Minggu, 30 September 2007

Mengenang Malam Jahanam [8]: Brigjen Suparjo

September 30, 2007

Tulisan ini adalah karya Harsutejo, dimuat atas izin yang diberikan si penulis kepada saya, dan karenanya saya berterima kasih. Pemuatan tulisan ini untuk menyambut peringatan peristiwa G30S yang telah mengubah secara fundamental jalan sejarah negeri ini. Kalau boleh, saya ingin mendedikasikan pemuatan tulisan ini kepada semua korban di pihak manapun dan keluarga korban peristiwa keji itu dan rangkaian perisiwa keji dengan efek horor yang tak terperikan yang terjadi berikutnya.
Oleh: Harsutejo
Ia berasal dari Divisi Siliwangi, pasukan Suparjo lah yang telah berhasil menangkap gembong DI Kartosuwiryo dan mengakhiri pemberontakan DI di Jawa Barat. Kemudian ia ditugaskan ke Kostrad, lalu menjabat sebagai Panglima Kopur II Kostrad di bawah Jenderal Suharto. Tokoh ini juga cukup dekat dengan Suharto. Hampir dapat dipastikan bahwa tokoh ini pun, seperti kedua tokoh sebelumnya yakni Letkol Untung dan Kolonel Latief, seseorang yang memiliki kesetiaan tinggi kepada Presiden Sukarno.
Suparjo merupakan anggota kelompok yang biasa disebut kelompok Kolonel Suwarto (Seskoad Bandung), yang di dalamnya terdapat Alamsyah, Amir Makhmud, Basuki Rakhmad, Andi Yusuf, Yan Walandow. Yang terakhir ini seorang kolonel yang ikut pemberontakan Permesta, kemudian menjadi pengusaha. Ia mempunyai hubungan lama dengan CIA dan menjadi petugas Suharto dalam mencari dana dari luar negeri. Ia pun anggota trio Suharto-Syam-Latief cs [Untung, Suparjo]. Begitu tulis AM Hanafi. Ketika Mayjen Suharto melakukan perjalanan ke Kalimantan sebagai Wakil Panglima Kolaga, ia menyempatkan diri menemui anak buahnya, Brigjen Suparjo. Sebagai komandan pasukan tempur dalam hubungannya dengan konfrontasi terhadap Malaysia, Suparjo sangat risau terhadap korupsi para pembesar militer AD dalam pengiriman suplai ke garis depan. Kenyataan itu sangat mengurangi kekuatan dan semangat pasukannya bahkan membuat frustasi. Malahan dia tidak memiliki pasukannya sendiri yang dapat digerakkan dengan efektif.
Peran apa pula yang dimainkan olehnya selain yang telah diumumkan oleh Mahmillub? Adakah ketiga tokoh militer ini secara sendiri-sendiri atau pun bersama (serta sejumlah yang lain) telah masuk ke dalam perangkap yang dipasang Syam atas skenario Suwarto-Suharto-CIA? Ia disebutkan sebagai memiliki hubungan erat dengan tokoh yang selalu ‘berada di mana-mana’, Syam Kamaruzaman. Sejauh mana apa yang disebut sebagai ‘hubungan erat’ itu tidak ada penjelasan lebih jauh. Perlu ditambahkan Brigjen Suparjo pernah mendapatkan pendidikan militer di Amerika yakni di Fort Bragg dan Okinawa. Tentulah pemilihannya selain berdasar kriteria di dalam negeri yakni pihak AD, juga telah melalui seleksi ketat baku yang dikendalikan oleh CIA. Sampai di mana tangan dinas rahasia CIA bermain dalam hubungan ini?
Di depan Mahmilub jenderal ini telah menantang agar bukan cuma G30S yang diadili, tetapi juga Dewan Jenderal (DJ). Untuk itu ia siap membuktikan keberadaan DJ, kegiatan mereka masa prolog yang menjurus pada peristiwa G30S dan masa yang sama serta bahan-bahan setelah kejadian. Tentu saja permintaan semacam itu hanya menjadi suara di padang pasir tanpa gaung dalam situasi pengadilan penuh rekayasa serta tekanan politik dan penindasan fisik masif rezim Orba. Sedang permintaan sederhana yang amat wajar dari Sudisman di Mahmilub untuk menghadirkan Suparjo sebagai saksi tidak dipenuhi.
Ia pribadi yang disukai bawahannya, seorang militer yang setia kepada BK. Ketika ditahan di RTM Budi Utomo, Jakarta, dalam keadaan diisolasi ia mendapat simpati banyak orang, dari petugas maupun tahanan lain. Ia tidak mau diistimewakan meskipun ia seorang jenderal. Ia membagikan kiriman yang diterimanya kepada tahanan lain. Sikap dan tingkah lakunya pada hari-hari terakhirnya di RTM sangat mengesankan, jantan, bermutu jenderal, sopan dan ramah terhadap siapa pun. Demikian yang dicatat oleh Oei Tjoe Tat. Salah seorang putra Jenderal Suparjo mengisahkan detik-detik terakhir sebelum dia dieksekusi pada 16 Mei 1970. Ketika bertemu keluarganya, dia meminta mereka menggenggam dan menghancurkan sebuah apel, lalu dia memberikan ke masing-masing anaknya apel yang telah digigitnya untuk dihancurkan. “Kalau kalian terdiri dari kepingan-kepingan kecil, akan gampang dihancurkan. Tapi jika kamu bersatu, mungkin akan hancur, tapi diperlukan kekuatan besar…….”. Pada saat terakhir, “Saya lihat ayah berjalan menuju tempat eksekusi. Dia mengenakan baju olahraga putih yang menurut dia bisa sekaligus untuk kafan. Ayah tenang berjalan menuju lapangan sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya” Demikianyang ditulis Tempo 9 Oktober 2005.
Menurut ulasan David Johnson dari perjalanan karier ketiga tokoh G30S, maka hubungan mereka bukan karena mereka tergolong “perwira progresif”, tetapi karena keterpautan ketiganya dengan Jenderal Suharto. Selanjutnya penetrasi intelijen AD dan CIA terhadap AU dan Yon Cakrabirawa sangat masuk akal seperti halnya penetrasi terhadap PKI. Menurut penulis yang sama, ketiga tokoh ini merupakan aktor komplotan yang cerdik dari rancangan CIA-Suharto. Jika demikian halnya, CIA juga akan melancarkan operasi perlindungan dan pemberian identitas baru bagi mereka untuk kemudian dimukimkan di luar Indonesia, suatu prosedur standar CIA. Akan tetapi risiko besar akan kebocoran menjadi lebih cocok jika mereka dilenyapkan setelah dimanfaatkan David Johnson yang menulis makalahnya pada 1976 untuk keperluan penyelidikan yang dilakukan oleh Komite Church pada Kongres AS seputar peran AS dalam pembunuhan massal di Indonesia 1965/1966, luput mengamati peran cukup penting sang agen yang sangat berpengalaman yang bernama Syam Kamaruzaman.
Sebagai diulas oleh Letkol (Pnb) Heru Atmodjo, jika G30S itu suatu gerakan militer yang serius, [bukan sekedar dirancang untuk gagal, hs], seharusnya dipimpin seorang jenderal seperti Brigjen Suparjo yang secara intelektual maupun pengalaman lapangan memadai. Salah satu kupasan mutakhir sejarah G30S ialah buku John Roosa (2007) yang menganalisis apa yang disebut sebagai “dokumen Suparjo” yang juga dijuluki sebagai “jenderal merah.” [sayang penulis belum berhasil mendapatkan buku ini]. Dalam buku Jenderal Nasution (1988), dokumen ini telah diulasnya secara singkat, antara lain sbb: (1) Tidak ada diskusi maupun rancangan Syam dkk menghadapi kegagalan gerakan, semuanya beres, pasti menang; (2) Setelah gagal, mereka bingung, tidak ada perintah jelas, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa pun; (3) Pasukan tidak mendapat makanan, bahkan ada yang minta ke Kostrad. Pasukan meninggalkan RRI tanpa ada instruksi; (4) Rapat memutuskan menghentikan perlawanan, masing-masing bubar, pulang, sambil menunggu situasi.
Dari butir pertama, Jenderal Suparjo memposisikan dirinya berada di luar Syam dkk. Hal ini sesuai dengan kenyataan ia tidak ikut serta dalam serangkaian pertemuan persiapan yang dilakukan Syam dkk. Dari butir ini dan selanjutnya menjurus dan memperkuat kesimpulan, G30S dirancang untuk gagal. (Petikan dari Harsutejo, “Sejarah Gelap G30S,” – revisi).
Sumber: TeguhTimur

0 komentar:

Posting Komentar