Senin, 29 Agustus 2011

#4 Wonogiri (Bag 3): Kuburan Merah

29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 10.10


Jawa menjadi kuburan bagi PKI dan simpatisannya.Dalam sepotong dialog film propaganda yang terus diputar rezim militer-dagang Suharto, Aidit (Syubah Asa) tampak mengepalkan tangan kiri penuh yakin bahwa pertarungan sejati dan habis-habisan di Jawa, lantaran Jawa adalah kunci. Dan kita tahu kemudian Jawa juga menjadi kuburan bagi keyakinan itu. Yahya Perwita dari belakang terminal bus Purwantoro, Wonogiri, menyimpan cerita dua kuburan yang tertutur oleh Mbah Madi dan Mbah Padmo. Kisah itu tergali dalam sebuah ikhtiar melawan lupa antara tahun 2002-2004.
Cerita Mbah Madi
Suatu malam, semua yang apel disuruh membuat pagar betis di kuburan Kendal (sekira 3 km arah selatan Kec. Girimarto, sebelah barat jalan). Suasana sangat mencekam, dua lubang besar sudah digali di pojok baratlaut kuburan. Ada ratusan orang malam itu.
Akhirnya yang ditunggu datang. Pada pukul 10 malam itu satu truk tentara tiba membawa 6 tawanan. Tangan mereka terikat di belakang. Aku lupa mata mereka ditutup atau tidak, tetapi aku ingat dengan jelas, aku menuntun salah seorang di antara mereka, jalan dari truk sampai kuburan. Katanya 6 orang yang lain sudah ditinggal di Ngledok, belokan irung petruk sebelum Sidoharjo. Jadi hanya 6 orang ini yang dibawa ke kuburan Kendal.
Orang-orang berjejal di sekitar lubang. Jadi aku terhalang melihat langsung apa yang terjadi. Tapi mereka didorong masuk ke lubang, dalamnya lebih dari 2 meter, masing-masing lubang tiga orang. Masih terlalu besar karena sebenarnya tiap lubang disiapkan untuk 6 orang. Selanjutnya orang-orang itu diberi kesempatan untuk berdoa, dan ditembak dengan senapan LE. Satu polisi dari Sidoharjo ngewel, amat sangat gemetar sehingga tak jadi menembak, malah disuruh pergi. Waktu itu semua diam, sama sekali tidak ada sorak.
Di kuburan itu, di lubang-lubang penembakan itu, kedua orangtua dan saudara-saudaraku juga dikubur. Kami memang tinggal tak jauh dari kuburan itu. Sampai sekarang saya selalu memotong dahan kamboja di kuburan itu. Dulu aku yang menanamnya, bibitnya saya bawa dari Wonogiri.
Cerita Mbah Padmo
Waktu itu awal tahun 1966, hujan masih sering datang. Sebagai anggota wanra (hansip) dari unsur agama (gereja), maka aku dan dua teman yang lain ikut berjaga di Kecamatan. Apalagi sebelumnya sudah ada perintah, bahwa malam ini akan ada kiriman hukuman dari Wonogiri ke Bulukerto. Sejak sore sudah berkumpul anggota wanra sekecamatan.
Pukul 12 malam yang ditunggu akhirnya datang. Satu truk dari Wonogiri membawa orang tahanan PKI. Truk berhenti di selatan jembatan Wates, lalu dari sana 14 orang tahanan yang tangannya dikrincung (diikat jempolnya dengan kawat atau tali senar) di depan dan mata tertutup kain hitam dituntun lewat jalan setapak ke kuburan Wates. Lubang makam sudah dibuat oleh warga Kebayanan Dagangan.
Rupanya orang-orang itu baru sadar bahwa mereka akan dibunuh. Oleh karena itu ada yang menyuruh supaya cincin dan jam tangannya dilepas, supaya tidak ikut dikubur. Salah satu di antaranya adalah Kepala Desa di Eromoko. Ia termasuk yang ditembak dua kali, karena tembakan pertama masih saja tegak. Kalau yang lain ditembak satu kali sudah roboh. Satu per satu disuruh lompat ke lubang yang sudah digali dan jongkok, lalu ditembak dari belakang.
Di sebelah Kepala Desa Eromoko itu ada anak kecil, katanya anggota IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Ia termasuk korban yang ditembak juga. Nyala api puluhan obor dan lampu petromaks menerangi kuburan malam itu. Hanya ada sekitar 80-an anggota wanra dan tentara serta polisi. Sama sekali tidak ada penduduk. Kemudian tentara menembak satu per satu, mulai dari sebelah timur ke barat. Senapan ditembakkan dari atas liang kuburan, tepat ke belakang kepala orang hukuman itu. Otak dan tulang tempurung kepala ada yang berhamburan ke sekitarnya.
Aku lihat sendiri, kalau ada seorang wanra lari sembunyi karena takut, padahal bawa parang sepanjang lengan kalau pas tugas jaga.
Sesudah selesai, wanra yang ada menimbuni lubang kuburan itu. Semua ditata dibujurkan utara selatan. Sesudah selesai, semua wanra yang bertugas kembali ke kecamatan, di depan pasar disuruh makan soto, lalu pulang.
Kutipan kisah-kisah mereka yang dituduh merah, disangkakan PKI, yang dihimpun dari belakang terminal bus Purwantoro, akan dilanjutkan. Kini ke “tempat pembuangan akhir/TPA” Luweng Mloko. Tujuannya tak lain agar dari Purwantoro, Wonogiri, ini kisah orang-orang dilumpuhkan suara itu terabadikan. Walau masih samar dengan ketakutan yang masih mengiang. (Bersambung)
* Serial catatan mudik #syawalitumerah (Purwantoro, Wonogiri)
Sumber: Muhidin M Dahlan 

0 komentar:

Posting Komentar