Selasa, 11 September 2012

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (1)

SOCIOPOLITICA


BENDERA NEGARA ISLAM INDONESIA. “Lalu bagaimana mungkin itu semua disebutkan sebagai suatu perjuangan suci? Kalau nama Islam dibawa-bawa sebagai pembenaran, memangnya sebagian terbesar korban itu bukan penganut Islam? Bukankah sembilan dari sepuluh rakyat Indonesia adalah penganut Islam?”. (download okezonenews)

PUBLIKASI 81 foto dokumentasi hari-hari terakhir ‘proklamator’ Negara Islam Indonesia, SM Kartosoewirjo, yang sekaligus adalah panglima tertinggi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, sengaja atau tidak, menguak salah satu luka lama republik ini. Seluruhnya, bersama pemberontakan DI/TII tersebut, ada tujuh luka besar penuh darah sepanjang usia republik yang pada 17 Agustus 2012 yang baru lalu ini genap 67 tahun. Belum terhitung luka-luka berdarah lainnya yang lebih kecil, namun terakumulasi sebagai suatu rangkaian keperihan bagi bangsa ini, dengan kalangan akar rumput selalu sebagai korban utama yang paling menderita.

Tujuh pemberontakan ‘besar’ itu adalah Pemberontakan Madiun 1948, Pemberontakan DI/TII sejak Agustus 1949, Pemberontakan Separatis Republik Maluku Selatan (RMS) 1950, Pemberontakan PRRI/Permesta 1958-1961, Peristiwa Gerakan 30 September 1965, lalu dua terbaru, perlawanan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan perlawanan gerilya Organisasi Papua Merdeka (OPM). Semua ditumpas dan diselesaikan dengan tindakan tegas dan keras oleh pasukan pemerintah, kecuali GAM dan OPM.
Mulanya masalah GAM coba diatasi dengan operasi militer –yang terkesan dipanjang-panjangkan dan enggan dituntaskan dengan cepat, entah dengan pertimbangan apa– di masa Presiden Soeharto, namun diakhiri dengan perundingan damai di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Perundingan dan kompromi ini adalah sikap terlunak yang pernah ditunjukkan pemerintah terhadap suatu pemberontakan. Jauh dari kriteria perdamaian yang layak misalnya diganjar dengan hadiah nobel perdamaian, baik untuk Susilo Bambang Yudhoyono maupun untuk Jusuf Kalla.
Dengan penanganan seperti itu, perlawanan GAM tercipta menjadi seolah-olah suatu gerakan kemerdekaan ‘bangsa’ Aceh. Ini ironis, karena pemimpin-pemimpin Aceh pada momen proklamasi termasuk pelopor pendukung kemerdekaan Indonesia yang ikut memberikan kontribusi berharga bagi negara baru ini. Pesawat pertama milik republik, Seulawah, disumbangkan oleh para pemimpin dan masyarakat Aceh. Sementara itu, terdapat tokoh Aceh dalam proses persiapan kemerdekaan Indonesia, anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) Haji Teuku Moehammad Hasan. Bahkan jauh sebelumnya tokoh-tokoh muda Aceh ada dalam barisan pemuda yang mencetuskan Sumpah Pemuda 1928.
OPM juga adalah sebuah ironi. Nama Papua itu sendiri, seperti kata pejuang Trikora Herlina, lebih terkonotasi kepada OPM yang adalah bentukan Belanda. Para pendiri OPM dikenal sebagai tokoh-tokoh Irian yang sangat tunduk kepada Belanda. Mereka membentuk OPM saat ikut bermukim di negeri mantan penguasa kolonial di Irian tersebut, setelah memilih lari ke Belanda meninggalkan Irian. Sementara itu, beberapa putera Irian lainnya, seperti Dimara, Raja Rumagesan, Frans Kaisiepo, Marthen Indey ikut berjuang membebaskan Irian dari tangan Belanda. Begitu juga seorang mahasiswa Irian yang bersekolah di Belanda, Fritsz Kiriheo. Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana, merupakan tokoh yang berusaha meyakinkan isterinya untuk berperan agar pemerintah Belanda menyerahkan Irian Barat ke Republik Indonesia, karena menganggapnya suatu hal yang lebih realistis. Barangkali, persetujuan Presiden Abdurrahman Wahid bagi penggunaan nama Papua, belakangan, untuk mengganti nama Irian Jaya adalah sebuah kekhilafan. Apalagi, sesungguhnya nama Papua, menurut beberapa literatur orang Belanda sendiri, digunakan oleh Belanda dalam konotasi tertentu yang sebenarnya secara historis dan sosiologis kurang nyaman. Belanda memang senang memberi istilah dan penamaan-penamaan yang merendahkan penghuni negeri jajahannya, semisal julukan inlander. Di Irian, mereka memberi suatu daerah dengan nama Keerom. Ini berasal dari kata Belanda, keerom, yang berarti “balik haluan”. Maknanya, tak bisa dipercaya. Salah seorang panglima perang OPM yang terkenal, Marthen Tabu (kini almarhum)yang diasingkan ke Jakarta tahun 1980-an, berasal dari daerah Keerom.
DI ANTARA tujuh pemberontakan itu, yang paling ekstrim di antara yang ekstrim, tak lain adalah pemberontakan dalam rangkaian Peristiwa Madiun 1948 dan Peristiwa 30 September 1965, serta Pemberontakan DI/TII yang berlangsung berkepanjangan. Kita melihat, pada garis ekstrim itu, PKI berada di ujung paling kiri, sementara DI/TII berada di ujung paling kanan. Kedua kelompok peristiwa ini, ada dalam titik fokus yang terkait dengan waktu per saat ini. Peristiwa 30 September 1965 yang juga memiliki rangkaian sejarah dengan Peristiwa Madiun 1948, terjadi 47 tahun lalu di akhir bulan September. Sedang memori tentang Peristiwa Pemberontakan DI/TII terpicu oleh publikasi buku Fadli Zon yang diluncurkan tepat pada tanggal yang sama dengan pelaksanaan eksekusi mati panglima tertinggi DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 12 September 1962. (Beberapa sumber menyebutkan bahwa sebenarnya nama Sekarmadji di depan nama Kartosoewirjo tak lain adalah singkatan dari Sekar Maridjan, yang juga biasa diringkas sebagai SM).
‘Pemutihan’ yang menguak luka lama. Barangkali tak ada yang ‘terlalu’ salah dalam inisiatif Fadli Zon menerbitkan buku dengan 81 foto dokumentasi hari-hari terakhir SM Kartosoewirjo, kecuali persoalan darimana kolektor yang menjual foto-foto dokumentasi tersebut kepada Fadli, memperolehnya. Jelas foto-foto tersebut bukan hasil pemotretan bebas, tetapi pastilah pemotretan petugas institusi negara, dan dengan demikian merupakan milik negara yang semestinya tak bisa diperjual-belikan secara bebas. Ini mirip yang terjadi dengan Hashim Djojohadikoesoemo, adik Prabowo Subianto, ketika membeli pusaka milik Keraton Solo di luar negeri, tapi ternyata hasil curian.
Namun terlepas dari itu, bagaimanapun, publikasi tersebut sengaja atau tidak, telah menambahkan lagi satu kesempatan bagi beberapa pihak untuk mencoba memutihkan apa yang dilakukan Kartosoewirjo sejak Agustus 1949 sampai tertangkap di pertengahan 1962. Setelah berlalunya waktu selama setengah abad, ada percobaan untuk memberi penggambaran baru  terhadap pemberontakan DI/TII –di Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan– sebagai suatu perjuangan suci menegakkan Islam. Padahal, dari sudut mana pun, itu suatu pemberontakan bersenjata bergelimang darah yang tumpah secara sia-sia, bukan untuk agama melainkan untuk memenuhi hasrat kekuasaan dengan pengatasnamaan agama.
Suatu upaya pemutihan semacam itu, hanya akan menguak luka lama, sehingga perihnya terasa kembali, teristimewa bagi para keluarga yang di masa lampau menjadi korban kekejian DI/TII, khususnya di empat daerah Indonesia. Bayangkan bila kelompok pembunuh yang menjagal dengan keji sanak saudara anda, tiba-tiba pada suatu waktu dinobatkan sebagai pejuang-pejuang suci agama. Bagaimana rasanya?
Bila korban adalah aparat militer, mungkin masih bisa diberi kalimat penghiburan bahwa itu adalah risiko tugas, meskipun esensinya mereka tetap saja adalah korban. Dan lalu bagaimana dengan korban yang berasal dari masyarakat biasa yang tidak terlibat dengan ambisi kekuasaan para tokoh? Kalangan akar rumput kala itu siang malam menjadi korban kekerasan berdarah, pembakaran kampung halaman, penjarahan harta benda, penculikan perempuan anggota keluarga. Belum lagi peristiwa-peristiwa penghadangan di jalan-jalan antar kota, terutama di Jawa Barat dan di Sulawesi Selatan. Paling mengerikan, seperti yang banyak terjadi di Sulawesi Selatan, anak buah Kahar Muzakkar memiliki kegemaran mengeksekusi orang dengan cara menyembelih leher korban, layaknya menyembelih kambing. Sementara di kota-kota, setiap saat bisa terjadi teror penggranatan, di Pasar Malam sampai kenduri penduduk, bukan hanya terhadap Presiden Soekarno.
Pada masa itu di Sulawesi Selatan, praktis ekonomi tiga perempat lumpuh karena jalur transportasi antar kota dan antar wilayah dalam propinsi betul-betul tidak aman. Bila masyarakat ada keperluan mendesak, ke daerah pedalaman atau sebaliknya ke kota kabupaten atau propinsi, biasanya mereka ikut dalam konvoi kendaraan dengan pengawalan tentara. Jarak 200 kilometer saja harus ditempuh 3-4 hari oleh konvoi yang maju beringsut-ingsut. Setiap minggu pasti terjadi penghadangan oleh pasukan DI/TII, setidaknya dua kali, bahkan bisa setiap hari. Satu konvoi bisa dihadang lebih dari satu kali. Dalam penghadangan yang berhasil, para korban yang mati dipreteli harta bawaannya, sampai kepada mengambil gigi emas dengan mencabut giginya sekalian. Laki-laki yang masih hidup umumnya dihabisi. Perempuan tua biasanya dibiarkan hidup setelah menyerahkan harta benda dan dicabut gigi emasnya lengkap dengan akar gigi, begitu saja menggunakan tang (atau catut kakaktua besi). Anak-anak diculik untuk dibesarkan sebagai pengikut, dan para perempuan muda dibawa serta masuk hutan untuk dijadikan isteri.
Lalu bagaimana mungkin itu semua disebutkan sebagai suatu perjuangan suci? Kalau nama Islam dibawa-bawa sebagai pembenaran, memangnya sebagian terbesar korban itu bukan penganut Islam? Bukankah sembilan dari sepuluh rakyat Indonesia adalah penganut Islam?
Apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh DI/TII di masa lampau, tentu saja bukan suatu tanggungjawab hukum dan tanggungjawab sejarah yang terwariskan kepada turunan mereka. Meskipun demikian, kepada para putera-puteri SM Kartosoewirjo, putera-puteri Daud Beureuh, putera-puteri Ibnu Hadjar dan putera-puteri Kahar Muzakkar serta putera-puteri tokoh-tokoh DI/TII lainnya, rasanya kita bisa menitip pesan moral, sudilah untuk mempertimbangkan perasaan keluarga para korban ketika berbicara tentang kiprah orangtua mereka di masa lampau, apalagi mengatakannya seakan-akan itu bukan suatu kesalahan dan bahkan mengesankan orangtua mereka adalah korban negara.
Ucapan salah seorang putera Kartosoewirjo, Sardjono, bahwa dirinya tidak memiliki dendam sejarah –“Sudah terlalu lama, 50 tahun, sudah beda generasi”– seperti yang dikutip dalam media sosial, adalah bijak. Tetapi sebaliknya, sikap beberapa keturunan tokoh DI/TII yang menerjunkan diri dalam gerakan-gerakan baru menuju pembentukan Negara Islam di Indonesia, mengulangi kiprah para orang tua mereka, adalah keliru. Pelajari dan cermati sejarah, jangan memanipulasi sejarah untuk memutihkan sesuatu yang hitam dalam suatu bingkai sentimen. Apalagi mengulangi kekeliruan yang sama. Masyarakat sudah belajar melupakan, itu sudah menjadi semacam pemaafan sejalan dengan arus pusaran waktu. Jangan buat luka baru di atas luka lama.
Barangkali bagi Fadli Zon, juga perlu dititipkan pesan agar saat asyik ikut menyusun puzzle sejarah, hendaknya cermat dan berhati-hati dalam ‘memuji’ tokoh kekerasan dalam sejarah seperti SM Kartosoewirjo. Apresiasi anda yang berlebihan terhadap pelaku kekerasan masa lampau, bila keluar dari takaran, bisa melukai perasaan keluarga korban peristiwa, walaupun niat anda baik dalam konteks menambah referensi kebenaran sejarah.
(socio-politica.com/sociopolitica.wordpress.com) – Berlanjut ke Bagian 2.
Sumber: Socio-Politica 

0 komentar:

Posting Komentar