Kamis, 19 Agustus 2010

Mencari Wikana 1 | Sepakterjang Pemuda dari Sumedang

Dia berperan penting pada hari-hari buncit menjelang proklamasi. Hidupnya berakhir tragis.

Historia

PADA lokasi bekas rumah bersejarah di jalan Pegangsaan Timur No. 56 berdiri sebatang tiang menjulang tinggi dengan simbol petir di pucuknya. Sederet kalimat tertera pada dasar tiang itu: “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta.”

Enam puluh lima tahun lalu, sesosok pemuda kurus berambut klimis berkacamata minus mendatangi rumah bersejarah yang dulu masih berdiri tegak. Wikana, pemuda itu, ditemani pemuda lain, Aidit, kelak menjadi orang nomor satu Partai Komunis Indonesia (PKI), Darwis, Yusuf Kunto dan Soebadio Sastrosatomo. Kepada Bung Karno Wikana meyakinkan kalau kemerdekaan harus segera diumumkan malam ini juga, kalau tidak “besok akan terjadi pertumpahan darah,” kata Wikana setengah mengancam. Bung Karno tersinggung. Dia membentak balik Wikana seraya menantang menyembelih lehernya malam itu juga, “Ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, sudahilah nyawa saya malam ini juga. Jangan menunggu sampai besok pagi!”

Cuplikan adegan itulah yang melambungkan nama Wikana sebagai pemuda revolusioner dan banyak dikutip di dalam kitab-kitab sejarah. Selebihnya, samar-samar. Padahal ada banyak peran penting lain yang dimainkannya. Dia pernah aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan, mulai Angkatan Pemuda Indonesia (API) sampai Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). 
Setahun setelah proklamasi, dia juga tercatat pernah menjadi Menteri Negara Urusan Pemuda selama empat kali periode kabinet, dua kali dalam kabinet Sjahrir dan dua kali pada kabinet Amir Sjarifuddin.

Wikana terlahir dari keluarga menak Sumedang. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, pendatang dari Demak, Jawa Tengah. Kendati menak merupakan golongan yang mendapatkan previlese semasa penjajahan, tidak demikian halnya dengan keluarga Wikana. “Dia datang dari keluarga perjuangan, kakaknya, Winanta seorang Digulis,” kata Soemarsono, tokoh pemuda angkatan ’45 yang ditemui pekan lalu (12/8) oleh Majalah Historia Online di kediaman putrinya di Bintaro, Jakarta Selatan.

Boleh dibilang Wikana punya otak encer. Sebagai anak priayi, dia punya hak untuk mengenyam pendidikan. Tapi untuk masuk ELS (Europeesch Lagere School), sekolah dasar yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, tidak cukup bermodal anak raden saja. Kemampuan bahasa Belanda dan kepintaran si anak menjadi standar utama. Wikana kecil memenuhi syarat itu dan berhasil lulus dari ELS. Lepas dari ELS Wikana melanjutkan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Semasa muda itulah Wikana sempat menjadi salah satu dari sekian pemuda satelit Bung Karno di Bandung.

Selain menguasai bahasa Belanda, Wikana juga pandai bercasciscus bahasa Inggris, Jerman, Prancis dan Rusia. Tati Sawitri Apramata, putri ketiga Wikana, mengenang ayahnya sebagai kutu buku yang pandai berbahasa asing. “Bapak bisa banyak bahasa, hobinya baca buku. Pulang dari sidang, selalu bawa buku, dari mana-mana selalu buku yang dibawa,” kenang perempuan berusia 61 tahun yang kini tinggal di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur itu. Sidang yang dimaksud Tati adalah sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), di mana ayahnya menjadi anggota.

Sosok Wikana yang cerdas dan tajam diamini oleh Soemarsono. Menurut lelaki yang pernah satu kos dengan Achmad Azhari, kawan sekerja Wikana, pemuda dari Sumedang itu dikenal sebagai orang yang tak banyak bicara, cerdas, dan tajam. Kepada Wikana pula Soemarsono sempat berguru soal teori-teori dalam dunia politik. “Dia yang mengajari saya tentang terminologi dan istilah-istilah dalam politik,” kata Soemarsono yang telah mengenal Wikana sebelum Jepang menduduki Indonesia pada 1942. Bukan saja Soemarsono, Aidit dan MH Lukman termasuk anak muda yang mengagumi pemimpin PKI Jawa Barat itu.

Dua tahun sebelum Jepang mendarat di Indonesia, Wikana, bersama dengan Adam Malik dan Pandu Kartawiguna sempat masuk kerangkeng atas tuduhan subversif terhadap pemerintah kolonial. Dia menyebarkan pamflet Menara Merah yang punya kaitan dengan PKI bawah tanah. PKI sendiri telah dilarang oleh pemerintah kolonial pascapemberontakan 1926.

Trikoyo Ramidjo, salah satu anggota PKI yang sempat terlibat dalam upaya pembangunan kembali partai setelah Madiun affairs, mengatakan kalau Wikana memang anggota PKI bawah tanah. “Dia jadi anggota partai sejak tahun 1930-an, cita-citanya jelas sekali untuk kemerdekaan Indonesia,” ujar pria yang pernah melewati masa kecilnya di Boven Digul, Papua mengikuti ayahnya sebagai tahanan politik kolonial.

Tak hanya sebagai anggota PKI bawah tanah, Wikana juga tercatat pernah aktif sebagai anggota Partai Indonesia (Partindo) yang didirkan oleh Mr Sartono pada 1931 pascapenangkapan Bung Karno. Pada 1938 ketika Barisan Pemuda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) didirikan, dia terpilih sebagai ketuanya yang pertama. Keyakinannya yang anti-kolonialisme mendorong Wikana aktif mengikuti berbagai organisasi politik yang melawan Belanda secara frontal.

Semasa zaman kolonial, Wikana menjadi pemimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat. Ia juga berkawan dekat dengan Widarta tokoh PKI bawah tanah yang bertanggungjawab di wilayah Jakarta. Widartalah yang merekrut Aidit dan MH Lukman masuk PKI namun ironisnya harus mati karena keputusan internal partainya sendiri. Sohib Wikana itu diadili in absentia oleh Amir Sjarifuddin gara-gara menjalankankan kebijakan yang dianggap tak sejalan dengan garis partai pada peristiwa Tiga Daerah di wilayah karesidenan Pekalongan. Sebuah eksekusi di Pantai Parangtritis meringkus nyawanya.

Berbeda dengan Widarta yang meregang nyawa di ujung bedil, karier Wikana jalan terus. Dia menjadi tokoh pemuda dari sekian banyak pemuda yang bergerak di pusaran arus revolusi. Ketokohan Wikana mendapatkan pengakuan dan karena itulah dia dipercaya oleh Perdana Menteri Sjahrir untuk duduk sebagai menteri negara urusan pemuda dalam kabinet Sjahrir kedua dan ketiga. Tak jelas capaian apa yang dia buat semasa memegang jabatan itu.

Tapi jalan terang hidup Wikana mulai meredup setelah peristiwa Madiun 1948. Posisinya sebagai Gubernur Militer wilayah Surakarta digantikan oleh Gatot Subroto. Sampai tahun 1950-an dia masih tercatat sebagai anggota Comite Central (CC) PKI yang mulai menggeliat di bawah kepemimpinan triumvirat Aidit, Njoto dan Lukman. Namun praktis Wikana tak memainkan peran penting sebagaimana yang pernah dilakukannya pada era-era awal revolusi. Dia punya posisi yang lumayan terhormat: sebagai anggota MPRS, anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan sejumlah aktivitas organisasi lainnya. Satu-satunya yang dia tak miliki adalah kekuasaan, baik di pemerintahan maupun di dalam partai.

Beberapa pekan sebelum peristiwa G.30.S 1965 terjadi, Wikana berserta beberapa elemen PKI lainnya pergi ke Peking untuk menghadiri perayaan hari Nasional Cina 1 Oktober 1965. Tapi sontak terdengar kabar dari tanah air tentang insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal. PKI disalahkan. Delegasi terceraiberai. Wikana meminta anggota delegasi lain untuk tetap berada di Peking selagi menunggu kepastian dari berita yang simpang siur. Dia sendiri memilih pulang ke tanah air. “Kalau harus mati, saya pilih mati di tanah air,” kata Wikana sebagaimana dikatakan oleh Abriyanto, cucu menantu yang beberapa waktu belakangan tekun menyusun biografi Wikana.

Wikana benar. Kurang dari setahun setelah peristiwa G.30.S 1965, dia ditangkap. Sempat bermalam di Kodam Jaya namun dipulangkan kembali. Tak berapa lama kemudian segerombolan tentara tak dikenal datang ke rumahnya di Jalan Dempo No. 7 A, Matraman, Jakarta Pusat. Mereka membawa Wikana dan sampai hari ini, pemuda garang yang sempat membuat Bung Karno naik pitam itu, tak pernah kembali pulang. Dia hilang tak tentu rimbanya.

Sumber: Historia 

0 komentar:

Posting Komentar