Jumat, 28 Desember 2012

Eks-Tapol Minta Kerangka Suaminya Dikembalikan

28/12/2012


Mariyam Labonu, korban kekerasan hak asasi manusia (HAM) di Palu pada 1965 sudah 45 tahun mencari keberadaan suaminya. Mariyam telah kehilangan suaminya, Abdul Daeng Maselo, pada Mei 1967.

Mariyam saat memberikan keterangan pada acara Dengar Kesaksian Korban Kekerasan di Palu, Kamis (27/12), mengatakan suaminya saat itu terkait Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu dilarang keberadaannya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, suaminya ditahan oleh aparat negara namun tidak diketahui tempatnya.

Bahkan Mariyam juga sempat ditahan selama satu tahun sejak 1967 bersama ketiga anaknya. Saat itu Mariyam juga ditahan bersama tujuh perempuan lainnya karena dianggap menjadi pengikut partai politik terlarang.

Setelah bebas, perempuan yang mengaku berumur sekitar 75 tahun ini harus menghidupi ketiga anaknya dengan berjualan kue. Dia pun masih dikenai wajib lapor dua kali sepekan hingga tahun 1975, dan berkurang menjadi sekali sepekan pada 1978. Dalam masa wajib lapor itu, Mariyam tetap berusaha mencari keberadaan suaminya.

Hingga pada pertengahan tahun 2000, ada keterangan dari sesama mantan tahanan politik yang mengaku pernah melihat adanya tulang belulang di Markas Korem Sulawesi Tengah di Kota Palu. Dari tulang-tulang itu terdapat gigi palsu yang mirip gigi Abdul Daeng Maselo.
“Saya hanya minta kerangka suami saya dikembalikan,” kata Mariyam berkaca-kaca.
Selain Mariyam, terdapat lima korban kekerasan HAM lainnya yang menuturkan kisah pahitnya antara lain tentang kerja paksa pada 1965/1966. Selanjutnya ada kasus Bohotokong di Kabupaten Banggai pada 1982 tentang penangkapan dan kekerasan terhadap petani yang dilakukan oleh oknum aparat negara.

Terdapat pula kasus kekerasan di Kabupaten Poso pada 2001 tentang penghilangan orang secara paksa yang hingga saat ini tidak jelas keberadaannya.

Anggota Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran Nurlaela Lamasitudju mengatakan pemberian kesaksian itu dalam rangka mendorong penegakan HAM di Indonesia.

Dia mengatakan selama lebih 40 tahun pegiat HAM di Indonesia telah berjuang untuk menuntut keadilan namun selalu menemui jalan buntu saat meminta pertanggungjawaban kepada negara.
“Jangan sampai korban kekerasan HAM hanya dibiarkan berlalu saja. Olehnya perlu gerakan moral untuk menggugah semua pihak,” katanya. [ant/dem]
Sumber: SKP-HAM  

0 komentar:

Posting Komentar