama. Buah bibir para tahanan politik Nusa Kambangan tak lepas dari itu. Angin segar itu menyejukkan hati Parewa. Dalam hati dia berpikir aku harus meninggalkan kenang-kenangan di sini.

Minggu, setiap hari libur Parewa berjalan sendirian ke Goa Ratu, di daerah Candi membawa perkakas ukir. Tanpa diketahui banyak orang dia membuat totem (memahat batu) di mulut goa. Kepandaian Hendra Gunawan telah turun padanya. Batu itu disulap menjadi tumpukan manusia dengan berbagai ekspresi wajah.

Wajah-wajah itu seolah menatap siapapun yang akan masuk ke goa. Ada yang melotot marah, ada yang berteriak sekeras-kerasnya, ada yang meminta belas kasihan dan lain sebagainya. Totem itu hidup. Sangat ekspresionis. Wajah-wajah itu menggambarkan perasaan orang-orang yang ditahan empat belas tahun di Nusa Kambangan tanpa pernah diadili.

Di Goa Ratu pula, Parewa menemukan dua buah batu mulia yang menurutnya punya kwalitas paling bagus. Yang satu digosoknya sampai mengkilat, satunya lagi diolahnya menjadi sebuah cincin. 
“Batu ini akan kuberikan pada Sri jika bebas nanti,” gumamnya dalam hati.
Namun sayang seribu kali sayang, totem itu belum rampung betul saat Parewa bebas. Dari Nusa Kambangan seluruh tahanan ditampung di Jogja selama dua hari, baru kemudian dipulangkan ke kotanya masing-masing.

Pak Ragil dijemput keluarganya. Sri ikut serta. Inilah kali pertama Parewa bermuka-muka dengan Sri. Tak sekadar bersalaman. Mereka berpelukan dan bertangis-tangisan. Batu yang memang sudah dipersiapkan diberikan kepada Sri.

***

Jakarta, Mei 2010

NB: Baru-baru ini saya nonton tivi. Kebetulan acaranya mengulas tentang Nusa Kambangan. Dan tivi itu menyorot totem yang saya buat dulu. Dalam siarannya reporter tivi menduga-duga kalau totem itu karya manusia goa yang hidup ribuan tahun lalu. Saya hanya bisa senyum-senyum di depan tivi. Bagaimana dengan Sri, nanti deh lain waktu saya ceritakan…

*) Penulis adalah jurnalis dan pencinta sastra. Seringkali dia dijuluki sebagai Pengabar Jalanan atau Si Tukang Dongeng.

Sumber: BerdikariOnline 

0 komentar:

Posting Komentar