Sabtu, 29 September 2007

Para seniman dan sastrawan Lekra, kehidupan mereka sekarang (3): Tristuti Rachmadi Suryosaputro


Jawa Pos - Sabtu, 29 September 2007

Tukang batu yang diundang mendalang keliling Amerika



Tristuti Rachmadi Suryosaputro pernah menjadi dalang tersohor pada era 1960-an dengan sebutan "Bang Kris". Meski kini disalip tokoh-tokoh yang lebih muda, mantan aktivis Lekra di Jateng itu masih menjadi jujukan banyak orang. Naskah-naskah "skenario" cerita wayangnya dipakai banyak dalang kondang. 

LEO TEJA KUSUMA, Solo

EMPAT belas tahun setelah diasingkan di Pulau Buru pada 1965-1979, Tristuti Rachmadi Suryosaputro seperti orang "linglung" saat pulang ke kampung halamannya di Purwodadi, Jawa Tengah. Istri dan kedua anak dalang yang pernah kondang di Jawa Tengah pada 1960-an tersebut pergi diambil orang. Demikian pula dengan rumah dan harta bendanya yang lain.

Dengan status eks tapol (ET) yang disandang, saat itu dia tidak berpikiran untuk bisa mendalang lagi. Satu-satunya modal yang dimiliki adalah keterampilan tukang batu yang dipelajari di Pulau Buru. Supaya tetap bisa makan, Pak Tris, demikian dia dipanggil, akhirnya memutuskan menjadi "kuli bangunan" alias tukang batu. 

Untunglah, Ki Anom Suroto -dalang kondang asal Solo- kemudian mencari dia di tempatnya bekerja di Jetis, Jogjakarta. "Kalau tidak ada Pak Anom, mungkin saya sudah mati sekarang. Fisik saya tidak akan kuat menjadi tukang batu," kata Tris kepada Radar Solo (Grup Jawa Pos) di rumahnya yang mungil (tipe 18) di Perumnas Mojosongo, Solo, Kamis (27/9).

Rumah pria kelahiran 3 Januari 1939 tersebut sangat sederhana. Sama sekali tidak tercermin rumah itu dihuni mantan aktivis Lekra (Lembaga Kebudayaan Lekra) yang hingga sekarang masih menjadi rujukan banyak dalang kondang seperti Anom Suroto, Manteb Soedharsono, dan Purbo Asmoro.

Di ruang tamu rumahnya, benda-benda berharga yang dipamerkan adalah tiga pamflet berukuran 50 x 75 sentimeter yang dibingkai pigura kayu. Pamflet yang dicetak di kertas jenis paper art glossy tersebut diterbitkan Brown University, UCLA Berkeley, dan Wesleyan University. Tiga perguruan tinggi itu berada di AS.

Pamflet-pamflet tersebut memang sengaja didokumentasikan Tris sebagai kenang-kenangan kunjungan dirinya ke lima perguruan tinggi di AS, 5-24 April 2001. Saat itu, dia diundang bersama istri dan dua rekan seniman asal Solo untuk pentas di Negeri Paman Sam. "Selain menjadi pembicara, saya diundang sebagai puppeteer (dalang) dalam pementasan wayang kulit," ungkapnya.

Undangan dari perguruan tinggi dari AS itu, kata Tris, selain menjadi wujud penghargaan atas eksistensi dirinya sebagai seniman, menjadi pelipur lara. Sebab, rentetan peristiwa politik pascaperistiwa 30 September 1965 telah merampas segala-galanya dari dirinya. Termasuk, penghasilan Rp 25 ribu sekali pentas kandas. 

Jika dikonversikan dengan nilai uang sekarang, jelas dia, honorarium sebesar itu melebihi dalang kondang seperti Anom Suroto dan Manteb Soedharsono. "Sekarang, sekelas Pak Manteb dan Pak Anom, kalau mendalang, dibayar sekitar Rp 50 juta," tegasnya.

Pukulan yang terberat bagi dia adalah kehilangan istri pertamanya, Nasrini, yang kini dinikahi orang lain dan tinggal di Batam. Dua anak hasil perkawinan pertamanya itu, Chandra Krisnani dan Yuli Krisranti, kini tinggal Sydney, Australia, yang kadang-kadang mengontak dirinya lewat telepon.

Soal peristiwa politik yang terjadi menjelang dan pasca 30 September 1965 itu, Tris yang kelahiran Sugihmanik, Tanggung, Kabupaten Purwodadi, mengaku tidak banyak tahu. "Saya bukan orang dari politbiro, tapi hanya seorang seniman yang berusaha eksis," katanya.

Salah satu yang dikenangnya selama "episode gelap" di Pulau Buru adalah teman sesama tapol, Kho Bien Kiem, yang dia anggap guru spiritual. Wejangan-wejangan Kho membuat Tris bertambah kuat. Kemudian, nasihat itu dia terapkan saat "mendalang" lagi setelah kembali pada 1979. 

"Kalau kamu mendalang dengan alat-alat bagus, nayaga, pesinden, dan alat-alat lengkap, lalu kamu bisa makan enak terus dari hasil mendalang itu, berarti kamu belum bisa disebut ’dalang putih’," kata Tris menirukan pesan Kho Bien yang hingga sekarang tetap dikenangnya. 

Tris mengakui, ajakan Anom Suroto lah yang membuatnya terjun ke dunia pedalangan lagi. Dalam setiap pentas mendalang, Anom selalu mengajak serta Tris yang dijadikan sebagai "kamus hidup pewayangan". 

Lambat laun, Tris diminta membuat kaweruh pedhalangan (sejenis naskah atau skenario cerita dalang) untuk Anom. Hingga saat ini, entah sudah berapa ratus kaweruh yang dia tulis untuk Anom. Yang jelas, yang masih dia simpan sekitar 150 naskah yang sudah dibukukan. 

Hingga sekarang, Tris masih menjadi rujukan bagi Anom, Manteb, Purbo, dan dalang- dalang lain di wilayah eks Karesidenan Surakarta, Jogja, dan wilayah lain di Jawa Tengah. "Harga" satu kaweruh Tris setebal 50-an halaman sekitar Rp 100 ribu. 

Begitu berartinya kaweruh yang dibuat Tris, dalang Ki Purbo Asmoro pun menjadikannya sebagai tesis saat menempuh S-2 di Universitas Gadjah Mada (UGM). "Karismanya di mata para dalang di Solo dan sekitarnya memang sangat kuat," kata Purbo yang juga dosen pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Selain membuat kaweruh, beberapa kali Tris dipercaya menjadi dalang ruwat serta diundang menjadi dalang pentas. Dia bahkan pernah menjadi dosen lepas di ISI Surakarta (semasa masih bernama Sekolah Tinggi Seni Indonesia). Setelah ekonominya membaik, Tris menata hidup lagi. Setelah perkawinan pertama gagal, hingga sekarang dia sudah dua kali menikah. Setelah istri keduanya, Mulyati, meninggal pada 2000, dia menikahi Maria Sri Lestari.

Bersama sang istri, Tris membesarkan anak perempuannya, Kinanthi Finarsih, 17, yang kini kuliah di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Rumah yang ditempati saat ini merupakan hasil jerih payahnya sekembali dari pengasingan. Sayang, masa kebangkitan kedua Tris hanya bertahan hingga 2005. Saat ini, dia semakin tua (68 tahun). Suaranya tidak kung (merdu) lagi. Napasnya mulai tersengal untuk nada panjang. Demikian pula, keprakan kakinya tidak kencang lagi.

Saat ini, kata Tris, order mendalang tidak mesti tiga bulan sekali bisa dia dapat, meski dirinya mematok harga cukup murah. Yaitu, hanya seperlima sampai seperenam dari tarif dalang kondang "muridnya" semacam Anom dan Manteb. "Sebenarnya, kalau masih bisa mendalang dua kali sebulan, itu sudah cukup. Tapi, sekarang sulit sekali," sesal Tris.

Menurut dia, beberapa kali penerbit pernah meminta naskah-naskah kaweruh-nya untuk diterbitkan. Tapi, hingga sekarang, belum satu pun yang mau menerbitkan sebagai buku. Sebab, Tris tidak mau karya-karyanya itu dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. "Maknanya hilang. Sebab, apa yang saya tulis (dalam bahasa Jawa, Red) hasil perenungan 14 tahun di Buru dan beberapa tahun setelah lepas dari sana," kata sosok yang mengagumi karya-karya Pramudya Ananta Toer itu. (*) 

0 komentar:

Posting Komentar