Jumat, 02 Januari 2015

Penguasaan Gedung Sarekat Islam Semarang dari Masa ke Masa

2 Januari 2015 | Yunantyo Adi S

Wajah bangunan bersejarah Gedung Sarekat Islam Semarang setelah selesai dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Pemugaran dimulai pada awal September 2014 dan selesai dipugar pada 22 Desember 2014. (yas)

PEKERJAAN pemugaran bangunan bersejarah Gedung Sarekat Islam (SI) Semarang (atau dulunya juga bernama Gedung Rakyat Indonesia (GRI) dan sekarang bernama Balai Muslimin Semarang) telah diselesaikan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng pada 22 Desember 2014.

Menurut rencana, serah terima dari BPCB Jateng serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah (selaku penyumbang dana pemugaran) kepada pengelola wakaf akan dilakukan pada Januari 2015.

Gedung SI Semarang saat ini dikelola Yayasan Balai Muslimin (Yabami), sebuah yayasan yang di dalamnya terdiri dari unsur NU, Muhammadiyah, dan ormas Sarekat Islam Anwar Tjokroaminoto. Dari catatan sejarah, bangunan bersejarah ini telah mengalami pergantian penguasaan dari masa ke masa setelah meletusnya Pemberontakan 1926/1927 di Tanah Air. Bagaimana ceritanya?

Berdasarkan Buku Tanah Milik No 369 Wakaf, tanah seluas 1.130 m2 yang di atasnya berdiri bangunan Gedung Sarekat Islam yang terletak di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang merupakan harta benda wakaf yang diwakafkan Haji Boesro. Nama Haji Boesro selaku wakif (pemberi harta benda wakaf) nyata-nyata tertera dalam buku tanah tersebut.

Menurut surat kabar resminya Sarekat Islam Semarang, yaitu surat kabar Sinar Djawaedisi 7 Mei 1917 dalam catatan kaki Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (1999, halaman 6), disebutkan bahwa Haji Boesro merupakan salah satu komisaris SI Semarang saat Semaoen mengetuai organisasi tersebut sejak tahun 1917.
Adapun bangunan gedung di atas tanah wakaf itu bukan merupakan wakaf dari Haji Boesro, tetapi menurut surat kabar Sinar Djawa edisi 7 Maret 1921 (dalam Dr Dewi Yuliati, Gedong Sarekat Islam Semarang: Pemendam Bara Nasionalisme Indonesia disosialisasikan di Balai Kota Semarang 24 Oktober 2013), diberitakan bangunan di atas tanah wakaf itu didirikan oleh masyarakat atas prakarsa Semaoen dkk, yang biaya pembangunannya berasal dari iuran-iuran anggota SI dan iuran-iuran masyarakat umum, tanpa memandang profesi, ideologi, agama, maupun etnis.

Disebutkan, gedung mulai dibangun pada tahun 1919 dan selesai dibangun pada tahun 1920. Total biaya pembangunan adalah f.10.061,925. Kontribusi dari anggota SI dan derma dari publik adalah f.8.641,47. Sampai 31 Desember 1920 masih ada kekurangan dana sebesar f.1.447,445. (“Vergadering Tahoenan SI Semarang” dalam Sinar Djawa, 7 Maret 1921).

Sumber-sumber sejarah menyebutkan, awal-awal berdirinya, yang menggunakan gedung itu adalah Sarekat Islam, Budi Utomo, Nationaal Indische Partij, Vereeniging Spoor en Tramweg Personeel (VSTP), SI School, Partai Komunis Indonesia (PKI), Revolusioner Vaksentral, Sarekat Rakyat, kaum Tionghoa, dll. Tokoh-tokoh pergerakan awal yang menggunakan gedung itu untuk keperluan politik antara lain Semaun, Darsono, Haji Boesro, HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Alimin, Tan Malaka, Bergsma, Tjioto Manoenkoesoemo, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dll.

Setelah kejadian pemberontakan rakyat melawan kolonial Belanda di Banten pada Desember 1926, gedung itu digembok oleh Komite Perawat Gedung maupun digemok pula oleh ditutup militer Belanda sampai tahun 1929.

Gedung asli bangunan Sarekat Islam (SI) Semarang. Foto yang didapat dari mantan ketua Yayasan Balai Muslimin Semarang Sjamsuddin Hamidy ini diambil tahun 1978.

Menurut kesaksian Tjipto (atas nama Persatuan Perintis Kemerdekaan cabang Semarang, 1980) dalam Riwayat Gedung Rakyat di Gendong Semarang, dituturkan pada tahun 1929 Haji Boesro menyerahkan kunci Tjipto yang sebelumnya merupakan anggota SI tahun 1916 setelah Tjipto mendapat mandat dari Soebono, salah satu Komite Perawat Gedung, yang sebelumnya bersama Tjipto ditahan di tahanan Salemba, Jakarta.

Isi mandat itu itninya adalah agar gedung bisa berfungsi dan terawat, agar dipasrahkan ke salah satu partai politik, dan dipilihlah Partindo (Partai Indonesia) sebagai perawat gedung. Oleh sebab selain digembok Komite Perawat Gedung yang kuncinya dibawa Haji Boesro gedung tersebut juga disegel/digembok Politieke Inlichtingen Dienst atau PID, Dinas Intelijen Politik di Hindia Belanda, dengan kunci yang berbeda, mau tidak mau juga harus mengambil kunci ke PID. Tjipto yang saat itu dibantu Moedigdo, Sekretaris I Boedi Oetomo Cabang Semarang, mengambil kunci dari PID.

Akhirnya GRI/Gedung SI itu dibuka bersama-sama tanpa ada reaksi dari mana pun, dan selanjutnya dikuasai/dirawat Partai Indonesia (Partindo). Dengan masuknya Partindo yang diikuti beberapa organisasi lainnya, seperti PNI Pendidikan, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dll, dan banyak sekali dikunjungi tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Mr Sartono, Adam Malik, Ali Sastroamidjojo, Amir Sjarifuddin, dokter Soetomo, Muh Jamin, dll. Dalam perkembangannya otomatis publik menyebutnya Gedung Partindo –padahal Partindo dalam hal ini hanya perawat saja.

Selain disejarahkan oleh Tjipto, adanya kegiatan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan di Gedung SI Semarang ini disejarahkan oleh Soekirno dalam buku Semarang(diterbitkan Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang, 1956), adapun Soekirno sendiri masa itu merupakan Acting Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang. Juga disejarahkan oleh harian Suara Merdeka dalam berita berjudul “Semarang Dizaman Semaun”, edisi hari Djumat, 21 Desember 1956 (arsip Suara Merdeka yang diterbitkan ulang di Suara Merdeka sesi Semarang Metro edisi 25 September 2014).

Masih menurut Tjipto, perawat gedung selanjutnya diteruskan oleh Gerakan Rakyat Indonesia dan PPRI (identitas dua organisasi ini belum diketahui). Setelah Jepang menjajah menggantikan Hindia Belanda, seluruh pergerakan politik dilarang hidup dan penguasa Jepang menangkap para pemimpin, ditambah dewasa itu “kita” sedang mengalami kristalisasi, maka untuk sementara gedung itu ditinggalkan.

Soekirno dalam Semarang (halaman 47) menyebutkan, pada saat meletusnya Peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang, 15-20 Oktober 1945, Gedung SI Semarang telah dipergunakan Pos Palang Merah. Kemudian pada halaman lain, pada bahasan tentang “Pemerintah Kota Besar Semarang” (Semarang, hal 54 s/d 59), dikisahkan setelah peristiwa itu Pemerintah Kota Semarang pada bulan November 1945 bubar, wali kotanya adalah Mr Imam Soedjahri. Gedung SI di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang selanjutnya dikuasai Bapri yang ketuanya Mr Moch Ichsan, wali kota Semarang kedua pasca-Proproklamasi Kemerdekaan yang merintis kembali Pemerintah Kota Semarang pro-Republik pada Januari 1946 (Semarang, halaman 47 dan halaman 55-56). Dengan dikuasainya Gedung SI di Kampung Gendong oleh Mr Moch Ichsan, gedung itu mencatat sejarah sebagai kantor wali kota Semarang pertama pro-Republik Indonesia di bawah Soekarno-Hatta.

Ini merupakan foto gedung SI setelah wajah depannya berubah. Perubahan wajah tampak depan ini terjadi pada sekitar tahun 1980-an, saat Yayasan Balai Muslimin (Yabami), pengelola gedung saat itu, mendapat bantuan dari Depag.

Sebagai akibat Inggris menyerahkan Pemerintah Kota Semarang ke Belanda pada tahun 1946, Mr Moch Ichsan harus berpindah-pindah ke pedalaman bersama pemerintahan kota yang dibentuknya (berturut-turut di Purwodadi, Gubug, Kdungdjati, Salatiga, dan terakhir di Jogjakarta), selanjutnya Gedung Sarekat Islam Semarang yang saat itu juga dikenal dengan nama Gedung Rakyat Indonesia dititipkan Mr Ichsan ke Panitia Gedung Rakyat Indonesia (PAGRI). Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia pada tahun 1949, mereka yang di pedalaman kembali lagi ke Semarang dan kembali menguasai Gedung Sarekat Islam di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang. (Semarang, hal 47 dan hal 55-56).

Selanjutnya pada tahun 1956, Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang mencatat Gedung Sarekat Islam di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang dikuasai berbagai organisasi serikat buruh, organisasi pemuda, dan lain-lain, termasuk di antaranya Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Pemuda Rakyat, dan Barisan Tani Indonesia (BTI), ketiganya merupakan onderbouw Partai Komunis Indonesia, yang saat itu masih merupakan partai yang legal dan memenangkan pemilu.

Pasca-Peristiwa 1965

Hingga tahun 1965/1966, bangunan Gedung SI masih sempat dipergunakan berbagai sarekat buruh antara lain SOBSI/PKI. Dalam Peristiwa Gerakan 30 September 1965, PKI menjadi tertuduh sebagai arsiteknya. Meski tuduhan itu tidak jelas dan menjadi polemik hingga sekarang, namun eforia politik yang berkembang dan panas di masa itu menyebabkan massa menyerbu masuk ke Gedung SI di Jl Gendong 1144 Semarang, bahkan nyaris membakar gedung itu karena dianggap sebagai gedungnya PKI, namun dicegah warga karena pembakaran gedung akan membahayakan rumah-rumah mereka. Selanjutnya mereka yang sebelumnya sehari-hari berkantor di gedung menjadi terusir.

Ini adalah tampak depan Gedung SI setelah mengalami kerusakan, tak terawat, dan mangkrak. Rumput halaman depan tumbuh tinggi. Foto diambil tanggal 24 April 2013.

Ini merupakan foto gedung SI setelah wajah depannya berubah. Perubahan wajah tampak depan ini terjadi pada sekitar tahun 1980-an, saat Yayasan Balai Muslimin (Yabami), pengelola gedung saat itu, mendapat bantuan dari Depag. [/caption]Berikutnya, selama beberapa tahun gedung itu tidak berfungsi sebagaimana biasanya. Bangunan gedung itu tidak bisa disita oleh negara/militer selaku penguasa perang, sebab harta benda wakaf menurut hukumnya memang tidak dapat disita –di samping itu tidak dapat pula untuk dijaminkan, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

Belakangan ormas-ormas Islam (NU, Muhammadiyah, PSII/SI pro-Anwar Tjokroaminoto –sebagai catatan, PSII terbelah antara pro-Anwar Tjokroaminoto dengan yang pro-HM Chalif Ibrahim) atas seizin Kodim 0733 BS/Semarang diberi izin mengelola bangunan Gedung SI itu untuk kepentingan umum dan kepentingan umat Islam. Nama gedung kemudian diubah dari Gedung Rakyat Indonesia (GRI) menjadi Balai Muslimin.

Diperkirakan sekitar tahun 1985, perwakilan dari ormas Islam yang membentuk Yayasan Balai Muslimin (Yabami) mengadakan pensertifikatan status wakaf dari tanah wakaf di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang beserta bangunan di atas tanah wakaf tersebut. Dari penelusuran yang dilakukan Yabami, didapat ahli waris wakif yaitu Tasminah, yang merupakan keturunan keluarga Tasriepien. Bagaimana silsilah keahliwarisan antara Haji Boesro (wakif) dengan Tasminah ini penulis belum jelas. 

Yang jelas, dari keterangan pengurus Yabami yang sekarang, diketahui bahwa dari Tasminah inilah kemudian situs di mana di atas lahan wakaf itu berdiri Gedung SI Semarang, selanjutnya telah diwakafkan ke Yabami, dan itu dilegalkan dalam buku tanah di Kantor Pertanahan Kota Semarang. Buku tanah ini pada tahun 1993 diperbaharui dan menjadi Buku Tanah Milik No 369 Wakaf, 1 April 1993. Adapun yang menjadi nazhir badan buku adalah Sjamsuddin Hamidy (ketua), M Syahid Imron (sekretaris), dan Tasripin (bendahara). Dalam bahasa UU Wakaf No 41/2004 jo PP No 42/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf, Yabami ini dapat dikatakan sebagai nazhir badan hukum.

Menurut laporan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah tahun 1983, Yayasan Perintis Kemerdekaan merasa memiliki Gedung SI itu, sebab di situ merupakan tempat lahirnya Sarekat Islam Semarang. Namun dengan adanya buku tanah milik wakaf tahun 1993 tersebut, dan tidak ada gugatan dari Yayasan Perintis Kemerdekaan ataupun pihak lain, maka akhirnya secara formal Yabami merupakan yayasan pengelola wakaf –atau nazhir badan hukum—yang saat ini dianggap sah oleh negara.

Pengertian nazhir di sini bukanlah pemilik dari harta benda wakaf yang telah diwakafkan. Dalam konteks wakaf, nazhir merupakan pengelola wakaf, bukan pemilik. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) No 42/2006, yang bunyinya menyatakan:

(1) Harta benda wakaf harus didaftarkan atas nama nazhir untuk kepentingan pihak yang dimaksud dalam Akta Ikrar Wakaf sesuai peruntukannya,
(2) Terdaftarnya harta benda wakaf atas nama nazhir tidak membuktikan kepemilikan nazhir atas harta benda wakaf.”

Kondisi bagian dalam Gedung SI Semarang yang amat parah sebelum dipugar. Bangunan bersejarah ini mangkrak sejak awal Mei 2008 dan ditelantarkan pengelola wakafnya selama bertahun-tahun. Foto diambil tanggal 15 Agustus 2013.

Sesuai ketentuan Pasal 14 PP No 42/2006, masa bakti nazhir perseorangan, nazhir organisasi, maupun nazhir badan hukum tidak berlaku selamanya, namun memiliki masa bakti 5 tahun dan dapat dipilih kembali. Pengangkatan kemballi nazhir yang terpilih kembali itu dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia, apabila yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode sebelumnya sesuai prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.


Mengingat Gedung Sarekat Islam di Jl Gendong Selatan 1144 Semarang itu adalah cagar budaya, maka yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan di sini adalah ketentuan-ketentuan pada Undang-Undang Cagar Budaya No 11/2010 jo PP No 10/1993 tentang Benda Cagar Budaya, serta ketentuan-ketentuan dalam Pasal 83 UU Bangunan Gedung No 28/2002 jo Pasal 83 s/d Pasal 89 PP No 36/2005 tentang Pelaksanaan UU Bangunan Gedung No 28/2002, termasuk diatur juga dalam ketentuan Pasal 150 s/d Pasal 157 Perda Kota Semarang No 5/2009 tentang Bangunan Gedung.

Sumber: YunantyoAdi 

0 komentar:

Posting Komentar