Minggu, 23 September 2012

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (2)

  SOCIOPOLITICA


PEMUDA RAKYAT PKI DI ATAS TRUK DI TANGERANG, DIKAWAL TENTARA MENUJU PENAHANAN. “Hal menarik lainnya, adalah bahwa korban kejahatan kemanusiaan yang jatuh pada masa epilog itu, tidak melulu adalah anggota atau simpatisan PKI, meskipun harus diakui bahwa korban mayoritas adalah memang dari kelompok tersebut”. (dokumentasi asiafinest)

PADA KUTUB peristiwa pemberontakan yang lain, terkait Peristiwa 30 September 1965 –maupun Peristiwa Madiun 1948– yang melibatkan nama Partai Komunis Indonesia (PKI), pun diperlukan cara memandang yang selain cermat juga bijak. Terutama mengenai dimensi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan dalam skala besar-besaran yang terjadi dalam peristiwa, serta, siapa saja para pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut sesungguhnya. Bingkai dasar cara memandangnya pun haruslah kebenaran sepenuhnya dengan sebanyak-banyaknya keadilan.

Di wilayah abu-abu, bukan hitam-putih. Bila diperbandingkan, Peristiwa 30 September 1965 lebih complicated daripada rangkaian pemberontakan DI/TII yang lebih hitam putih. Proses penyelesaian DI/TII lebih tuntas, baik secara politis, militer maupun secara hukum. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan selesai akhir 1959 dengan tertangkapnya Ibnu Hadjar. Hampir 3 tahun setelahnya, masalah DI/TII di Jawa Barat diakhiri dengan tertangkapnya SM Kartosoewirjo 4 Juni 1962 melalui Operasi Pagar Betis yang dilancarkan Divisi Siliwangi bersama rakyat. Kemudian, SM Kartosoewirjo diadili Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati yang eksekusinya dilaksanakan 12 September 1962 di Kepulauan Seribu di utara pantai Jakarta. Pemberontakan DI/TII di Aceh selesai setelah Daud Beureueh memenuhi seruan pemerintah untuk kembali ke masyarakat pada tahun 1962.
Terakhir dalam rangkaian ini adalah penyelesaian DI/TII di Sulawesi Selatan yang tercapai setelah Kahar Muzakkar tertembak mati oleh Kopral Satu Ili Sadeli dari Batalion 330 Siliwangi dalam suatu penyergapan dinihari 4 Februari 1965. Beberapa pengikut Kahar secara berangsur-angsur telah lebih dulu kembali ke pangkuan ibu pertiwi memenuhi seruan pemerintah, atau menyerah ketika operasi militer yang dilancarkan makin ketat. Dalam operasi fase akhir yang mengikutsertakan pasukan dari Divisi Siliwangi, pola operasi pagar betis juga diterapkan. Rakyat di berbagai wilayah operasi, berpartisipasi dengan cukup antusias. Ini mematahkan mitos bahwa karena rakyat Sulawesi Selatan sangat religius maka mereka mendukung perjuangan Kahar Muzakar yang ingin membangun Negara Islam Indonesia. Fakta kekejaman pasukan Kahar selama belasan tahun –antara 1951 hingga awal 1965– menjadi faktor hilangnya segala peluang dukungan. Menurut catatan, Kahar Muzakkar masuk hutan sejak 16 Agustus 1951 karena kekecewaan pribadi terkait penataan Corps Tjadangan Nasional (CTN), namun baru memproklamirkan diri bergabung Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1953. Sebelum menggunakan bendera Islam, Kahar Muzakkar sempat terombang-ambing dalam pilihan ideologi komunis atau ideologi Islam sebagai dasar perjuangan.
Peristiwa 30 September 1965 sendiri adalah peristiwa yang berlangsung dalam waktu ringkas, namun memiliki prolog dan epilog yang panjang dan berkepanjangan dalam skala tahunan. Nuansa peristiwanya tidak hitam-putih, melainkan lebih banyak bergerak di wilayah abu-abu. Keterlibatan beberapa pimpinan PKI dan sejumlah anggota partai tersebut dalam rangkaian peristiwa di hari-hari sekitar tanggal 30 September 1965, adalah nyata. Akan tetapi keterlibatan tokoh lain di luar PKI dalam rangkaian peristiwa, berada di wilayah abu-abu. Pada wilayah abu-abu itu terdapat nama-nama tokoh mulai dari Dr Soebandrio sampai Soekarno –bahkan Jenderal Soeharto sendiri– selain nama-nama institusi seperti Angkatan Udara Republik Indonesia di bawah Laksamana Madya Angkatan Udara Omar Dhani (Kepangkatan Laksamana Udara tersebut belakangan dirubah menjadi Marsekal Udara). Beberapa kesatuan militer lainnya dari berbagai angkatan, termasuk Resimen Pelopor Angkatan Kepolisian RI di bawah Anton Soedjarwo, juga ada di wilayah abu-abu. Sementara itu, Korps Komando (KKO) Angkatan Laut di bawah Letnan Jenderal KKO Hartono lebih terhubung sebagai pembela Soekarno daripada aspek lainnya dalam peristiwa.
KEKERASAN dan kejahatan kemanusiaan terjadi baik pada masa prolog, saat peristiwa terjadi, maupun pada masa epilog. Tetapi harus diakui bahwa secara kuantitatif, kejahatan kemanusiaan paling dahsyat, keji dan intensif terjadi pada babak epilog. Disebutkan angka korban antara 500.000 sampai 3.000.000 jiwa, dengan mereka yang dianggap pengikut PKI sebagai korban terbanyak, meski angka-angka itu masih harus diteliti lebih jauh kebenarannya untuk memperoleh angka pasti yang terdekat dari kenyataan sesungguhnya. Secara kualitatif, pada lain pihak, pembunuhan yang dilakukan pelaku Gerakan 30 September 1965 terhadap 6 jenderal dan 1 perwira pertama di Jakarta, serta pembunuhan 2 perwira menengah di Yogyakarta, masuk dalam kategori keji.
Meski tak seintensif yang terjadi di masa epilog, kekerasan politik dan kekerasan massa di masa prolog, secara fisik ataupun mental, tak boleh dianggap tak ada artinya. Rangkaian perampasan tanah dan teror kelompok yang dilakukan massa onderbouw PKI dipedesaan maupun diperkotaan, bukan pelanggaran ringan. Selain merupakan pelanggaran hukum, sekaligus juga merupakan pelanggaran hak azasi manusia. Tercatat sejumlah peristiwa berdarah di masa prolog, seperti Peristiwa Bandar Betsy, Peristiwa Kanigoro, Peristiwa Toraja dan sejumlah peristiwa serupa di seluruh penjuru tanah air. Aksi-aksi itu merupakan pula pelajaran pertama mengenai penggunaan kekuatan massa dalam pengobaran konflik di masyarakat dalam konteks pertarungan politik. Belum lagi kekerasan non fisik, yang berupa penistaan agama maupun kebengisan lontaran kata-kata sebagai teror mental dalam praktek politik. Untuk itu kita pinjam beberapa catatan dalam buku “Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966” (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006) berikut ini.
Baik kalangan Islam maupun penganut Kristen-Katolik “merasa amat tak nyaman dengan sikap permusuhan yang ditunjukkan kaum komunis terhadap agama-agama yang ada”. Permusuhan dan sikap sarkastis terhadap agama ditunjukkan terang-terangan. Paling banyak dituturkan di antara perilaku anti agama yang ditunjukkan orang-orang komunis adalah pertunjukan ketoprak sebuah organisasi kesenian PKI di Muntilan, yang berkali-kali mempertontonkan lakon menghina agama. Salah satunya adalah lakon “Patine Gusti Allah” atau Kematian Tuhan, dan lainnya yang secara khusus ditujukan kepada orang Katolik yaitu “Paus Rabi” yang artinya Paus Menikah. Untuk umat Islam, provokasi dilakukan melalui pertunjukan-pertunjukan wayang kulit yang juga mengenai Kematian Tuhan.
Satu perilaku lainnya yang menista Tuhan dan agama adalah yang sering dilakukan oleh guru-guru yang berhaluan politik komunis di hadapan murid-murid di kelasnya. Dilakukan di berbagai daerah dalam satu pola standar. Seringkali beberapa guru masuk ke satu kelas (terutama) sekolah dasar, dan seorang di antaranya akan menyuruh murid-murid berdoa kepada Tuhan memohon diberikan pinsil. Setelah berdoa, dan pinsil-pinsil tak ‘datang’ juga, salah seorang guru lainnya kemudian menyuruh murid-murid untuk bersama-sama meminta ibu atau pak guru memberikan pinsil. Mereka lalu membagi-bagikan pinsil kepada para murid. Nah, kata mereka kemudian, kalian sudah berdoa kepada Tuhan meminta pinsil, “apakah Tuhan memberikan pinsil?”. Murid-murid menjawab, “Tidak”. Dan, “Kalian sudah minta pinsil kepada guru, apakah kalian dapat pinsil?”. Murid-murid menjawab, “Dapat”.
Dalam pergulatan kekuasaan, sepanjang lima tahun sebelum Peristiwa 30 September 1965, PKI dan organisasi-organisasi pendukungnya setapak demi setapak berhasil menempati posisi kokoh di sisi Soekarno dan mewarnai dengan kuat –untuk tidak menyebutnya mendominasi– kehidupan politik Indonesia. Hingga pertengahan tahun 1965, PKI mengungguli kekuatan politik lainnya dalam pergulatan kekuasaan dengan sikap ofensifnya yang mengalir bagaikan air bah yang tak kunjung surut. Bahkan PKI berhasil menciptakan suatu tingkat suasana psikologis berupa ‘ketakutan’ kelompok politik lain untuk dikenakan ‘stigma’ komunisto phobia, kontra revolusi, anti Nasakom, antek Nekolim (Neo Kolonialisme) dan aneka tudingan ‘mengerikan’ lainnya, seperti kapitalis birokrat, setan kota, setan desa dan sebagainya. Sementara dari lingkaran kekuasaan Soekarno sendiri dengan mudah meluncur tudingan ‘mendongkel’ Pemimpin Besar Revolusi bila ada yang bersikap sedikit kritis atau berbeda.
Itu semua menjadi andil dalam penumpukan dendam sosial-politik yang menyebabkan ledakan kekerasan di kemudian hari, khususnya di masa epilog Peristiwa 30 September 1965, yang berlangsung di kwartal terakhir tahun 1965 dan tahun-tahun 1966-1967. Kekerasan dengan kategori kejahatan kemanusiaan luar biasa di masa epilog, meliputi pembunuhan-pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan fisik dan mental, serta perampasan kemerdekaan dengan alasan ketertiban dan keamanan. Beberapa dari pembunuhan dilakukan dengan cara keji, antara lain dengan pemenggalan kepala, sehingga banyak ditemukan mayat tanpa kepala atau sebaliknya kepala tanpa tubuh di sungai-sungai atau di tempat-tempat manapun.
Memerlukan kecermatan pandang. Pembunuhan-pembunuhan terjadi nyaris di seluruh penjuru Indonesia, namun ada beberapa daerah yang sangat menonjol sebagai locus peristiwa, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali di urutan atas. Daerah-daerah yang berada pada urutan berikut adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Menarik bahwa Jawa Barat tidak semenonjol seperti 6 propinsi lainnya itu. Menurut  Dr Aminullah Adiwilaga, ‘pembasmian’ berdarah atas massa pengikut PKI di Jawa Barat, telah lebih dahulu dilakukan secara sistematis oleh DI/TII pada tahun-tahun sebelumnya terutama di wilayah Priangan Timur. Angka-angkanya cukup massive dengan cara-cara pembasmian yang cukup tidak manusiawi.
Hal menarik lainnya, adalah bahwa korban kejahatan kemanusiaan yang jatuh pada masa epilog itu, tidak melulu adalah anggota atau simpatisan PKI, meskipun harus diakui bahwa korban mayoritas adalah memang dari kelompok tersebut. Sama menariknya adalah bahwa belakangan ini, banyak pengungkapan tentang adanya jejak berdarah jenderal pujaan perjuangan 1966, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, dalam peristiwa pembasmian PKI di tahun 1965-1966. Apakah ini adalah pengungkapan artifisial belaka, semata-mata karena sang jenderal adalah ayah mertua Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono yang banyak disorot gerak dan pola kepemimpinannya sebagai Presiden RI belakangan ini?
(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 3.
Sumber: Socio-Politica 

0 komentar:

Posting Komentar