Kamis, 19 Agustus 2010

encari Wikana 4 | Saujana Merdeka Menteri Sederhana


Sempat menduduki beberapa jabatan penting. Hatta mendepaknya karena dia orang kiri.

Historia

SOSOKNYA tak terlalu tinggi. Kumis tipis melintang dan jenggot lumayan panjang menghiasi wajah tirusnya. Hanya kacamata bundar dan pakaian sederhana yang selalu menemaninya ke mana pun dia pergi. Gaya hidupnya bersahaja. Namun sosok pendiam itu memiliki peran yang tidak sedikit dalam hari-hari di sekitar revolusi 17 Agustus. Tekadnya dalam berjuang memerdekakan rakyat begitu kuat. “Rakyat kita belum merasakan benar apa kemerdekaan itu,” ujar Ibrahim Isa, mengutip keterangan Wikana kepada Fransisca C. Fanggidaej –orang yang pernah menumpang di rumah dinas Wikana di Solo– suatu waktu.

Nama Wikana hampir dilupakan orang selama puluhan tahun. Pria kelahiran Sumedang, 16 Oktober 1914, ini tak diketahui nasibnya setelah diculik oleh kawanan tentara tak dikenal pada medio 1966. Jasa-jasanya bagi negeri seakan ikut sirna bersama jiwa-raganya yang hilang entah ke mana.

Tak lama setelah proklamasi, pada 27 Agustus 1945 Wikana –pejuang dari golongan pemuda– terpilih menjadi salah seorang pengurus di dalam PNI (Partai Nasional Indonesia), partai negara yang didirikan dengan maksud sebagai wadah untuk memperkuat persatuan bangsa, memperbesar rasa cinta, setia, dan bakti kepada tanah air. Namun kehadiran partai itu tak lama. Banyak pihak menentang kehadirannya, tak terkecuali Sjahrir.

Wikana lalu masuk ke dalam organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API) di mana dia menjadi ketua organisasi yang berdiri pada 1 September 1945 itu. Bersama Soemarsono, dia mewakili API ke Kongres Pemuda Pertama di Yogyakarta, 10-11 November 1945. Wikana ikut menjadi pembicara di samping Amir Sjarifuddin dan Adam Malik. Agenda terpenting kongres itu adalah rencana peleburan gerakan pemuda dalam satu organsisasi atas dasar prinsip-prinsip sosialis.

Pada 10 November malamnya, beberapa organisasi itu mengadakan rapat. Tujuh dari 29 organisasi yang ikut, sepakat untuk melebur diri ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Sehari kemudian Pesindo bersidang. Wikana terpilih menjadi salah seorang wakil ketua. Sementara dari hasil kongres, Wikana terpilih menjadi pemimpin Dewan Pekerja Pembangunan. Dewan inilah yang bersama Dewan Pekerja Perjuangan pimpinan Soemarsono –pemimpin pemuda dalam Pertempuran 10 November– menyelenggarakan organisasi hasil kongres: Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI).

Pesindo sendiri dalam perkembangannya terus bergerak menjadi oposisi pemerintah presidensial. Saat Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memimpin kabinet, Pesindo tidak terlalu jelas pro atau kontra pemerintah. “Pesindo itu bukan partai,” ujar Soemarsono. “Pesindo hanya baju.” Di kemudian hari, organisasi ini ikut bergabung ke dalam Persatuan Perjuangan –perkumpulan banyak organisasi, termasuk TNI, yang digagas Tan Malaka. Belakangan, ketika banyak perbedaan pandangan politik Amir-Sjahrir dengan Tan Malaka, Pesindo keluar dari Persatuan Perjuangan.

Konstelasi politik nasional masa itu sendiri memang rumit. “Revolusi,” sebagaimana ditulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, “merupakan unsur yang kuat dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri.” Persepsi Indonesia itu tidak sama dari masing-masing pihak. Dikotomi sipil-militer, tua-muda, Jawa-luar Jawa pun muncul dengan persepsi dan perannya sendiri-sendiri. Bukan saja menyebabkan tidak berjalannya roda pemerintahan sebagaimana mestinya, hal itu seringkali juga membawa republik ke tubir jurang perpecahan. Belum lagi, berbarengan dengan itu semua ancaman dari luar juga kian meninggi: keinginan Belanda kembali menguasai Indonesia. “Tidaklah mengherankan apabila hasilnya bukanlah munculnya suatu bangsa baru yang serasi, melainkan suatu pertarungan sengit di antara individu-individu dan kekuatan-kekuatan sosial yang bertentangan,” tulis Ricklefs.

“Peranan pokok angkatan muda pada permulaan revolusi nasional Indonesia tahun 1945 adalah kenyataan politik yang paling menonjol pada zaman itu,” tulis Ben Anderson dalam Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Peran kaum muda terutama terlihat jelas dalam pertempuran-pertempuran yang banyak pecah di berbagai daerah tak lama setelah kedatangan NICA.

Partai Sosialis –yang merupakan fusi dari beberapa partai pada 17 Desember– dengan dimotori Sjahrir merasa kecewa terhadap pemerintah dalam memperlakukan KNIP, di mana di dalamnya Sjahrir memegang posisi tinggi. Partai Sosialis juga menggunakan sikap kehati-hatian pemerintah terhadap penguasa asing –Jepang maupun NICA– sebagai dalih untuk menuntut lebih. Partai Sosialis lalu mengajak para pemuda yang tidak puas terhadap pemerintah, terus mengkritisi pemerintah pusat. Tuntutan yang terpenting adalah pemberian wewenang ekstra kepada KNIP.

Sebagaimana ditulis Ben Anderson, “pada awal Oktober ada suatu konsensus yang meluas di kalangan-kalangan yang sadar politik di Jakarta bahwa masa kelesuan dan kelambanan itu harus diakhiri, dan ia hanya dapat diakhiri dengan merombak pemerintah.” Pemerintah melalui Wapres Hatta lalu menyetujui dengan mengeluarkan Maklumat X tanggal 16 Oktober tentang wewenang legislatif KNIP dan dilanjutkan dengan Maklumat Pemerintah tentang partai politik. Sejak saat itu kabinet tak lagi bertanggung jawab langsung kepada presiden, tapi kepada KNIP. Tak lama kemudian, Kabinet Sjahrir naik “pentas” pada 14 November. Sjahrir yang anti-Jepang, dianggap tepat menjadi wakil republik dalam berunding dengan pihak Belanda.

Dalam masa-masa revolusi fisik yang karut marut itu, Wikana sempat menduduki beberapa jabatan penting. Dalam dua masa pemerintahan Sjahrir dan dua masa pemerintahan Amir Sjarifuddin, Wikana menduduki jabatan Menteri Negara Urusan Pemuda. Karena kesibukannya sebagai menteri, posisinya di BKPRI dia pasrahkan ke Soemarsono. “Pokoknya saya serahkan kuasa pembangunan ini kepada Bung,” ujar Somarsono mengutip ucapan Wikana.

Ketika menjabat menteri, Wikana tetap mencurahkan perjuangannya terhahap kemerdekaan rakyat. Melalui Ibrahim Isa Fransisca C. Fanggidaej mengatakan bahwa Wikana menyatakan tidak akan berhenti berjuang selama Indonesia belum merdeka betul. Cita-citanya hanya tertuju pada kemerdekaan. Hal itulah yang membuat anak-anaknya bangga. “Saya sangat bangga sekali jiwa nasionalisnya,” ujar putri sulungnya, Lenina Soewarti.

Dari jabatannya sebagai menteri, menurut Lenina, Wikana mendapatkan beberapa fasilitas. “Standar saja: rumah, mobil.” Namun fasilitas-fasilitas itu tidak membuat Wikana berubah gaya hidupnya. “Bapak saya itu sederhana sekali, sederhana sekali,” ujar Tati Sawitri, putri ketiga Wikana kepada Majalah Historia Online 15 Agustus lalu.

Wikana tinggal di Yogyakarta ketika menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pemuda. Pemerintah sengaja memindahkan ibukota ke sana awal 1946 akibat kondisi keamanan di Jakarta yang tak menentu. Di ibukota “dadakan” itu diskusi mengenai perjuangan tetap Wikana lakukan. Terkadang dilakukan di rumahnya. Wikana juga sering menemui Presiden Sukarno.

Perundingan Linggarjati yang mengerdilkan wilayah RI, mengundang kekecewaan banyak pihak. Kondisi itu kian diperparah dengan dilancarkannya Agresi Militer I oleh Belanda di pertengahan 1947. Reaksi terkuat terutama datang dari militer dan kalangan Tan Malaka, yang menghendaki kemerdekaan 100 persen dan lebih memilih perjuangan fisik ketimbang diplomasi. Akibat perundingan-perundingan yang dilakukannya, Sjahrir sempat diculik tentara-tentara yang berafiliasi kepada Tan Malaka, meski akhirnya dibebaskan lagi. Tan malaka sendiri dipenjara akibat kehadirannya yang dianggap membahayakan lawan-lawan politiknya.

Ketika Kabinet Sjahrir ketiga jatuh dan Kabinet Amir Sjarifuddin naik menggantikan, kondisi politik kian kacau. Dari luar, Belanda terus mendesak RI sedangkan dari dalam, peseteruan antarkelompok perjuangan terus berlangsung. Kabinet Amir lalu jatuh karena menandatangani Perjanjian Renville.

Kabinet Hatta kemudian menggantikan kabinet Amir Sjarifuddin mulai awal 1948. Salah satu agenda pentingnya adalah kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tentara. Kebijakan ini didukung penuh Kolonel Nasution selaku panglima Divisi Siliwangi. Siliwangi pun menjadi pasukan reguler resmi pemerintah. Pada Februari, Siliwangi mulai hijrah dari Jawa Barat ke Yogyakarta. Ini dilakukan sebagai pelaksanaan hasil keputusan dalam Perjanjian Renville.

Hijrahnya Siliwangi memicu timbulnya sengketa dengan pasukan-pasukan setempat. Pasukan-pasukan setempat merasa terdesak otonominya oleh kehadiran Siliwangi. Terlebih, para laskar itu merasa terancam oleh kebijakan Re-Ra. Siliwangi ditugaskan melucuti laskar-laskar, terutama laskar kiri. 

Akibatnya, situasi di Surakarta dan Madiun panas. Di Surakarta, Siliwangi terlibat pertempuran dengan Divisi Panembahan Senopati pimpinan Kolonel Sutarto. Pasukan laskar yang terus didesak terus berlari ke timur. Di Madiun, posisi laskar terdesak. Laskar-laskar yang terdesak itu merupakan laskar yang berafiliasi kiri, kepada Amir Sjarifuddin. Ketika Peristiwa Madiun pecah, posisi laskar dan kaum komunis di ujung tanduk. Siliwangi terus mengejarnya. Banyak dari pemimpin gerakan tewas di tangan tentara reguler. Jumlah yang tewas menurut Soemarsono, “sepenuhnya ada 3000 kader.”

Dalam kondisi yang penuh kekacauan itu Wikana menjabat sebagai Gubernur Militer Surakarta. Pemerintahan Hatta yang mengangkatnya. Di masa Gubernur Militer itu, banyak teman-teman perjuangan Wikana yang datang ke rumahnya. Sukarni salah satu di antaranya. “Chairul Saleh belakangan,” ujar Lenina Soewarti. Fransisca C. Fanggidaej juga pernah menumpang tidur di rumah dinasnya. Teman seperjuangannya, Soemarsono, jangan ditanya. “Saya sering tidur di tempat dia,” ujar Soemarsono. Menurut Soemarsono, Wikana termasuk kader atasan.

Tapi masa itu tidak lama. Wikana yang kiri, lalu diganti. “Yang memberhentikan juga Hatta,” ujar Soemarsono. Hatta terkenal sangat anti-kiri sedangkan Wikana orang kiri. Pemerintah lalu menggantinya dengan Kolonel Gatot Subroto. Wikana sempat menghilang pasca-Peristiwa Madiun 1948. Tidak jelas ke mana perginya. Keluarganya pun tidak tahu keberadaannya. “Kita nggak ketemu dua tahun,” ujar Lenina. Dalam Kongres partai ke-4 tahun 1954, Wikana masuk ke dalam CC PKI.

Tahun 1953 Wikana dipercaya menjadi anggota Konstituante. Tapi jejak rekamnya di badan pembuat Undang-Undang itu tidak banyak terungkap. Keluarganya pun tidak tahu. Terbuang dari partai, Wikana sempat menjadi anggota DPA pada 1963. Saat itu pula keluarganya diboyong ke Jakarta dari Solo. Selang dua tahun-an kemudian, atas ajakan Chairul Saleh, Wikana masuk menjadi anggota MPRS. Itulah karier terakhir pemuda berkumis tipis dan berwajah tirus sebelum akhirnya hilang tak tentu arahnya.

Sumber: Historia 

0 komentar:

Posting Komentar