TRAGEDI perang saudara di Indonesia paling besar di abad 20 bermula dari kuburan. Penggalian jenazah “7 pahlawan revolusi” dari kuburan di Lubang Buaya hingga iring-iringan jenazah para jenderal pada 1965 adalah rundown karnival-muram yang menjadi titik-tanda dimulainya operasi pembantaian massal.
Lubang Buaya dan Kalibata adalah dua kuburan. Tapi yang pertama menjadi simbol puncak dan sekaligus dalih pembuka adegan demi adegan horor politik. Sementara Kalibata adalah kuburan kehormatan bagi mereka yang berjasa bagi nusa dan bangsa.
Lubang Buaya dan Kalibata adalah narasi bagaimana pembelahan politik kuburan dilakukan. Simbol itu dipermainkan sedemikian rupa untuk menunjukkan amaliah sebuah kaum apakah bermoral bejat atau terhormat.
Lubang Buaya dan Kalibata adalah dua kuburan. Tapi yang pertama menjadi simbol puncak dan sekaligus dalih pembuka adegan demi adegan horor politik. Sementara Kalibata adalah kuburan kehormatan bagi mereka yang berjasa bagi nusa dan bangsa.
Lubang Buaya dan Kalibata adalah narasi bagaimana pembelahan politik kuburan dilakukan. Simbol itu dipermainkan sedemikian rupa untuk menunjukkan amaliah sebuah kaum apakah bermoral bejat atau terhormat.
Dari frase namanya saja, lubang dan buaya, nama ini sudah menjanjikan horor yang menggidikkan. Pastilah, memilih lubang buaya untuk menguburkan jenazah adalah pilihan politik kotor dari kaum bejat.
Pandangan rabun dekat ini pun diberlakukan secara terbalik: Lubang Buaya dan kuburan-kuburan serupa hanya boleh diperuntukkan untuk kaum bejat (komunis dan orang-orang kiri-progresif) dan bukan untuk sosok-sosok mulia para jenderal.
Maka sepanjang 1965-1966, kuburan-kuburan macam lubang buaya diciptakan di mana-mana untuk operasi penistaan. Tebing, rawa, sungai, jurang, dan bentangan pantai yang sunyi bersulih menjadi kuburan besar tanpa tonggak nisan yang ditaburi ritus doa untuk menghilangkan jejak pergerakan komunis dan kiri-progresif di Indonesia.
Pemimpin kaum kiri progresif seperti Sukarno adalah salah satu korban bagaimana mesin politik kuburan itu dijalankan. Sukarno disingkirkan dari kuburan Kalibata bukan semata karena kemauannya dimakamkan di Blitar, tapi juga sebuah upaya menjauhkan aura dan nama besarnya dari Jakarta saat Soeharto melakukan konsolidasi kekuasaan.
Soeharto tahu betul kuburan Kalibata dan kuburan-kuburan pahlawan yang dibuat di setiap kabupaten di Indonesia hanyalah arena politik. Karena itu, kuburan-kuburan pahlawan itu tak pernah masuk dalam opsinya jika kelak ia wafat. Ia memilih kuburannya sendiri di tempat yang sepi dari ingar-bingar politik di Karanganyar; sebagaimana Presiden Gus Dur lebih memilih berkumpul dengan keluarga batihnya di Jombang ketimbang rebah bersama para pahlawan di Kalibata.
Tapi berbeda dengan pejuang-pejuang yang berideologi komunis dan kaum progresif lainnya. Kalibata dan taman makam pahlawan lainnya di kabupaten kota adalah simbol pengakuan negara setelah dinista habis-habisan dalam sejarah. Bukan hanya pengakuan bahwa mereka bukanlah si bejat, tapi juga bagaimana mestinya negara memberi ruang historis bahwa narasi sejarah Indonesia ini ditenun secara bersama oleh para-kaum dan bukan hanya kaum yang menyenangkan hati sebuah rezim.
Karena itu, puncak dari drama penemuan tulang-belulang Tan Malaka bukanlah saat penggalian kubur di sebuah lembah yang sunyi di Selopanggung, Semen, Kediri yang dijaga serdadu pada 2011 silam. Drama itu menunggu klimaksnya saat tulang-belulang Tan Malaka itu berdiam di Kalibata kelak.
Paling tidak itu memberi harapan baru dari drama absurditas politik kuburan seperti yang dialami Letkol (Pnb) Heru Atmodjo. Di tengah malam 25 Maret 2011 jenazah Heru yang pernah menerima bintang gerilya ditendang paksa dari TMP Kalibata DKI Jakarta ke TPU Bangil Jawa Timur lantaran si juru kunci politik kubur lalai mengawasi bahwa Heru terlibat aktif dalam peristiwa kelam Lubang Buaya.
Absurditas politik kuburan semacam itulah yang mengingatkan kita pada sosok Hatta dalam sebuah siang di bulan April tahun 1966 yang muram di atas kuburan Sutan Sjahrir di Kalibata mengucapkan kalimat: “Ia berdjoang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka. Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia jang merdeka. Bukankah itu suatu tragedi!”
Tapi bukan kalimat itu yang membuat kita tergetar, namun kalimat pendek Hatta yang dibisikannya pada keluarga Sjahrir: “Aku tak mau dikubur dengan cara begini di sini”.
Bisikan Hatta itu tak hanya mendefinisikan kuburan-untuk-pahlawan, tapi juga bagaimana kuburan menjadi sengketa politik yang absurd. Hatta mengingatkan “perdamaian” di kuburan dari sengketa politik yang keras antara Sjahrir-Sukarno adalah sebentuk nostalgia menyedihkan. Atau dalam kata-kata Hatta, sebuah tragedi.
Kita menjadi tahu bahwa kuburan bukan hanya merupakan simbol sebuah peziarahan suci yang keramat di mana paling tidak setiap tahunnya di Hari Pahlawan kepala negara dan daerah menabur bunga di pusara kuburan, melainkan juga simbol politik di mana negara menilai dan menyeleksi apakah seseorang layak dikenang atau diabaikan. [gusmuh]
Pandangan rabun dekat ini pun diberlakukan secara terbalik: Lubang Buaya dan kuburan-kuburan serupa hanya boleh diperuntukkan untuk kaum bejat (komunis dan orang-orang kiri-progresif) dan bukan untuk sosok-sosok mulia para jenderal.
Maka sepanjang 1965-1966, kuburan-kuburan macam lubang buaya diciptakan di mana-mana untuk operasi penistaan. Tebing, rawa, sungai, jurang, dan bentangan pantai yang sunyi bersulih menjadi kuburan besar tanpa tonggak nisan yang ditaburi ritus doa untuk menghilangkan jejak pergerakan komunis dan kiri-progresif di Indonesia.
Pemimpin kaum kiri progresif seperti Sukarno adalah salah satu korban bagaimana mesin politik kuburan itu dijalankan. Sukarno disingkirkan dari kuburan Kalibata bukan semata karena kemauannya dimakamkan di Blitar, tapi juga sebuah upaya menjauhkan aura dan nama besarnya dari Jakarta saat Soeharto melakukan konsolidasi kekuasaan.
Soeharto tahu betul kuburan Kalibata dan kuburan-kuburan pahlawan yang dibuat di setiap kabupaten di Indonesia hanyalah arena politik. Karena itu, kuburan-kuburan pahlawan itu tak pernah masuk dalam opsinya jika kelak ia wafat. Ia memilih kuburannya sendiri di tempat yang sepi dari ingar-bingar politik di Karanganyar; sebagaimana Presiden Gus Dur lebih memilih berkumpul dengan keluarga batihnya di Jombang ketimbang rebah bersama para pahlawan di Kalibata.
Tapi berbeda dengan pejuang-pejuang yang berideologi komunis dan kaum progresif lainnya. Kalibata dan taman makam pahlawan lainnya di kabupaten kota adalah simbol pengakuan negara setelah dinista habis-habisan dalam sejarah. Bukan hanya pengakuan bahwa mereka bukanlah si bejat, tapi juga bagaimana mestinya negara memberi ruang historis bahwa narasi sejarah Indonesia ini ditenun secara bersama oleh para-kaum dan bukan hanya kaum yang menyenangkan hati sebuah rezim.
Karena itu, puncak dari drama penemuan tulang-belulang Tan Malaka bukanlah saat penggalian kubur di sebuah lembah yang sunyi di Selopanggung, Semen, Kediri yang dijaga serdadu pada 2011 silam. Drama itu menunggu klimaksnya saat tulang-belulang Tan Malaka itu berdiam di Kalibata kelak.
Paling tidak itu memberi harapan baru dari drama absurditas politik kuburan seperti yang dialami Letkol (Pnb) Heru Atmodjo. Di tengah malam 25 Maret 2011 jenazah Heru yang pernah menerima bintang gerilya ditendang paksa dari TMP Kalibata DKI Jakarta ke TPU Bangil Jawa Timur lantaran si juru kunci politik kubur lalai mengawasi bahwa Heru terlibat aktif dalam peristiwa kelam Lubang Buaya.
Absurditas politik kuburan semacam itulah yang mengingatkan kita pada sosok Hatta dalam sebuah siang di bulan April tahun 1966 yang muram di atas kuburan Sutan Sjahrir di Kalibata mengucapkan kalimat: “Ia berdjoang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam pembuangan Indonesia merdeka. Ikut serta membina Indonesia merdeka. Tetapi sakit dan meninggal dalam tahanan Republik Indonesia jang merdeka. Bukankah itu suatu tragedi!”
Tapi bukan kalimat itu yang membuat kita tergetar, namun kalimat pendek Hatta yang dibisikannya pada keluarga Sjahrir: “Aku tak mau dikubur dengan cara begini di sini”.
Bisikan Hatta itu tak hanya mendefinisikan kuburan-untuk-pahlawan, tapi juga bagaimana kuburan menjadi sengketa politik yang absurd. Hatta mengingatkan “perdamaian” di kuburan dari sengketa politik yang keras antara Sjahrir-Sukarno adalah sebentuk nostalgia menyedihkan. Atau dalam kata-kata Hatta, sebuah tragedi.
Kita menjadi tahu bahwa kuburan bukan hanya merupakan simbol sebuah peziarahan suci yang keramat di mana paling tidak setiap tahunnya di Hari Pahlawan kepala negara dan daerah menabur bunga di pusara kuburan, melainkan juga simbol politik di mana negara menilai dan menyeleksi apakah seseorang layak dikenang atau diabaikan. [gusmuh]
* Versi cetak dipublikasikan Harian Jawa Pos Minggu, 9 November 2014
0 komentar:
Posting Komentar