Senin, 12 September 2011

#4 Wonogiri (Bag 2): Kisah-Kisah Perburuan



29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 10.10

Kisah-kisah mereka yang dituduh merah, disangkakan PKI, dihimpun Yahya Perwita dari belakang terminal bus antara tahun 2002-2004. Dari Purwantoro, Wonogiri, kisah orang-orang dilumpuhkan suara itu terabadikan. Walau masih samar dengan ketakutan yang masih mengiang. Inilah cerita Mbah Darso, Mbah Kimin, Mbah Sarno, dan Mbah Tiyem.
Cerita Mbah Darso
“Langsung bawa saja ke penjara!”
Dan akhirnya tibalah kami di penjara. Tanpa ba bi bu, kecuali aku dan tiga orang yang lain semua dipukuli, disiksa, dan ditendang, dimasukkan ke dalam sel.
Sel ini normal untuk 7 orang penghuni, akan tetapi sel yang ada sudah penuh sesak, minimal 35 orang. Bahkan sel ukuran besar di sisi barat diisi sampai 80 orang. Semua berdempet, yang kuat berdiri, yang duduk gantian, kepalanya sudah dipepet pantat orang.
Jatah makan hanya satu sendok tiap kali, baik jagung, bulgur atau kadang nasi. Memakai kaleng yang disorongkan di bawah terali. Tetapi lebih dari itu yang paling ditakutkan adalah “bon malam hari”. Selama satu setengah bulan di penjara Wonogiri itu, dari 37 orang sekamar tiap malam ada yang diambil satu dua, sampai akhirnya hanya tinggal enam orang.
Suatu malam ada yang memanggil namaku, pimpinan SD Gondang Purwantoro. Teman-temanku menyuruhku diam saja, karena ternyata salah memanggilnya. Panggilan itu diulang sampai tiga kali, dan karena dianggap tidak ada lalu yang memanggil pergi. Menurut keponakanku yang ajudan inspektur polisi, mereka yang dibon keluar malam hari itu dibunuh, entah di mana kuburnya.
Sekali aku dibawa ke Kejaksaan, di sana aku ditanya, “Benar Saudara ketua Cabang PGRI Purwantoro?” Tentu saja kujawab iya, karena sebagai guru SD aku memang ikut organisasi PGRI ini. “Apakah mengadakan rapat gelap sebanyak 120 kali?”
Apa mungkin mengadakan rapat gelap sampai sebanyak itu? Aku membantah tuduhan itu.
“Apa Saudara pimpinan organisasi?”  
“Ya, tetapi ini karena pilihan dan mewakili anggota, bukan kehendak dan ambisi saya pribadi.”
 “Tentu, tetapi setiap kali ceramah, pasti juga disaksikan wakil dari organisasi tingkat kawedanan, juga tiga pimpinan daerah kecamatan: Camat, komandan polisi dan tentara. Jadi sama sekali tidak ada hal yang disembunyikan, apalagi gerakan gelap.”
“Pernah ceramah kepada masyarakat?”

Di akhir pemeriksaan, Jaksa yang tahu aku sudah punya anak tiga mengatakan semoga nanti dapat bertemu keluarga dengan selamat. Ditunjukkan pula surat laporan palsu yang dibuat oleh orang yang kukenal, ia guru pula, lebih muda dariku. Sekarang ia sudah mati. Waktu aku kembali dari P. Buru ia datang minta ampun padaku.
Cerita Mbah Kimin
Sebelum goro-goro ’65, tak ada kejadian khusus yang terjadi. Hanya memperjuangkan ideologi antar partai yang ada. Pemilu 1955 PKI menang di desa Nguneng, lebih dari 50%. Ada dilakukan aksi agraria, agar tanah OO Desa yang digarap Perhutani tanpa ada keputusan desa itu bisa diserahkan dan digarap oleh rakyat. Tapi keburu meletus peristiwa 30 September sehingga tinggal sebagai program saja.
Pada 11 November 1965 itu aku dijemput wanra dari PNI: Sarsan dan Marsidi. Bersama Wita anak mantu nomor 2, Yono (BTI), dan Mikun (Badran). Waktu itu PNI Bulukerto memang sewenang-wenang, mungkin merasa sudah jadi pemenang. Tidak ada dari golongan agama yang ikut menangkap. Masyumi kecil sekali jumlahnya. Tak ada tentara sampai Purwantoro. Tahun 1965 itu tiga ijasah yang kupunya dirampas, juga buku-buku. Padi yang disimpan di rumah bahkan yang panen di sawah juga dirampas. Meja almari dibawa ke kecamatan.
Tahun 1968, yang menangkap tentara dari Batalyon 426. Di jalan karena hujan aku dicarikan payung, ditawari rokok, dan dalam perjalanan dengan truk tentara yang jaga berkata, “Maaf Pak, ini hanya menjalankan tugas, berdasarkan surat dari Kepala Desa”. Mungkin karena melihat postur tubuhku yang kecil dan sudah tua, maka ada tentara yang nyelutuk: “Kaya ngono digawa menyang Solo arep ngopo?”
Ideologi PKI sama sekali tidak anti agama. Banyak anggota PKI yang haji. Saya sendiri sekalipun tidak lewat agama tetapi juga berbakti secara langsung kepada Tuhan. Malah dalam organisasi semua agama itu harus bersatu, tidak membeda-bedakan, karena yang baik itu hanya Tuhan.
Aku ikut kursus kader partai, materi utamanya adalah MDH dan filsafat Marxis, materialisme, dialektika dan historis. Bila tidak mambu MDH rasanya ketagihan, maka diadakan self studi terus, sambil ngadep kamus. Untuk materi MDH sampai sekarang masih kesulitan menangkap bagian penjelasan tentang hal ekonomi negara. Sampai sekarang masih tetap mengikuti berita. Paling suka BBC London, biarpun berita jelek tentang negara mereka sendiri tetap disiarkan.
Saat peristiwa 30 September 1965 itu, sama sekali tidak ada berita yang sampai kemari. Pekerjaan tiap hari iya mencangkul dan makan. Lain tidak. Tahu-tahu ditangkap. Jadi berita tentang dewan jendral, kudeta, dan macam-macam itu baru sesudah di penjara. Kalau bisa baca koran itu pun dengan sembunyi-sembunyi. Dan setelah itu sampai pemerintah reformasi (sesudah Mei 1998) adanya hanya intimidasi terus menerus dari Orba. Beda usul dengan yang berkuasa langsung saja dicap PKI!
Sekarang PKI sudah tidak ada. Tapi ilmunya saya yakin masih dipelajari.
Cerita Mbah Sarno dan Mbah Tiyem
Tahun 1964 PGRI Sudihadinoto vs Subandri PGRI Non Fak Sentral yang afiliasi ke PKI. Tahun itu ibu sakit di rawat di Solo, pulang dari sana mampir di kantor P&K ketemu PS Saryoko.
“PGRI pecah, melu sapa?”
Terus dicatatkan ikut PGRI Non Fak Sentral. Ternyata itu yang kemudian membawa ke penjara selama 5 tahun 28 hari.
Desember 1965 ditangkap. Disuruh ke Kecamatan oleh pemuda Masyumi, waktu itu sudah pukul 14.00. Di sana sudah ada Bu Ronggo Gesing, Sugiyarti (Pala Lemah Bang), Pokadi tani, Misiran tani (Lekra) dan ada 25 orang lain. Setelah didaftar, lalu dinaikkan truk. Sampai di Wonogiri di kantor CPM diabsen. Waktu itu hujan deras, disuruh copot baju dan celana, jungkir balik, laku dodok, mbrangkang, lalu dimasukkan penjara Wonogiri malam hari. Apel gelap-gelap.
Mulai Maret 1966 boleh ada kiriman makanan dari rumah, kamar ukuran 3×4 meter diisi 35 orang, tidur gantian, minum satu cangkir kecil untuk 5 orang dua kali sehari, makan kabluk dan gereh, gronthol 40 biji. Kiriman dari rumah biasanya sega aking.
Kami ingat, pernah suatu kali Polisi Perintis Sugeng menyuruh dibawa ke Bengawan Solo untuk mandi dengan kawalan Polisi Warno, “Aja mlayu!” Lha mlaku saja tidak jejeg.
Guru Didik yang ngusut perkara. Lalu ada usul supaya kerja di luar, buat bata di jembatan Suma Ulun yang waktu itu hancur diterjang banjir. Terus kerja di Kismantoro, mindah pasar dari Puskesmas ke lokasi Kelurahan sekarang.
Waktu bebas sempat ngampir ke Sriyono, teman tahanan dari Klitik. Eh malah dituduh buat gerakan PKI bawah tanah. Masuk lagi penjara 1 tahun. Tapi kemudian diperkerjakan tanpa upah. Ya namanya saja tahanan negara. Kami dikerjapaksakan buat jalan dari Kismantoro sampai Nawangan, jalan tanah, dengan sistem padat karya bersama masyarakat, sampai jadi jalan batu beraspal. Dari Kismantoro sampai Trolelo 500 orang tahanan kerja perhari. Bukan hanya tahanan dari Wonogiri, tetapi juga banyak remaja pemuda dari Klaten dan Solo yang ikut. Ketika tahun 1970 banyak remaja yang diambil dibawa ke Pulau Buru.
Yang ngusut itu mahasiswa dari Yogya. Mereka itu kejem-kejem. Mereka bawa dakwaan, kalau jawaban tidak sama dengan catatan yang dibawa langsung main pukul, atau kaki dijepit kaki meja, atau jari-jari tangan dipukul satu satu. (BERSAMBUNG)
* Serial catatan mudik #syawalitumerah (Purwantoro, Wonogiri)
Muhidin M Dahlan 

0 komentar:

Posting Komentar