JANUARY 5, 2015
JOSHUA OPPENHEIMER DAN ADI, ADIK RAMLI. “Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas HAM di tahun-tahun terakhir ini.” (photo download AFP/Getty Images)
PRAKARSA sejumlah aktivis HAM menayangkan film dokumenter
“Senyap” –The Look of Silence– di sejumlah kota, menimbulkan pro kontra akhir
tahun 2014 di tengah masyarakat. Beberapa acara penayangan, termasuk di
lingkungan perguruan tinggi, dihentikan sepihak oleh sekelompok massa yang
kontra, yang antara lain karena menganggap karya sutradara Joshua Oppenheimer
itu sebagai “film PKI.” Lembaga Sensor Film (LSF) juga menolak film tersebut
diputar untuk umum di bioskop-bioskop.
LSF menganggap film “Senyap” –yang merupakan karya
berikut Oppenheimer setelah “Jagal” atau The Act of Killing– secara tersirat
mengarahkan penonton bersimpati kepada PKI dan ajaran komunisme. Ini
dikuatirkan LSF dapat menimbulkan ketegangan sosial politik dan melemahkan
ketahanan nasional.
“Film ini bersumber dari histories recite (sejarah
sebagaimana dikisahkan) bukan sebagai histories realite (sejarah
sebagaimana yang terjadi). Film ini memperlihatkan anakronisme dari kisah yang
dibangun dan merupakan snapshot (fragmen) yang mengandung tujuan
tertentu. Karena itu film ini hanya dapat dipertunjukkan untuk kalangan
terbatas dan tidak layak untuk konsumsi publik.”
Untuk sebagian, alasan LSF mungkin terasa klise, tetapi
ada juga benarnya. Peristiwa-peristiwa kejahatan kemanusiaan sebelum dan
sesudah Peristiwa 30 September 1965, hingga kini masih menjadi sumber
polarisasi sikap di sebagian terbesar masyarakat. Peristiwa kekerasan di
seputar peristiwa itu sendiri, faktanya memang adalah kekerasan balas berbalas
yang mencipta suatu malapetaka sosiologis.
Dan tak ada pihak yang merasa lebih
bersalah daripada pihak yang lain. Fakta politik menunjukkan bahwa pada kurun
waktu sebelum dan sesudah tahun 1965 pada hakekatnya terjadi pertarungan
politik antara kekuatan politik komunis dengan kekuatan non komunis. Di
tengah-tengah, terjepit sebagian besar anggota masyarakat, yang bukan bagian
dari keduanya, namun ikut menjadi korban dengan jumlah korban tak kalah besar.
Semua pihak, yang di kiri maupun yang di kanan, tak
terkecuali yang di tengah, memelihara ‘dendam’nya sendiri secara
berkepanjangan, berdasarkan luka dari penderitaan yang mereka anggap tak
kunjung terselesaikan secara adil. Beberapa di antara mereka mencoba
menjinakkan rasa perih dalam diri mereka, yang dengan berjalannya waktu
berangsur-angsur berhasil. Namun, ada saja faktor ‘baru’ yang ganti berganti
muncul membuat luka kembali basah.
Kenapa faktor ‘baru’ atau ‘diperbarui’ itu muncul dan
bisa membuat luka kembali basah, tak lain karena belum berhasilnya kebenaran
sejati dari peristiwa itu bisa dijelaskan dengan fakta berdasarkan –meminjam
terminologi LSF– histories realite. Secara bersama,hingga sejauh ini
bangsa ini belum berhasil membentuk suatu Komisi Kebenaran yang terpercaya dan
mampu menghadirkan kebenaran sejati dari semua sisi yang bisa menjadi sandaran
referensi bersama dalam menilai peristiwa sejarah yang telah dialami. Peristiwa
seputar tahun 1965 dan 1966 ini, memiliki skala yang tidak kecil, mengingat
jumlah korbannya setidaknya 500.000 orang bahkan kemungkinan besar mencapai
angka jutaan. Suatu referensi kebenaran sejati, membantu untuk meredakan
kemarahan dalam diri berjuta-juta orang,terutama generasi muda, yang sebagian
besar pada hakekatnya adalah warisan ‘sejarah’ melalui penuturan.
Korban.
BERAPA korban dalam malapetaka sosiologis pasca Peristiwa
30 September 1965? Pertengahan Desember 1965 Presiden Soekarno membentuk Fact
Finding Commission (FFC) untuk mengetahui berapa korban kekerasan
kemanusiaan setelah peristiwa. FFC yang diketuai Menteri Dalam Negeri Dr
Soemarno Sosroatmodjo, melaporkan jumlah 80.000 korban. Tetapi salah satu
anggota FFC, Menteri Oei Tjoe Tat SH, melaporkan tersendiri perkiraannya kepada
Soekarno, dan menyebut angka 500.000-600.000 korban.
Menurut wartawan senior Julius Pour dalam bukunya G30S,
Fakta atau Rekayasa (Kata Hasta Pustaka, 2013) “jumlah korban selalu
menjadi bahan pergunjingan.” Julius menulis, meski FCC secara resmi telah
mengumumkan jumlah korban tewas sekitar 80.000 orang, Rum Aly (Redaktur
Mingguan Mahasiswa Indonesia) –dalam buku Tititik Silang Jalan
Kekuasaan Tahun 1966, terbit 2006– tidak percaya terhadap angka tersebut.
“Perkiraan moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000. Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo tidak pernah meralat angka korban tewas yang sudah pernah dia sebutkan.”
Menurut Rum Aly, Sarwo Edhie memiliki catatan mengenai
seluruh pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan sesudahnya,
termasuk tentang malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka
signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu
‘hilang’ di tangan orang yang dititipi justru dalam rangka usaha
menerbitkannya.
“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah?”
Angka 3.000.000 korban disebutkan oleh Letnan Jenderal
Sarwo Edhie, antara lain dalam percakapan dengan beberapa Manggala BP7 –salah
satu di antaranya, Hatta Albanik MPSi– yaitu saat sang jenderal menjabat
sebagai Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila.
Buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, lebih
jauh mengungkapkan, bahwa pada tahun-tahun 1966-1967 hingga beberapa tahun
berikut, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari
menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah ini, terutama
terhadap pengikut PKI. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya
Soe-Hokgie melalui tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa
Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena
tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie berkali-kali menjadi sasaran teror.
Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa
Indonesia edisi Jawa Barat, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen
yang lebih dikenal sebagai MT Zen pernah menyentuh substansi masalah tersebut.
MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror
PKI selama beberapa tahun terakhir, sebagaimana yang kemudian ‘terbukti’ di
Lubang Buaya. Dalam suasana itu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang
dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah
dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia.”
Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30
September 1965, suratkabar-suratkabar milik tentara dan atau dipengaruhi
tentara, seperti AngkatanBersendjata dan Berita Yudha, sangat
berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama di Lubang Buaya.
Brigadir Jenderal Sunardi DM dalam sebuah percakapan dengan Rum Aly di tahun
1986 –beberapa bulan sebelum almarhum– mengakui adanya kampanye seperti itu,
untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap PKI. Penggambaran kekejaman
yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan
Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal di seluruh Indonesia,
dengan dampak yang luar biasa dahsyat.
Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang
dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri,
kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu
memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak azasi dari dimensi
subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI. Mingguan itu
memberi tempat kepada berbagai berita ekses, termasuk mengenai masalah tahanan
politik seperti pengungkapan angka 80.000 tahanan politik oleh Herbert Feith
dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai Marxisme dan
tentang nasib orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang disampaikan
oleh pihak aparat militer, diabaikan.
Terlepas dari kampanye berlebih-lebihan dari kalangan
tentara, memang di masyarakat juga tercipta tumpukan kebencian akibat sepak
terjang PKI ketika berada di atas angin antara tahun 1960-1965 dalam berbagai
bentuk, mulai dari kekerasan fisik maupun psikologis. Tumpukan kebencian
tersebut, ditambah berita keterlibatan PKI dalam pembunuhan para jenderal
dinihari 1 Oktober 1965, maupun kenangan Peristiwa Madiun 1948, menjadi
pendorong utama gerakan penghancuran yang melibatkan anggota masyarakat secara
luas.
Bila pada awalnya, di wilayah perkotaan sasaran
penghancuran hanyalah bangunan-bangunan fisik perkantoran partai dan organisasi
mantelnya, pada proses selanjutnya di beberapa daerah dengan cepat berubah
menjadi kekerasan yang mengalirkan darah dan melenyapkan nyawa. Ladang
‘pembantaian’ utama adalah daerah-daerah di Jawa Timur yang dilakukan terutama
oleh massa NU (Nahdatul Ulama) dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser), Jawa
Tengah dan Bali dengan penggerak utama dari kalangan PNI (Partai Nasional
Indonesia) kendati di tingkat nasional PKI dan PNI adalah kawan sebarisan yang
mendukung konsep Nasakom (Nasional-Agama-Komunis) Pemimpin Besar Revolusi
Soekarno. Pembantaian serupa dalam skala yang lebih kecil terjadi pula di
daerah-daerah seperti Sumatera Utara –lokasi bagi film “Senyap” dan “Jagal”–
maupun Sulawesi Selatan, secara sporadis di Jawa Barat dan aneka peristiwa
insidental di berbagai wilayah Nusantara lainnya.
Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa
PKI. Namun harus dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan
masyarakat biasa yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama
terjadi pula pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara
masyarakat sendiri serta korban-korban fitnah tak berdasar.
Sesungguhnya, massa PKI bukanlah penderita dan korban
tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di masyarakat, termasuk kaum
abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan membalas entah dendam dan
kebencian apa di masa sebelumnya. Bahkan di kalangan pengikut komunis sendiri
terjadi pengkhianatan satu sama lain dengan berbagai motif, termasuk untuk
menyelamatkan diri, yang berakibat kematian mereka yang dikhianati.
Tentara-tentara kesatuan tertentu yang tadinya diketahui ‘dibina’ PKI pun
banyak yang berbalik menjadi algojo dengan kekejaman ekstrim terhadap anggota
PKI sendiri.
POSTER PKI TAHUN 1960.
“Korban terbanyak tentu saja adalah lapisan terbawah massa PKI. Namun harus
dicatat bahwa tak kurang banyaknya korban-korban dari kalangan masyarakat biasa
yang bukan anggota partai tersebut. Karena, di waktu yang sama terjadi pula
pemanfaatan situasi untuk mengeliminasi seteru di antara masyarakat sendiri
serta korban-korban fitnah tak berdasar. Sesungguhnya, massa PKI bukanlah
penderita dan korban tunggal, karena ada begitu banyak korban lain di
masyarakat, termasuk kaum abangan, karena bekerjanya fitnah dan kesempatan
membalas entah dendam dan kebencian apa di masa sebelumnya.” (download
Monash.Edu)
Pelaku.
Siapa sajakah dan seperti apakah para pembunuh dalam
peristiwa-peristiwa berdarah ini, dan siapa korban mereka pada tahun-tahun itu?
Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang bertugas di Malang,
Sjahrul –yang kemudian menjadi aktivis mahasiswa di Bandung sejak tahun 1967–
mengisahkan betapa di pagi hari merupakan pemandangan biasa bila ada kepala
manusia hasil pembantaian tergantung di pagar kantor ayahandanya. Keikutsertaan
sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap semacam tugas suci oleh beberapa
anak belasan tahun.
“Seorang teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita,
mengenai pengalamannya beroperasi pada malam sebelumnya”.
Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan
pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar. Seringkali ada
pengakuan dan dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia itu dilakukan karena
diperintah, oleh tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak yang
melakukannya semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa
melakukan tanpa disuruh.
Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi
bila para korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para pelaku
lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Dalam The Look of Silence para
eksekutor Ramli yang dituduh pengikut PKI, juga memperihatkan gejala psikologis
serupa.
Pada beberapa kalangan massa organisasi Islam saat itu,
pembasmian anggota PKI yang dianggap anti Tuhan, bahkan diyakini sebagai
bagian tugas membela agama. Di Jawa Timur, seringkali dikisahkan bahwa pada
masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh hanyut manusia yang telah
diberantas. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah korban yang jatuh di Jawa
Timur jumlahnya melebihi jumlah korban peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah.
Sedang di Sumatera Utara, menurut film The Act of Killing Oppenheimer
para pembunuh adalah anggota organisasi Pemuda Pancasila yang
menganggap kaum komunis adalah musuh negara –dan membahayakan Pancasila– yang
harus dibasmi.
Kebenaran.
Dua film Oppenheimer yang mencoba menggali ingatan
tentang dimensi kejahatan kemanusiaan, meskipun tidak cukup adil mencari
kebenaran pada dua sisi, tidak perlu terlalu dirisaukan. Apa yang dilakukan
Oppenheimer pada hakekatnya tak beda dengan yang dilakukan oleh satu-dua
sejarawan yang hanya mau menggali kebenaran satu sisi atau per penggal dari
suatu peristiwa. Suatu hal yang sayangnya berkali-kali juga dilakukan Komnas
HAM di tahun-tahun terakhir ini. Dan semuanya itu jelas tak kalah buruknya
dengan kebenaran sepihak yang dikedepankan para ‘sejarawan’ tentara di masa
lalu yang menumpahkan segala kesalahan sejarah kepada PKI sendirian, tanpa
melihat tali temali aksi-reaksi dari segala peristiwa.
Maka, inisiatif lembaga-lembaga masyarakat yang ingin
menayangkan film “Senyap”, tidak perlu dilarang. Dan mereka yang ingin
menontonnya, pun tentu saja tak perlu dihambat. Namun, sebaliknya LSF yang
tidak memberi izin edar untuk umum, pun tak perlu dituduh sebagai bersikap ala
orde baru, karena alasan LSF dalam banyak hal cukup masuk akal.
MENGAPA kita tidak kembali berpikir mengenai suatu Komisi
Kebenaran untuk berbagai peristiwa sejarah dengan kandungan kejahatan
kemanusiaan yang pernah terjadi dan telah membelah rasa kebersamaan dan
menghancurkan moral kebenaran sebagai bangsa selama ini?
Mulai dari kejahatan kemanusiaan pada dua sisi di seputar
Peristiwa 30 September 1965 tentunya. Lalu, Pemberontakan DI/TII, Pelanggaran
HAM masa DOM Aceh pada dua sisi pelaku (yakni Militer RI maupun GAM), seputar
Peristiwa Mei 1998, tak terkecuali Peristiwa Santa Cruz –meskipun Timtim telah
menjadi Timor Leste– sampai Pembunuhan Munir dan beberapa pelanggaran HAM
lainnya.
Tidak harus pencarian kebenaran selalu berujung pada
suatu proses peradilan, karena kebenaran pun berfungsi memudahkan pencapaian
rekonsiliasi bangsa. Selain itu, tradisi pencarian kebenaran, akan bersifat
mencegah ketidakbenaran lebih lanjut. Terpenting dalam konteks ini, publik
mendapat kebenaran sejati dari setiap peristiwa sebagai pedoman terpercaya agar
mampu turut serta dalam suatu upaya rekonsiliasi mengutuhkan bangsa dalam
semangat keadilan. Kebenaran membawa keadilan. (socio-politica.com)
0 komentar:
Posting Komentar