Sabtu, 29 September 2007

Mengenang Malam Jahanam (7a): Kolonel Abdul Latief

September 29, 2007

Tulisan ini adalah karya Harsutejo, dimuat atas izin yang diberikan si penulis kepada saya, dan karenanya saya berterima kasih. Pemuatan tulisan ini untuk menyambut peringatan peristiwa G30S yang telah mengubah secara fundamental jalan sejarah negeri ini. Kalau boleh, saya ingin mendedikasikan pemuatan tulisan ini kepada semua korban di pihak manapun dan keluarga korban peristiwa keji itu dan rangkaian perisiwa keji dengan efek horor yang tak terperikan yang terjadi berikutnya.
Oleh: Harsutejo
Pemeran G30S ini juga pernah menjadi anak buah Suharto di Divisi Diponegoro. Ia ikut ambil bagian sebagai salah satu komandan kompi yang berani dalam SU 1 Maret 1949 di Yogya yang dipimpin Letkol Suharto. Akhirnya Latief menjadi Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya, suatu kedudukan strategis. Sebagai Komandan Kostrad pun Suharto mendekati Kolonel Latief antara lain dengan mendatangi rumahnya ketika Latief mengkhitankan anaknya. Menurut Subandrio hal ini merupakan suatu langkah “sedia payung sebelum hujan”, suatu saat ia akan dapat memanfaatkannya. Di samping itu “Latief mengantongi rahasia skandal Suharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949” seperti yang tercantum dalam pembelaannya di depan Mahmilub pada 27 Juni 1978.
Letkol Suharto tidak banyak mengambil bagian dalam SU itu, ia hanya enak-enak berada di garis belakang yang aman sembari makan soto di warung sebagai yang diceritakan Latief ketika pertempuran seru terjadi dan cukup banyak korban jatuh. Adegan ‘Suharto makan soto babat’ itulah yang disebut Subandrio sebagai “skandal Suharto”. Dalam pasukan Kapten Latief yang masuk ke Yogya dari Godean itu bergabung juga laskar Pesindo yang sudah bersiap di dalam kota di bawah pimpinan Supeno dan Pramuji, menurut AM Hanafi merupakan kekuatan militan serangan umum tersebut.

Hubungan Latief Dengan Suharto

Latief sendiri menyatakan karier kemiliterannya nyaris selalu mengikuti jejak Suharto. Pada gilirannya membuat hubungan Latief dan Suharto bukan lagi sekedar bawahan dan atasan, melainkan sudah sebagai dua sahabat. Suharto tahu Latief tak akan melakukan sesuatu yang dapat merugikan dirinya. Sudah sejak setelah agresi kedua, Latief merasa selalu mendapatkan kepercayaan dari Suharto sebagai komandannya yakni memimpin pasukan pada saat yang sulit. Ketika Trikora pun ia masih dicari bekas komandannya itu, tetapi Latief sedang mengikuti Seskoad. Pada bulan Juni 1965 Mayjen Suharto meminta agar Latief dapat memimpin suatu pasukan di Kalimantan Timur, akan tetapi Umar Wirahadikusuma menolak melepasnya karena tenaganya diperlukan untuk tugas keamanan di Kodam V Jaya.
Di luar dinas Latief mempunyai hubungan kekeluargsaan yang cukup akrab dengan Suharto dan sering berkunjung ke rumahnya. Ketika Sigit, anak Suharto dikhitan, isteri Latief datang. Sebaliknya ketika Latief mengkhitankan anaknya maka Suharto dan Ibu Tien juga datang ke rumahnya. Bahkan pada 28 September 1965 ketika Latief berkunjung ke rumah Suharto di Jl HA Salim, ia membicarakan soal tukar-menukar rumah dinas. Latief menawarkan rumah dinas baginya di Jl Jambu bekas kedutaan Inggris yang lebih besar untuk ditukar dengan kediaman Suharto yang lebih kecil yang sedang ditempatinya.
Menurut Subandrio, Suharto berhasil membentuk trio bersama kedua orang tersebut di atas, keduanya memiliki posisi strategis yang lebih tinggi dibanding trio yang pernah dibentuk sebelumnya bersama Ali Murtopo dan Yoga Sugomo yang telah menghasilkan dirinya ditunjuk sebagai Panglima Diponegoro, lalu naik pangkat menjadi Kolonel dengan menggeser calon kuat Kolonel Bambang Supeno yang pengangkatannya tinggal menanti tandatangan saja.
Kolonel Latief: “Jenderal Suharto Terlibat G30S!”
Dalam pembelaannya Letkol Latief tetap menuduh Jenderal Suharto sebagai ikut terlibat dalam G30S. Ia tidak memiliki ilusi apa pun terhadap Jenderal Suharto yang sedang berkuasa, orang yang setiap saat dapat mengirimkan dirinya ke dunia lain atau membebaskannya, menilik dalam kenyataannya selama rezim militer Orba, Jenderal Suharto berada di atas hukum. Dapat disimpulkan ia memiliki suatu kesadaran politik cukup tinggi. Selama penahanannya Latief mengalami siksaan luar biasa seperti dipaparkan dalam pembelaannya. Menakjubkan ia masih bertahan hidup meskipun badannya cukup rusak, semangat hidupnya luar biasa. Setelah tekanan berbagai pihak di dalam dan luar negeri, ia baru dibebaskan dari penjara pada permulaan 1999. Dengan keadaan badan yang rapuh, ia terkena stroke, akan tetapi semangat hidupnya tidak pernah pudar. Sejak itu ia harus dibantu seorang “penerjemah” untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sekalipun demikian ia tetap aktif mengikuti berbagai pertemuan, seminar, menulis makalah. Dalam suatu kesempatan bertemu dengan penulis pada permulaan 2001, ia sedang menyelesaikan bukunya tentang SU 1 Maret 1949.
Berbagai pertanyaan timbul terhadap kenyataan bahwa seorang Latief tidak dihukum mati oleh pengadilan yang sekedar mementingkan proses formal dan mengabaikan pembuktian material. Bahkan untuk tokoh yang masih menjabat sebagai menteri pada tahun 1965 seperti Aidit dan Nyoto, dengan entengnya ‘dibereskan’ oleh penguasa militer Orba. Rupanya pengadilan terhadap mereka tidak menguntungkan sang penguasa. Sebagian orang mencurigai Latief sebagai melakukan deal tertentu dengan Suharto, sampai saat ini tanpa bukti, atau barangkali menurut logika intelijen. “Seseorang di suatu tempat dalam rezim tampaknya menghendaki ia tetap hidup,” begitu tulis Carmel Budiardjo. Seseorang itu tidak bisa lain kecuali Jenderal Suharto. Untuk kepentingan apa ia menghendaki Latief hidup, bagian dari suatu deal? Macam apa kesepakatan itu, terlalu mahal untuk Latief dan terlalu riskan untuk Suharto, ini bila ditinjau dari kacamata setelah G30S. Tentu saja Suharto pun selama berkuasa dengan amat mudahnya setiap saat dapat melenyapkan Latief bagai menepuk nyamuk.
Kenyataan bahwa Latief tidak dihukum mati, menimbulkan suatu spekulasi bahwa ia memiliki keterangan yang lebih sempurna yang disimpan di luar Indonesia dengan pesan supaya segera diumumkan jika ia dibunuh. Dalam majalah Far Eastern Economic Review 2 Agustus 1990 diberitakan memoar Latief disimpan di sebuah bank. Keterangan Latief memang memenuhi syarat untuk menyeret Jenderal Suharto sebagai terlibat G30S golongan A, sesuai Pasal 4 Keputusan Kopkamtib 18 Oktober 1965, semua orang yang terlibat secara langsung, mereka yang mengetahui rencana kup dan lalai melaporkan kepada yang berwajib.
Ada satu hal lagi yang amat mencolok, Kolonel Latief ditangkap sepuluh hari setelah kegagalan gerakan, tetapi ia diadili 13 tahun kemudian pada 1978. Sedang vonisnya baru mendapatkan kepastian hukum pada tahun 1982! Latief merupakan saksi kunci yang dapat menggoyahkan kedudukan Jenderal Suharto. Pada masa permulaan bahkan pada tahun-tahun permulaan pengikut BK masih cukup kuat, maka diperlukan waktu bagi Suharto untuk mengkonsolidasikan diri dan kekuasaannya. Dengan kata lain Suharto memerlukan waktu, pendeknya faktor waktu amat penting dalam hal ini. Itulah sebabnya setelah usaha menyiksa dan mengisolasi Latief habis-habisan selama 10 tahun tidak juga membunuhnya, dengan berjalannya waktu ia tidak terlalu berbahaya lagi. Suharto sudah cukup kuat dan mampu mengangkangi hukum dengan mudah. Demikian ulasan Joesoef Isak yang sangat menarik, faktor waktulah yang diperlukan oleh rezim Suharto untuk menaklukkan kesaksian dan bahan apa pun yang dimiliki Latief. Sudah jauh-jauh hari kenyataan ini telah dimanipulasikan dengan keterangan juru bicara militer yang menyatakan Latief dengan sengaja tidak mematuhi perintah dokter [berhubung luka-luka yang dideritanya], sehingga ia tidak cukup sehat untuk muncul di pengadilan, sebagai disiarkan Kompas 26 Maret 1966.
Peran apa sebenarnya yang telah dimainkan oleh Kolonel Latief, semata-mata sebagai seorang militer yang setia kepada Presiden Sukarno, seseorang yang terseret masuk ke dalam perangkap Syam, atau orang Suharto yang sepahnya dibuang setelah habis manis, atau yang lain? Kalau dia sepah yang dibuang seharusnya ia dilenyapkan setelah dikorek keterangan yang diperlukan kepentingan rezim, agar selanjutnya bungkam. Seseorang yang menamakan dirinya sebagai mantan intel tiga negara sekaligus RI-CIA-KGB mesinyalir Latief sebagai agen ganda, karena itu ia selamat terus (Detak 5 Oktober 1998:9). Masih dapatkah kita mengharapkan sesuatu yang lain di samping pledoinya di pengadilan, demi kepentingan sejarah bangsa? Sayang sampai meninggalnya tokoh ini pada 2005, tidak ada informasi baru yang disampaikannya.
Trio Sel Komunis?
Dalam berbagai diskusi informal tentang G30S sebagian orang mengutuk Latief sebagai pengkhianat karena telah melaporkan gerakan yang diikutinya sendiri kepada Jenderal Suharto. Hal ini perlu dipertanyakan apakah menemui Suharto sebagai bekas komandannya dan orang yang cukup dekat dengan dirinya itu inisiatifnya sendiri? Kalau bukan siapa yang memerintahkannya? Sebagian pihak menyatakan dia itu sebenarnya anggota trio sel bawahtanah PKI bersama Letkol Untung dan…. Jenderal Suharto di bawah binaan Syam [atau Aidit?] sebagai bagian dari BC PKI. Dalam hubungan ini tak aneh jika ada pihak yang menyebut Jenderal Suharto sebagai gembong PKI yang berkhianat. Ada cerita seorang tokoh yang tidak mau disebut namanya, pada permulaan Oktober 1965 menemui Aidit di Jawa Tengah ketika baru tiba dari Jakarta, DN Aidit menyatakan, “Wah celaka, kita ditipu oleh Suharto!”
Di sepanjang kesaksiannya, Kolonel Latief tidak sekalipun menjatuhkan nama PKI, sangat kontras dengan Syam, Ketua BC PKI. Sayang hal-hal di atas tidak dapat dirujuk silang dengan narasumber lain maupun sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan [atau belum?]. Apakah kita akan mimpi mendapatkan tambahan keterangan dari Jenderal Besar (Purn) Suharto yang sedang didapuk sebagai koruptor hiu paling akbar di dunia dan baru memenangkan Rp 1 triliun di Mahkamah Agung RI menghadapi majalah Time? (Dipetik dari Harsutejo, Sejarah Gelap G30S, revisi).
Sumber: TeguhTimur 

0 komentar:

Posting Komentar