Selasa, 02 Oktober 2012

Getirnya Lukas jadi simpatisan PKI


Hasan Kurniawan - Selasa, 2 Oktober 2012 - 06:25 WIB

Ilustrasi (bingkaimerah.blogspot)

Sindonews.com - Masa kelam bangsa ini dimulai Jumat malam 30 September 1965. Terjadi gerakan dari Angkatan Darat (AD) yang dikomandoi oleh pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Indonesia pertama Soekarno, yakni Letkol Untung, dari Kesatuan Cakrabirawa.

Gerakan itu, selanjutnya dikenal sebagai Gerakan 30 September atau G30S. Namun oleh pemerintah Orde Baru Soeharto, gerakan itu disebut G30S Partai Komunis Indonesia (PKI). Soeharto memberi penekanan PKI di belakangnya. Karena belakangan diketahui, Untung merupakan partisipan PKI.

Sasaran dari gerakan itu adalah Dewan Jendral yang dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan diktator Soekarno. Sebelum dewan jendral melancarkan aksinya, Untung beserta gerombolannya melakukan penculikan terhadap para jenderal dan melakukan pembunuhan.

Kematian para jendral, telah menimbulkan dan memancing emosi rakyat. Aksi balas dendam dilancarkan oleh AD yang dikomandoi oleh Soeharto. Para petinggi PKI dikejar, ditangkap dan dibunuh. Sebagian yang berhasil ditangkap hidup-hidup, kemudian dihadapkan ke meja hijau dan dijatuhi vonis hukuman mati.

Satu tahun setelah peristiwa itu, pembunuhan terhadap PKI maupun simpatisannya masih dilakukan di sejumlah daerah-daerah. Pulau Jawa, Bali dan Sumatera merupakan wilayah pembantaian yang paling banyak memakan korban. Jumlahnya keseluruhan masih simpang siur, antara 80.000 hingga 2 juta orang dikabarkan tewas.

Hingga kini, para simpatisan PKI masih dianggap "sampah" masyarakat. Mereka dikucilkan, bahkan dibuang. Tidak bisa masuk bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), tentara, polisi, maupun tempat-tempat strategis lainnya.

Diantara korban selamat peristiwa memilukan itu ada Lukas Tumiso. Pria paruh baya ini sekarang tinggal di Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi. Yayasan ini, merupakan tempat satu-satunya yang mau menerima dia dan orang-orang yang senasib sepertinya.
"Waktu kejadian tahun 65 itu, saya adalah seorang guru sekaligus mahasiswa," ujar Lukas, saat menjadi pembicara dalam kuliah umum "Mengungkap tabir tragedi berdarah 1965" di auditorium Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) Jakarta, Senin (1/10/2012).
Sebagai seorang guru dan mahasiswa, Lukas ikut dalam gelombang revolusi dan menjadi partisipan PKI, serta pendukung setia Soekarno. Ternyata, menjadi simpatisan PKI sekaligus pendukung Soekarno berarti maut.
"Saya pernah merasakan neraka dunia, ketika disuruh mengaku sebagai anggota PKI, dari disetrum sampai dipukulin hingga hancur. Setelah itu, saya dibuang ke pulau Buru, Maluku Selatan," terangnya.
Hidup menjadi tahanan politik ternyata tidak mudah. Di tempat pembuangan, Lukas cukup lama. Sebagai angkatan pertama yang dibuang, Lukas sangat menderita. Kematian akibat gigitan nyamuk malaria dan dimakan hewan buas, menghantui setiap saat.
"Saya datang ke Pulau Buru yang pertama dan saya yang keluar terakhir. Karena saya keras kepala hitungannya, saya merasakan neraka dunia selama tujuh tahun dan tujuh tahun lagi di buang di Pulau Buru," jelasnya.

Namun begitu, Lukas berhasil bertahan hidup dan kembali ke tanah kelahirannya, lalu menetap Jakarta. Pilihan ini cukup sulit, karena memang tidak ada pilihan. Keluarganya di Surabaya, Jawa Timur, menghilang. Sebagian tewas dibunuh dan yang hidup tidak mau menerimanya.

Mereka rata-rata takut, akan mendapat perlakuan yang sama. Namun Lukas bisa terima alasan dan sikap keluarganya itu. Sampai akhirnya dia bertemu dengan teman-temannya dan tinggal di yayasan itu.

Kendati mendapat siksaan secara terus menerus, Lukas tetap tabah. Bahkan dia masih menganggap pendapat umum yang berkembang hingga kini tentang tragedi 1965 dan PKI telah salah.
"Anggapan masyarakat mengenai PKI itu salah, wong kita Pancasilais, mana ada yang mengidolakan Soekarno yang enggak Pancasilais,” ungkapnya.

(ysw)

0 komentar:

Posting Komentar