Sabtu, 01 Maret 2014

Kisah Djajeng Pratomo di Kamp Nazi [1]



Oleh : 

Tempo.co

Sabtu, 1 Maret 2014 11:40 WIB

Djajeng Pratomo di rumah Panti Wreda (Zorgcentrum) De Zandtee, Schagen, Belanda, 2 Februari lalu.Tempo/Lea Pamungkas
Amsterdam- Perlawanan terhadap fasisme Jerman pada 1940-an melibatkan beberapa aktivis Perhimpunan Indonesia di Belanda. Mereka saat itu juga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah seorang aktivis itu bernama Djajeng Pratomo. Ia tinggal di Belanda. Djajeng pernah ditahan di kamp konsentrasi Nazi di Dachau, Muenchen. Kamp Dachau disebut-sebut kamp konsentrasi Nazi yang paling kejam dan banal.   
Di kamp ini terdapat banyak fasilitas penyiksaan seperti ruang gas, rumah krematorium dengan tungku pembakaran mayat dan alat siksa beraliran listrik. Ribuan mayat ditumpuk tiap hari sehingga orang harus menggunakan tangga untuk meletakkan mayat di bagian teratas.
Djajeng pada 22 Februari lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Di usianya yang seabad itu,Lea Pamungkas dari Tempo  menggali kisah aktivitasnya di Perhimpunan Indonesia dan bagaimana ia bertahan untuk hidup di Kamp Konsetrasi Dachau. Berikut tulisan pertama dari lima tulisan yang disajikan disini.
Nama Djajeng tak dikenal dalam sejarah Indonesia. Tapi dia salah satu saksi hidup perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia tapi juga saksi hidup kekejaman tentara Nazi.
Djajeng lahir di Bagansiapiapi, Sumatera Utara pada 22 Februari 1914. Anak Pasangan Raden Mas Pratomo- Raden Pratomo dan Raden Sujatilah. Lahir dengan nama Amirool Koesno. Ayahnya keturunan Keraton Pakualaman Yogyakarta.
Dialah lulusan pertama dokter Jawa dari sekolah bergengsi School toto Opleiding van Inlandsche Artsen-STOVIA, sebuah pendidikan untuk Dokter Pribumi. Dr Pratomo pindah ke Bagansiapiapi untuk memimpin sebuah poliklinik pada 1911 hingga meninggal pada 1939. Namannya diabadikan untuk nama rumah sakit umum daerah di Jalan Pahlawan Nomor 13, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Amirool kecil pindah ke Medan pada usia 7 tahun untuk masuk sekolah dasar. Dia meneruskan sekolah menengah di Yogyakarta dan HBS di Koning Willem School, Jakarta. Semua siswa dan gurunya Belanda tulen atau Indo. “Seingat saya hanya ada satu guru Indo,” ujarnya.
Setelah lulus dia meneruskan pendidikan ke Medische School, sekolah kedokteran di Belanda dan sang ayah mengirimnya ke Leiden. Adiknya, terlebih dulu sudah sampai di Belanda. Hanya setahun di Leiden, dia pindah ke Economische Hogeschool-sekolah tinggi ekonomi di Rotterdam. Adiknya pun mengikuti jejaknya pada 1940.
LEA PAMUNGKAS | DIAN YULIASTUTI
Sumber: Tempo.Co 

0 komentar:

Posting Komentar