Senin, 03 September 2012

Bertemu sang pemeran utama


Senin, 3 September 2012 08:00 | Reporter : Yan Muhardiansyah

Anwar Congo, pemeran utama The Act of Killing. (merdeka.com/Yan Muhardiansyah)

Nama Anwar Congo tiba-tiba menjadi perhatian dengan munculnya film The Act of Killing karya sutradara Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer. Dia narasumber dan pemeran utama film dokumenter bercerita tentang pembunuhan massal selepas peristiwa 30 September 1965.

Tak sulit mencari rumah Anwar Congo di Medan, Sumatera Utara. Datang saja ke kawasan Medan Area, kemudian tanyakan namanya. Orang-orang setempat umumnya kenal dengan tokoh organisasi pemuda ini. Mereka akan langsung menunjuk ke arah rumah berpagar putih di Jalan Sutrisno Gang Sehati nomor 768 itu.

Anwar - berkemeja lengan panjang warna krem - langsung mempersilakan merdeka.com masuk, Rabu pekan lalu. Di dalam teras tertutup itu terlihat berbagai ornamen, termasuk foto burung bangau, anak panah dengan tatakan bertulisan 'Apache', dan cenderamata dari Panglima Komando Daerah Militer I Bukit Barisan serta Persija Jakarta.

Juga terpampang poster film Arsan dan Aminah dibintangi Anwar Congo dan rekan-rekannya. Anwar berperan sebagai koboi. 
"Memang sutradaranya orang TVRI, tapi Joshua (Oppenheimer) juga ikut pegang kamera di film ini. Kisahnya tentang saya bercinta dengan anak PKI. Ayahnya saya bunuh. Di ujung cerita anaknya juga mati karena dia Gerwani," cerita Anwar sambil menunjuk dua poster berhadapan di ruangan itu.
Patung putih berbentuk kepala Anwar pun tampak di teras itu. Benda itu lebih menonjol ketimbang kolam sederhana berisi ikan koi. Tiruan kepala Anwar itu ternyata bagian dari properti The Act of Killing. 
"Sebelumnya ada tujuh patung, satu pecah. Belakangan lima dihancurkan, aku minta satu buat kenang-kenangan," ujarnya.
Setelah menyalakan rokok kretek, Anwar kemudian berbicara tentang apa yang dia ceritakan kepada sutradara Joshua Lincoln Oppenheimer. Pria 72 tahun ini berkisah hanya bersekolah hingga kelas IV SD Taman Siswa, Medan. Dalam perkembangannya, Anwar muda menjadi preman. Lelaki dengan rajah naga besar di perut hingga dada ini mengaku pernah menjadi petinju di Pangkalan Brandan, Langkat, juga atlet bowling di Medan. Untuk olahraga terakhir, dia bahkan sempat bertanding di Malaysia pada 1960-an.

Semasa muda, Anwar biasa mangkal di Medan Bioskop - sekarang menjadi ruko - di Jalan Sutomo, Medan. Selain menjual tiket secara ilegal, dia memasukkan penonton ke dalam bioskop tanpa tiket. Karena terlalu sering menyelundupkan penonton ke bioskop, Anwar akhirnya dijadikan karyawan bagian pengamanan di tempat sangat popular ketika itu.

Di masa yang sama, Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin membesar, termasuk di Medan. Anwar menuding partai ini dan organisasi binaannya sering merasa lebih kuat dan kerap berseberangan dengan partai dan kelompok lain. Menyikapi hegemoni ini, partai saingan PKI merekrut para pemuda, termasuk Anwar dari kalangan preman, untuk memperkuat barisan massanya. 

"Sebenarnya tidak ada yang merekrut secara resmi. Kami bergabung karena emosi," ujarnya sambil menyilangkan tangan kanan di dada kiri. 
Anwar mengklaim mereka paling militan dalam kelompok aksi anti-PKI. 
"Kami sering berhadapan dengan Pemuda Rakyat, organisasi binaan PKI. Bahkan kami pernah berkelahi di Lapangan Merdeka pas acara Hari Kemerdekaan. Waktu itu mereka baris di sana, kami juga baris di sana," ujar Anwar.
Kebencian kelompok-kelompok pemuda ini terhadap PKI dan binaannya semakin memuncak setelah peristiwa 30 September 1965. 
"Mereka mau membunuh Jenderal A.H. Nasution, pendiri kami. Kami semakin emosi. Apalagi selama ini orang-orang PKI sering menuding kami perampok kota dan tidak berpendidikan," dia menegaskan.
Kelompok pemuda lalu gencar menyerang kelompok PKI. Mereka terpusat di posko Jalan Sutomo. 
"(Lokasinya) pas di depan Pekong Lima," ujar Anwar. Dalam penyerangan kemudian diikuti pembantaian para pengikut PKI itu, salah satu sasaran kelompok Anwar adalah kawasan Kampung Kolam, Tembung. 
"Kadang ada perlawanan, dua kawan kita dibunuh mereka di Kampung Kolam, dibenamkan ke dalam parit, kita semakin emosi," ujarnya.
Kelompok Anwar juga mengejar para pendukung PKI yang lari. Mereka biasanya menggunakan mobil direbut dari Universitas Res Publica (Uresca), sekarang menjadi SMA Negeri 8, Jalan Sampali, Medan. Simpatisan PKI tertangkap kemudian diinterogasi di markas komando aksi di Jalan Sutomo. Jika terlibat, langsung dihabisi dan biasanya eksekusi berlangsung pada malam.

Dalam sinopsis film dibuat Oppenheimer, Anwar menyatakan lebih suka menggunakan kawat untuk menjerat leher pendukung komunisme. 

"Bukan karena suka, tapi biar tidak merepotkan. Kalau pakai senjata lain bikin susah membersihkan lagi," ucapnya.
Kelompok aksi tidak memandang etnis dalam pembantaian ini. Warga Tionghoa dibunuh adalah yang terlibat dalam badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), dinilai mendukung PKI. 
"Nggak semua. Kita juga ada kawan orang China membantu pendanaan," ujarnya.
Pria hobi memancing ini mengatakan pembantaian itu merupakan cara ampuh membasmi komunisme dari Indonesia. Itu pula dikatakan Oppenheimer saat mewawancarai dia. Sang sutradara membandingkan sulitnya menghapus komunis di Kamboja, padahal penduduknya hanya sekitar 20 juta jiwa. 
"Makanya dia katanya mau buat film tentang keberhasilan itu. Dia buat dua film, katanya satu fiksi, satu dokumenter. Joshua ini tidak suka dibohongi, orangnya pintar, makanya saya ceritakan semua," kata Anwar. 
Sepengetahuan Anwar, pengambilan gambar The Act of Killing berlangsung sekitar dua tahun, mulai 2008. Dalam situs theactofkilling.com, Joshua menyatakan memulai pembuatan film itu sejak Februari 2004. Anwar mendengar sudah 640 kaset dihabiskan untuk membuat karya audio visual itu.
 "Kata Joshua, satu kaset satu jam. Mau mampus aku syuting dibuat Joshua ini. Malah aku sempat dikasih kamera untuk merekam diri sendiri, bebas bicara apa saja," ucap Anwar.
Namun, Anwar mengaku belum melihat film didasarkan pada penuturan dan langsung dia bintangi itu. Dia pernah meminta salinannya, tapi Oppenheimer belum memberikan. Anwar masih bertanya-tanya seperti apa film itu. Dia hanya mendengar The Act of Killing akan diputar di Festival Film Internasional Toronto mulai Sabtu pekan ini. [fas]

Sumber: https://www.merdeka.com/khas/bertemu-sang-pemeran-utama-polemik-the-act-of-killing-3.html

0 komentar:

Posting Komentar