Kamis, 04 Oktober 2012

Meneliti Peran Kodam


Oktober 4, 2012 - Oleh Asvi Warman Adam

David T Johnson (1976) memaparkan enam skenario yang bisa dijalankan Ame-rika Serikat menghadapi situasi memanas di Indonesia menjelang 1965, yaitu, pertama; membiarkan, kedua; membujuk Soekarno mengubah kebijakan, ketiga; menyingkir-kan Soekarno, keempat; mendorong Ang-katan Darat mengambil alih kekuasaan, ke-lima; merusak kekuatan PKI, keenam; merekayasa kehancuran PKI, sekaligus kejatuhan Soekarno.

Ternyata skenario terakhir dianggap paling menguntungkan dan tepat untuk dilaksanakan. Tulisan Coen Hotzappel (Journal of Contemporary Asia, vol 2, 1979) bisa dianggap dalam konteks skenario keenam.

Sebagaimana diketahui, Operasi G30S dilakukan oleh tiga pasukan, yaitu Pasopati, Pringgodani (dalam versi resmi sejarah disebut Gatotkaca), dan Bimasakti.

Penculikan para jenderal dilakukan pasukan Pasopati, yang kemudian menyerahkan kepada pasukan Pringgodani yang mengkoordinasi aksi di Lubang Buaya. Adapun pasukan Bimasakti bertugas menguasai RRI, telekomunikasi, dan teritorial. Bersumberkan hasil pengadilan Untung dan Nyono, Hotzappel mencurigai kegiatan pasukan Pringgodani yang melakukan kudeta yang dirancang untuk gagal.

Usaha pembunuhan beberapa jenderal yang belum semuanya meninggal setibanya dibawa ke Lubang Buaya dilakukan oleh pasukan Pringgodani. Gugurnya para perwira AD itu menyebabkan Presiden Soekarno tak mau mendukung gerakan tersebut, bahkan memerintah Brigjen Soepardjo menghentikan operasi.

Hotzappel menuding Mayor Udara Sujo-no dan Sjam sebagai tokoh sentral yang mengendalikan pasukan Pringgodani. Plot yang tak matang tersebut menyebabkan G30S bisa cepat ditumpas, dan PKI yang dianggap dalang kudeta, dihancurkan. Adapun Soekarno yang tidak mau mengutuk PKI, dijatuhkan.

Peran Soeharto

Analisis Soebandrio dalam buku Kesak-sianku tentang G30S, juga menarik. Ia melihat ’’keterlibatan’’ Soeharto melalui dua ka-tegori (bekas) anak buahnya di Kodam Diponegoro.

Pertama; Letkol Untung dan Latief yang akan menghadapkan Dewan Jenderal kepada Presiden Soekarno, dan ini sepengetahuan Soeharto.
Kedua; Yoga Sugama dan Ali Moertopo, yang dulu berjasa melakukan manuver dan operasi intelijen untuk menjadikan Soeharto sebagai Pangdam Diponegoro. Yoga kemudian ditarik Soeharto ke Jakarta menjadi Kepala Intel Kostrad pada Januari 1965, ketika ia sedang bertugas sebagai atase militer di Yugoslavia.

Soebandrio meragukan Soeharto pulang ke rumah setelah membesuk anaknya, Tommy, di Rumah Sakit Gatot Soebroto pada 30 September malam. Rasanya mustahil esok paginya Soeharto dibangunkan tetangga guna memberitahukan tentang penculikan beberapa jenderal. Pak Ban punya dugaan kuat Soeharto bermalam di markas Kostrad untuk memonitor perkembangan peristiwa, menganalisis situasi, dan mempersiapkan langkah yang akan diambil.

Yang terjadi kemudian pada 1 Oktober 1965, sama-sama diketahui umum. Yang menarik, trio pertama (Soeharto-Untung-Latief) adalah trio untuk dikorbankan, dan yang dipakai selanjutnya trio kedua (Soeharto-Yoga Sugama-Ali Moertopo). Kedua trio tersebut berasal dari Kodam Diponegoro.

Letkol Untung hingga menjelang akhir hayat merasa yakin tak akan dieksekusi, seperti dituturkan kepada Subandrio di penjara Cimahi.
Keyakinannya itu mendasarkan bahwa Soeharto adalah bekas komandannya, dan dianggap sebagai kawan dalam peristiwa G30S. Latief juga bekas bawahan Soeharto tapi merasa dikhianati seperti terungkap dalam pledoi sekaligus memoarnya.

Mengenai tanggal 11 Maret 1966, Soebandrio mengungkapkan keganjilan tingkah Soeharto yang tak hadir dalam rapat kabinet hari itu dengan alasan sakit. Padahal sorenya ia memimpin rapat di markas Kostrad. Menurut Pak Ban, jika Soeharto hadir pada sidang kabinet itu ia akan menghadapi kesulitan karena waktu itu di depan Istana ada demonstrasi mahasiswa.

Selain itu, ada pasukan yang tidak dikenal (kemudian diketahui sebagai pasukan yang dipimpin oleh Kemal Idris).Tentu Presiden Soekarno akan menyuruhnya menghadapi mahasiswa dan tentara, yang justru digerakkannya untuk mengancam Soekarno.

Tanggal 11 Maret 1965, tiga jenderal setelah berapat di rumah Soeharto di Jalan H Agus Salim pergi menemui Soekarno. Kesaksian Soebandrio menggambarkan ada unsur tekanan dari tiga jenderal itu kepada Bung Karno.

Meskipun tanpa todongan senjata, dalam pertemuan itu tergambarkan jelas unsur keterpaksaan Soekarno untuk mengeluarkan beleid.
Soebandrio kemudian menyimpulkan rangkaian peristiwa, dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966, sebagai kudeta merangkak melalui empat tahap.

Pertama; menyingkirkan saingan di Angkatan Darat, seperti A Yani dan lain-lain. Kedua; membubarkan PKI yang merupakan rival terberat tentara. Ketiga; melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 menteri Soekarnois, termasuk Soebandrio. Keempat; mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno.

Mengenai sepak terjang trio Soeharto-Yoga-Ali Murtopo, ada hal menarik sebagaimana wawancara Heru Atmodjo dengan Carmel Budiardjo (dimuat dalam buletin ’’Tapol’’ tahun 2000). Misalnya tentang pasukan dari Jateng dan Jatim yang diperintah datang ke Jakarta dengan peralatan tempur, sebelum 5 Oktober 1965.

Ali Moertopo berperan mengendalikan pasukan Kostrad yang ada di Monas. Dia punya kedekatan dengan Dul Arip yang memimpin pasukan Pasopati, dan dengan Jahurub yang gagal memimpin penculikan di rumah AH Nasution.

Jahurup kemudian membubarkan pasukannya di Tambun Bekasi, adapun Dul Arief melarikan diri ke Brebes. Jahurup dan Dul Arief kemudian menghilang dan tak pernah muncul dalam sidang Mahmilub. Menurut Heru, ada saksi menuturkan bahwa Dul Arief dihabisi oleh Ali Moertopo.

Persoalan Intern

Kasus itu berhubungan dengan anggota Kodam Diponegoro. Memang kodam ini layak diteliti, karena baik pelaku G30S maupun pemberantasnya, kebanyakan berasal dari sana. Tokoh penggerak utama gerakan itu, baik di Jakarta maupun di Jateng, berasal dari kesatuan itu, kecuali Brigjen Soepardjo.

Pasukan yang dipanggil ke Jakarta adalah Batalyon 454 Jateng dan 530 Jatim. Panggilan pertama tanggal 15 September 1965, dan kedua lewat radiogram nomor 239/9 tanggal 21 September 1965.

Yang masih menjadi misteri adalah Kolonel Suherman dan kawan-kawan yang sekitar 48 jam menguasai Jateng, setelah itu menghilang tanpa jejak. Waktu itu Suherman asisten I, Kolonel Maryono asisten III, dan Letkol Usman asisten IV.

Suherman baru pulang dari AS, dan dilatih dalam bidang intelijen. Mungkinkah seseorang yang sudah dikatakan ’’dibina PKI’’ lolos screening dan bisa mengikuti pendidikan militer di AS?

Dengan mengumpulkan data lengkap mengenai keterlibatan Kodam Diponegoro, baik sebagai pelaku maupun pembasmi G30S, mungkinkah nanti bisa disebutkan bahwa G30S itu persoalan intern Kodam itu? Tugas sejarawan dari Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Semarang mengkaji persoalan itu secara komprehensif. (Sumber: Suara Merdeka, 3 Oktober 2012).

Tentang penulis:
Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI

0 komentar:

Posting Komentar