Kamis, 26 Juli 2012

Moncongloe, Kamp Auschwitz di Indonesia

Kamis 26 Jul 2012 13:43 WIB
Reporter: Erdy Nasrul/ Redaksi: Heri Ruslan


Moncongloe [Foto: fajar.co.id]

REPUBLIKA.CO.ID,  Kamp Konsentrasi Auschwitz dikenal sebagai tempat penyiksaan orang-orang Yahudi. Di sana mereka dipaksa bekerja untuk kepentingan Nazi. Mereka yang bermalas-malasan dicambuk, ditendang, dipukuli, bahkan dibunuh, seperti diceritakan Psikolog, Victor Emil Frankl, dalam bukunya, Man's Search for Meaning.

Hal itu juga terjadi di Indonesia. Namun korbannya bukan dari pemeluk Yahudi. Mereka adalah kelompok orang yang dituding terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sulawesi Selatan, dan sekitarnya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai tidak kurang dari seribu orang yang dianggap pengurus, anggota, dan simpatisan PKI dijerumuskan ke Moncongloe sejak 1970 sampai delapan tahun kemudian. Dari jumlah itu, 52 diantaranya adalah perempuan.

Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM, Nur Kholis, menjelaskan, apa yang pernah terjadi di Moncongloe adalah perbudakan, karena kemerdekaan mereka yang dikategorikan PKI dirampas. Mereka tidak bebas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka bekerja dipaksa melampaui batas kemanusiaan.

"Ada yang bertahan hidup sehingga dapat kita mintai keterangan. Ada juga yang mati, karena tak kuasa menahan derita," jelasnya, di Jakarta, Kamis (26/7).

Mereka dipaksa bekerja. Tenaganya diperas dengan membangun jalan sepanjang 23 KM dari Moncongloe hingga Daya. Mereka mengambil batu dari gunung dengan mengangkutnya ke jalan raya. Selama bekerja disana mereka tidak diupah. Beberapa orang hanya diberikan beras 1/2 liter per hari yang diberikan setiap satu pekan.

Selama ditahan disana, mereka tidak pernah mendapatkan surat penangkapan maupun penahanan. Pengadilan tidak pernah menjatuhkan vonis. Mereka dipindahkan ke sana untuk dipekerjakan secara paksa.
"Inilah petunjuk pelanggaran delik dan unsur penggunaan kekuasaan dengan merampas kemerdekaan orang lain," jelas Nur Kholis. Hal ini dilakukan sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil.

Dia mengatakan ada korban perbudakan disana menceritakan kisah kehidupannya. Nur Kholis enggan menyebutkan nama korban, karena yang bersangkutan harus dilindungi identitasnya. Sebut saja orang itu bernama Andy. Dia datang ke Moncongloe bersama teman-temannya dengan jumlah keseluruhan 44 orang. Kemudian kelompok ini dikenal dengan kelompok 44.

Saat tiba disana pertama kali, mereka berteriak bahagia melihat singkong yang ada di kebun petugas militer. Maklum ketika di penjara di Makassar, Sulawesi Selatan mereka kekurangan makan. Singkong diibaratkan sebagai makanan enak disantap, meskipun belum dimasak. Mereka berlomba-lomba mencabut dan memakannya. Banyak diantara mereka sakit perut hingga diare.

Selain tanaman singkong, Andy dan teman-temannya melihat empat barak laki-laki dan satu barak perempuan. Salah satu barak berukuran 6 x 20 meter dihuni 80-100 orang. Mereka kemudian membangun barak sendiri, lengkap dengan pagar, WC, aula masjid, poliklinik, dan pos jaga.
Mereka juga bekerja membuka hutan untuk dijadikan kebun milik tentara disana. Luasnya tergantung pangkat tentara, antara empat sampai enam hektar. Hasilnya untuk tentara, bukan mereka. Andy dan teman-temannya terus diperbudak.

Moncongloe terletak di daerah perbatasan Maros dan Gowa, sekitar 20 Km dari ibukota Kabupaten Gowa dan 15 Km dari ibukota Kabupaten Maros, ketinggian sekitar 250 meter dari permukaan laut dengan struktur tanah yang tidak rata. Daerah ini dikenal pula dengan nama tanah merah.

Disekitaran Moncongloe terdapat Kompleks Perumahan Kodam XIV Hasanuddin, yang meliputi; Home Base Puskopad, Home Base CPM, Home Base Kesdam, Home Base Kiwal. Moncongloe sejak tahun 1968 dijadikan sebagai tempat pengasingan tahanan politik (tapol) yang dianggap sebagai PKI oleh pemerintah saat itu, seperti Andy. Moncongloe memiliki potensi hutan yang cukup baik. Kondisi ini kemudian menjadi salah satu alasan alternatif pembukaan Moncongloe sebagai tempat pengasingan para tahanan politik PKI.

Ada tiga potensi awal dan cukup menonjol di daerah Moncongloe; pertama, hutan Moncongloe masih tergolong hutan negara. Pembukaan lahan ini akan mempermudah proses pemilikan lahan dalam jumlah yang besar bagi mereka yang dapat mengontrol pekerjaan Tapol.

Kedua, hutan bambu yang sangat luas adalah sumber bahan baku pabrik kertas Kabupaten Gowa. Adanya hutan bambu juga menjadi alasan ekonomis pembukaan wilayah ini. Para tapol dipaksa bekerja menebang pohon bambu sebanyak-banyaknya untuk dijual kepada pabrik kertas Gowa.

Ketiga, di daerah ini terdapat pohon-pohon besar utamanya bagian pegunungan. Pohon-pohon tersebut memiliki nilai ekonomis. Para tapol dibagi dalam berbagai regu kerja; seperti regu penebang pohon, regu yang khusus membuat papan dan tiang rumah. Regu kerja ini elastis, dapat bertambah ataupun dikurangi tergantung kebutuhan petugas di daerah pengasingan.

Perbudakan di Moncongloe bermula dari kekalahan PKI dalam perpolitikan pascakemerdekaan Indonesia. Partai ini mulai merebut simpati sebagian masyarakat ketika tokoh-tokoh PKI menjual slogan Islam revolusioner dengan argumentasi al-Quran dan hadis. Tokoh-tokoh PKI berusaha meyakinkan masyarakat bahwa komunis sebagai ajaran sangat relevan dengan Islam.

PKI mulai membuka cabangnya di Makassar pada 1922. Partai ini melakukan propaganda dan menyebarluaskan program-programnya dengan memakai corong sebuah surat kabar, Pemberita Makassar. Dengan surat kabar ini, PKI melawan penindasan atas kolonial Belanda. Pendidikan politik kepada rakyat Sulawesi Selatan terus terjadi. Targetnya adalah melawan dan mengusir Penjajah Belanda.

Upaya itu tidak sepenuhnya berhasil karena dominasi gerakan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia. Dua gerakan ini menilai PKI anti agama. Masyarakat cukup kuat menolak PKI, terutama di daerah pedalaman.

Pada Pemilu 1955 PKI secara nasional sukses dalam perolehan pemilihan DPR. Namun kesuksesan itu tidak terjadi di Sulawesi Selatan. PKI hanya meraup suara 0,25%. Bahkan ketika PKI sukses merebut simpati politik Presiden Soekarno, ternyata tidak berpengaruh dalam merebut simpati elit-elit lokal di daerah ini. Karena lagi-lagi, PKI harus berhadapan dengan agitasi DI/TII di daerah pedalaman, bersaing dengan Masyumi serta berhadapan dengan gerakan Permesta.

Setelah gerakan DI/TII dan Permesta berhasil ditumpas TNI, ternyata PKI masih cukup sulit untuk menarik simpati masyarakat Sulawesi Selatan karena mendapat sandungan dari perwira militer yang memiliki fungsi sosial politik dominan di daerah ini.

Ketika terjadi gerakan 30 September di Jakarta, kondisi politik Sulawesi Selatan masih relatif terkendali. Tetapi minggu pertama oktober 1965, gerakan anti komunis di Sulawesi Selatan berkembang sangat cepat. Gerakan anti PKI juga melebar ke masalah etnis. Penjarahan milik warga etnis Tionghoa dan rumah-rumah orang Jawa dilakukan dengan sangat brutal oleh para demonstran. Alat-alat musik tradisional Jawa seperti gamelan tak luput dari amukan massa.

Mereka yang dianggap PKI ditangkap. Hal itu terus terjadi sampai awal tahun 1966 mulai dari Makassar sampai ke daerah pedalaman, seperti Bone, Pare-pare, Jeneponto, Bantaeng, dll. Penjara merupakan tempat persinggahan terakhir dari aktivis dan simpatisan PKI. Mereka dimasukkan kedalam penjara-penjara militer di kodim-kodim di daerahnya masing-masing. Sejak Oktober 1965 sampai Maret 1966, jumlah tapol mencapai 9.765 orang.

Di penjara, para tapol di tindak secara keras, di siksa hingga terdengar jeritan-jeritan yang suaranya didengar seluruh penghuni penjara hampir tiap malam. Setelah itu mereka dijebloskan ke kamp pengasingan Moncongloe.

Mereka yang terlibat dalam penangkapan tersebut adalah petugas militer, baik dengan sukarela atau paksaan. Semua tahanan politik PKI tersebut ditahan tanpa waktu yang jelas. Penangkapan itu bahkan dianggap sah menurut hukum meski tanpa surat penangkapan, surat penahanan, apalagi putusan pengadilan.

Tak sedikit pula penahanan terjadi karena semata-mata salah tangkap. Seperti kasus penangkapan kelompok Tumbung Tellue-Timbung Limae, sebuah aliran tarekat di Bulukumba. Kelompok tarekat ini ditangkap karena warga menduga mereka PKI hanya karena sering melakukan pertemuan intensif.

Sumber: Republika 

0 komentar:

Posting Komentar