Selasa, 02 Oktober 2012

Kutub Tujuh Pemberontakan di Indonesia: Di Ujung Kiri PKI, di Ujung Kanan DI/TII (5)

OCTOBER 2, 2012

SOEKARNO DAN JENDERAL SOEHARTO. “Dengan demikian kita akan memperoleh catatan tentang kebenaran sepenuhnya. Kita pun akan memiliki catatan kebenaran yang objektif tentang peranan beberapa tokoh pimpinan nasional kita dalam rangkaian peristiwa, mulai dari Ir Soekarno sampai Jenderal Soeharto dan para jenderalnya, ataukah sepak terjang DN Aidit dan PKI maupun pimpinan-pimpinan ormas yang terlibat dalam kekerasan timbal balik kala itu”. (foto reuters/nusantarahistory)

TENTU masih banyak contoh lain yang bisa dipaparkan selain Jawa dan Bali. Rentetan peristiwa kekerasan kemanusiaan yang dialami pengikut PKI, maupun kekerasan timbal balik dengan korban bukan PKI di Jawa dan Bali itu, terjadi pula di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, provinsi-provinsi di Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara, atau pun daerah-daerah lainnya dalam skala hampir setara, menengah maupun yang lebih kecil. Di Sulawesi Selatan, kekerasan tak hanya menimpa pengikut-pengikut PKI, tetapi juga massa Marhaen pengikut PNI –berbalikan dengan apa yang terjadi Jawa Tengah dan Bali dengan massa PNI sebagai pelaku terdepan.
Rekonsiliasi: Berdasarkan kebenaran sejarah. Bukan pemutihan. 
Dengan contoh-contoh peristiwa di Jawa dan Bali saja, sudah terlihat betapa rumitnya sebenarnya Peristiwa 30 September 1965 tersebut, baik di masa prolog, pada momen peristiwa maupun di masa epilog. Harus diakui, korban terbesar kejahatan kemanusiaan di masa epilog adalah pengikut-pengikut PKI, tapi tak kurang banyaknya juga adalah dari mereka yang dari kalangan non-PKI ataupun yang sebenarnya tak tahu menahu persoalan politiknya. Pelakunya pun dari semua arah dan semua pihak, meskipun ada perbedaan kadar kejahatan satu sama lain.Tapi tetap saja, kejahatan adalah kejahatan.
Tepat 30 September 2012, 47 tahun setelah Peristiwa 30 September 1965, sejarawan muda Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Majalah Historia, menuntut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar “negara mengakui bahwa dulu ada pelanggaran HAM berat”. Bahwa, “Ada rakyat Indonesia yang disiksa, dibunuh, ditangkap, dan dipenjara tanpa melalui proses pengadilan. Negara dahulu gagal melindungi rakyatnya”. Dan, pada 1 Oktober 2012, putera DN Aidit, Ilham Aidit, yang saat peristiwa 1965 terjadi baru berusia enam setengah tahun, dikutip pers mengatakan tentang tragedi 1965 itu, “saya kesal karena pemerintah tak bisa menyelesaikan kasus pelanggaran berat masa lalu”. Kedua pernyataan bisa dipahami, tetapi tak bisa dipenuhi sebelum ada penelitian atau penyelidikan yang jujur dan cermat atas peristiwa. Kalau ingin melakukan desakan, inilah yang harus dituntut dan didorong. Penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM perlu diapresiasi, namun belum bisa dianggap memadai untuk tidak mengatakannya masih sumir dan hanya mampu mengetengahkan sebagian dari kebenaran yang diperlukan.
SAAT kejahatan kemanusiaan itu terjadi di tahun 1965-1966, Susilo Bambang Yudhoyono, baru berusia 16-17 tahun, sekitar 10 tahun lebih tua dari Ilham Aidit. Tapi karena hingga saat ia menjadi Presiden RI sekarang ini posisi kebenaran dari peristiwa itu belum juga jelas, maka tak boleh tidak, sebagai presiden ia harus memikirkannya. Lebih-lebih Bonnie, yang mungkin saja malah belum lahir saat peristiwa terjadi. Namun karena ia seorang sejarawan yang merasa lekat dengan isu HAM, jadilah ia orang yang menyerukan kepada SBY agar negara mengakui pelanggaran HAM masa lampau itu.
Ini semua tentu menarik, dan sekaligus menunjukkan betapa telah begitu lamanya kebenaran di sekitar peristiwa di tahun 1965-1966 itu tak terjamah dengan baik. Dan karena begitu lamanya kebenaran itu terlunta-lunta dalam perjalanan waktu –sedikit lagi genap setengah abad– kesimpangsiuran tentang kebenaran itu sendiri semakin menjadi. Sebagian terbesar dari manusia Indonesia, yang merupakan generasi baru, barangkali termasuk Susilo Bambang Yudhoyono dan Ilham Aidit, apalagi Bonnie Triyana, hidup berhadapan dengan kesimpangsiuran tentang kebenaran peristiwa tahun 1965. Semoga mereka tak termasuk di antara yang ‘tersesat’ dalam pemahaman. Dalam kesimpangsiuran itu, pandangan subjektif tentang peristiwa yang erat terkait dengan posisi narasumber dalam peristiwa dan pengalaman sejarah, sangat dominan. Tercipta kutub-kutub ekstrim yang jauh berbeda satu sama lain dalam kesimpangsiuran itu, yang karena ‘dipelihara’ lalu mewaris ke generasi lebih muda. (Baca, “Peristiwa 1965: PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan”, bagian 3, sociopolitica, 2 Agustus 2012).
Tentu dengan ilmu sejarah, kebenaran objektif dari peristiwa yang telah berlalu lebih dari 40 tahun itu bisa digali, setidak-tidaknya bisa didekati sedekat-dekatnya. Namun sayang, bahkan sejarawan sekalipun –seperti Asvi Warman Adam, dan beberapa sejarawan lainnya yang lebih muda– gagal menggali kebenaran melalui ilmu sejarah, bahkan ada yang tergelincir memalsukan sejarah mengikuti contoh manipulasi yang dilakukan sejumlah sejarawan di bawah perintah penguasa militer masa Soeharto. Dulu ada Nugroho Notosusanto cs, kini ada Asvi Warman Adam cs. Bedanya hanya, lain kutub tempat berpijak, yang mungkin karena beda orientasi ‘pasar’ dan atau subjektivitas lainnya. Bila dulu manipulasi kebenaran terlalu jauh berayun ke kanan, kini ganti berayun terlalu jauh ke kiri. Mirip belah bambu saja, kalau ada yang diangkat, maka harus ada yang diinjak. Apa memang susah menjadi sejarawan objektif –katakanlah seperti Anhar Gonggong yang kini seakan tipe langka– yang taat kepada disiplin kebenaran dan objektivitas penafsiran sejarah?
SAATNYA bandul sejarah tak lagi dibiarkan berayun-ayun liar. Jangankan manipulasi sejarah, kebenaran sejarah yang sengaja diketengahkan separuh-separuh pun akan bermakna sebagai ketidakbenaran. Banyak peristiwa sejarah yang telah sempat dijungkirbalikkan kebenarannya, termasuk tentang tujuh pemberontakan yang pernah terjadi: Pemberontakan DI/TII, pemberontakan Madiun, pemberontakan RMS, pemberontakan PRRI-Permesta, Peristiwa 30 September 1965, sampai pemberontakan separatis OPM dan GAM. Penggalian mengenai kebenaran sejarah dari tujuh peristiwa itu, perlu dilakukan dengan cermat dan arif, untuk setidaknya memperoleh catatan pembelajaran yang benar. Dua di antaranya perlu mendapat prioritas. Salah satunya adalah mengenai Pemberontakan DI/TII, karena hingga kini masih selalu hidup semangat untuk mendirikan Negara Islam Indonesia di kalangan ‘minoritas’ tertentu dan bersamaan dengan itu selalu ada upaya pemutihan terhadap apa yang telah dilakukan DI/TII di masa lampau itu dengan memberi makna sebagai perjuangan suci.
Lainnya, adalah Peristiwa 30 September 1965 dalam kaitan isu kemanusiaan. Kekerasan yang dialami seorang pelaku kejahatan, tak menghapuskan esensi dari apa yang dilakukannya, namun jelas bahwa kekerasan itu adalah satu kejahatan lainnya. Eksekusi tembak yang sengaja dilakukan seorang perwira AD, Jassir Hadibroto –yang sempat mencapai pangkat jenderal di kemudian hari– sebagai jalan pintas eliminasi terhadap DN Aidit di sebuah kebun singkong di Boyolali Oktober 1965, adalah kejahatan –bersama dengan atasan pemberi perintah. Pada sisi lain, eksekusi tersebut –yang latar belakangnya belum bisa dijelaskan, kecuali bahwa itu diduga dilakukan untuk menutup jejak tertentu dalam peristiwa– tak serta merta bisa menghapus keterlibatan DN Aidit atau PKI yang dipimpinnya sebagai pelaku dalam Peristiwa 30 September 1965.
Khusus mengenai kejadian-kejadian di seputar Peristiwa 30 September 1965 tersebut, prakarsa Komnas HAM yang sedang mengungkapkan sebagian dari kebenaran tentang kejahatan kemanusiaan pada waktu itu, wajib ‘dibantu’ untuk menjadi pengungkapan kebenaran sepenuhnya. Kalangan perguruan tinggi yang memiliki penguasaan metode penelitian kebenaran, perlu untuk mengambil peranan penting. Seluruh rangkaian peristiwa, mulai dari masa prolog sampai epilog, baik aspek sosial-politiknya maupun aspek kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang terjadi dalam rangkaian tersebut, perlu ditelusuri dengan jujur dan cermat: Apakah sepenuhnya genosida (berdasarkan perbedaan ideologi) oleh penguasa militer, apakah malapetaka sosiologis berupa kekerasan yang balas berbalas ataukah konsekuensi logis dari pertarungan politik yang menghalalkan penggunaan kekuatan massa dalam kekerasan, atau apa? Dengan demikian kita akan memperoleh catatan tentang kebenaran sepenuhnya. Kita pun akan memiliki catatan kebenaran yang objektif tentang peranan beberapa tokoh pimpinan nasional kita dalam rangkaian peristiwa, mulai dari Ir Soekarno sampai Jenderal Soeharto dan para jenderalnya, ataukah sepak terjang DN Aidit dan PKI maupun pimpinan-pimpinan ormas yang terlibat dalam kekerasan timbal balik kala itu.
Penelitian akan meliputi rentang waktu 1960 sampai setidaknya tahun 1969. Atau mungkin lebih jauh lagi, sampai pertengahan 1970an saat masalah tahanan politik, khususnya yang di Pulau Buru, diakhiri dan ‘diselesaikan’. Bila kebenaran sepenuhnya berhasil ditemukan atau didekati sedekat-dekatnya, akan mudah mengambil keputusan-keputusan tindak lanjut: Apakah rekonsiliasi, ataupun penyelesaian-penyelesaian politik lainnya yang diperlukan, dengan keadilan sebanyak-banyaknya bagi semua pihak. Namun tidak perlu ada pemutihan atas sesuatu yang salah –dilakukan oleh siapa pun.
SEBAGAI penutup catatan ini, perlu untuk meminjam apa yang dikatakan Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo –putera salah satu Pahlawan Revolusi, Mayjen Suwondo Parman– 1 Oktober 2012, “Kita tidak mencari siapa benar atau siapa salah, melainkan melihat di mana kesalahan negara ini. Apa yang salah dengan bangsa ini”. Meski formulasi pengutaraan sebagaimana dikutip pers itu mungkin saja tak sepenuhnya bisa disepakati, tetapi pertanyaan mengenai apa yang salah dengan bangsa ini, perlu dipikirkan mendalam dan dicari jawabnya.
(sociopolitica.me/sociopolitica.wordpress.com)
Sumber: Socio-Politica 

0 komentar:

Posting Komentar