Hasan Kurniawan | Senin, 10 Maret 2014 − 05:17 WIB
Ilustrasi (dok:Istimewa)
SETELAH sekian lama terkubur, nama Tan Malaka kembali
muncul kepermukaan. Seketika, masyarakat Indonesia kembali diingatkan
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966
yang berisi tentang larangan paham komunisme di Indonesia.
Tan Malaka dan PKI merupakan satu napas yang tidak bisa dipisahkan. Seperti diungkapkan Djamaluddin Tamin, anggota PKI yang mendapat kartu anggota bernomor 135 pada awal tahun 1922, dalam bukunya, Sedjarah PKI.
Dalam catatan Djamaluddin, Tan Malaka sudah terlibat dalam gerakan komunis saat masih mengajar di Sanembah Mij pada akhir tahun 1919. Saat itu, dia sudah aktif dalam diskusi-diskusi/pembicaraan-pembicaraan di Semarang, melalui surat-menyurat, hingga lahirnya PKI, pada 23 Mei 1920.
"Saja sebagai angkatan tua dari pimpinan PKI tahun 1920-1926, jang bersama-sama dengan saudara-saudara: Tan Malaka, Ongko D, Wiro Mihardjo, Nurut, Mardjohan, Hasan Mangkuto, dll, jang sudah sama-sama mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948, sebagai kelandjutan dari Partai Rakjat jang didirikan di Solo pada 25 Mei 1946."
Berdasarkan keterangan Djamaluddin di atas dapatlah diartikan sepak terjang Tan Malaka, sebagai Ketua PKI setelah Semaun, bahwa dia tetap konsisten terhadap cita-cita komunis.
Lebih lanjut, Djamaluddin menjelaskan, bahwa Subakat ditugaskan menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Republik Indonesia (PARI), pada 31 Mei 1927 yang diambil dari Manifesto Komunis/PKI 1920.
"Intisari/isi manifesto PARI, jang memang njata, setjara prinsip/ideologis, sama sadja dengan Anggaran Dasar (AD) PKI 1920-1924, jang memang kawan-kawan Subakat, Tan Malaka, Semaun, dll ikut sama-sama menjusunja pada tahun 1920, jakni ketika akan didirikannja PKI di Semarang pada 23 Mei 1920."
Namun begitu, PKI Tan Malaka dan PKI Musso berbeda. PKI Tan Malaka merupakan partai kader, yang lebih mementingkan pendidikan anggota-anggotanya agar menjadi pimpinan rakyat. Sementara, PKI Musso, mengubah PKI menjadi partai massa yang memiliki anggota sampai jutaan, pada akhir 1926.
Pada pada 15 Desember 1925, Sardjono, Budisutjitro, Winanta, Alimin, Musso, Ali Archam, Said Ali, dengan dua orang kawan dari Solo, dan dua orang dari Jawa Timur, berkumpul di Candi Prambanan, pada 25 Desember 1925 mencetuskan Keputusan Perambanan atau Pemberontakan PKI 1926-1927.
Tan Malaka dan PKI merupakan satu napas yang tidak bisa dipisahkan. Seperti diungkapkan Djamaluddin Tamin, anggota PKI yang mendapat kartu anggota bernomor 135 pada awal tahun 1922, dalam bukunya, Sedjarah PKI.
Dalam catatan Djamaluddin, Tan Malaka sudah terlibat dalam gerakan komunis saat masih mengajar di Sanembah Mij pada akhir tahun 1919. Saat itu, dia sudah aktif dalam diskusi-diskusi/pembicaraan-pembicaraan di Semarang, melalui surat-menyurat, hingga lahirnya PKI, pada 23 Mei 1920.
"Saja sebagai angkatan tua dari pimpinan PKI tahun 1920-1926, jang bersama-sama dengan saudara-saudara: Tan Malaka, Ongko D, Wiro Mihardjo, Nurut, Mardjohan, Hasan Mangkuto, dll, jang sudah sama-sama mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948, sebagai kelandjutan dari Partai Rakjat jang didirikan di Solo pada 25 Mei 1946."
Berdasarkan keterangan Djamaluddin di atas dapatlah diartikan sepak terjang Tan Malaka, sebagai Ketua PKI setelah Semaun, bahwa dia tetap konsisten terhadap cita-cita komunis.
Lebih lanjut, Djamaluddin menjelaskan, bahwa Subakat ditugaskan menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Republik Indonesia (PARI), pada 31 Mei 1927 yang diambil dari Manifesto Komunis/PKI 1920.
"Intisari/isi manifesto PARI, jang memang njata, setjara prinsip/ideologis, sama sadja dengan Anggaran Dasar (AD) PKI 1920-1924, jang memang kawan-kawan Subakat, Tan Malaka, Semaun, dll ikut sama-sama menjusunja pada tahun 1920, jakni ketika akan didirikannja PKI di Semarang pada 23 Mei 1920."
Namun begitu, PKI Tan Malaka dan PKI Musso berbeda. PKI Tan Malaka merupakan partai kader, yang lebih mementingkan pendidikan anggota-anggotanya agar menjadi pimpinan rakyat. Sementara, PKI Musso, mengubah PKI menjadi partai massa yang memiliki anggota sampai jutaan, pada akhir 1926.
Pada pada 15 Desember 1925, Sardjono, Budisutjitro, Winanta, Alimin, Musso, Ali Archam, Said Ali, dengan dua orang kawan dari Solo, dan dua orang dari Jawa Timur, berkumpul di Candi Prambanan, pada 25 Desember 1925 mencetuskan Keputusan Perambanan atau Pemberontakan PKI 1926-1927.
Ilustrasi (dok:Istimewa)
PADA 15 Desember 1925, Sardjono, Budisutjitro, Winanta,
Alimin, Musso, Ali Archam, Said Ali dengan dua orang kawan dari Solo,
dan dua orang dari Jawa Timur, berkumpul di Candi Prambanan, pada 25
Desember 1925.
Mereka sepakat untuk melakukan revolusi serentak pada 18 Juni 1926. Namun, rencana itu gagal. Tidak ada pemberontakan di sejumlah daerah pada tanggal itu. Lalu, pada 22 Duni 1926, sebelas orang yang menyetujui keputusan Candi Perambanan kembali berkumpul dan sepakat meneruskan revolusi Perambanan.
Benar saja, pada 12/13 November 1926, Revolusi PKI pecah. Terjadi pemberontakan di Jakarta, Ciamis/Bandung dan Menes, Banten, serta Silungkang, Sumatera Barat.
Pemberontakan ini berbuah kegagalan yang berakibat sangat fatal bagi pergerakan kemerdekaan. Pada pemberontakan pertama ini, sebanjak 13.000 orang komunis ditangkap. Sedang pada pemberontakan Silungkang 1 Januari 1927, sebanyak 7.000 lebih komunis di seluruh Sumatera, ditangkap.
Sejak itu, PKI dinyatakan dilarang. Inilah, bencana terbesar PKI di masa prakemerdekaan. Djamaluddin mencatat, 1 Januari 1927 adalah hari kematian PKI yang mereka bentuk tahun 1920-an.
Lantas, di mana peran Tan Malaka dalam pemberontakan itu? Dijelaskan Djamaluddin, saat itu Tan Malaka sedang berada di Canton, dalam pembuangan dan berusaha menolak rencana pemberontakan. Setelah Keputusan Perambanan diambil, Alimin diutus untuk menemui Tan Malaka. Namun bukan di Canton, tetapi di Manila.
Di Manila, Tan Malaka menyamar dengan memakai nama Fuentes, sejak pertengahan tahun 1925. Setelah mendengarkan keterangan Alimin tentang rencana pemberontakan, Tan Malaka mengatakan, bahwa keputusan itu sangat membahayakan dan merugikan PKI.
"Bukankah pada bukan Djanuari 1925 setahun jang lampau saja sudah menjatakan di Canton, bahwa membubarkan Sarekat Rakjat itu adalah suatu kesalahan taktik jang amat besar, membahajakan dan merugikan kepada PKI?".
Lebih jauh, Tan Malaka menjelaskan kepada Alimin, tidak ada dalam sejarah revolusioner yang menyatakan bahwa sesuatu revolusi itu bisa ditentukan, hari, tanggal, bulan, dan tahunnya.
Mereka sepakat untuk melakukan revolusi serentak pada 18 Juni 1926. Namun, rencana itu gagal. Tidak ada pemberontakan di sejumlah daerah pada tanggal itu. Lalu, pada 22 Duni 1926, sebelas orang yang menyetujui keputusan Candi Perambanan kembali berkumpul dan sepakat meneruskan revolusi Perambanan.
Benar saja, pada 12/13 November 1926, Revolusi PKI pecah. Terjadi pemberontakan di Jakarta, Ciamis/Bandung dan Menes, Banten, serta Silungkang, Sumatera Barat.
Pemberontakan ini berbuah kegagalan yang berakibat sangat fatal bagi pergerakan kemerdekaan. Pada pemberontakan pertama ini, sebanjak 13.000 orang komunis ditangkap. Sedang pada pemberontakan Silungkang 1 Januari 1927, sebanyak 7.000 lebih komunis di seluruh Sumatera, ditangkap.
Sejak itu, PKI dinyatakan dilarang. Inilah, bencana terbesar PKI di masa prakemerdekaan. Djamaluddin mencatat, 1 Januari 1927 adalah hari kematian PKI yang mereka bentuk tahun 1920-an.
Lantas, di mana peran Tan Malaka dalam pemberontakan itu? Dijelaskan Djamaluddin, saat itu Tan Malaka sedang berada di Canton, dalam pembuangan dan berusaha menolak rencana pemberontakan. Setelah Keputusan Perambanan diambil, Alimin diutus untuk menemui Tan Malaka. Namun bukan di Canton, tetapi di Manila.
Di Manila, Tan Malaka menyamar dengan memakai nama Fuentes, sejak pertengahan tahun 1925. Setelah mendengarkan keterangan Alimin tentang rencana pemberontakan, Tan Malaka mengatakan, bahwa keputusan itu sangat membahayakan dan merugikan PKI.
"Bukankah pada bukan Djanuari 1925 setahun jang lampau saja sudah menjatakan di Canton, bahwa membubarkan Sarekat Rakjat itu adalah suatu kesalahan taktik jang amat besar, membahajakan dan merugikan kepada PKI?".
Lebih jauh, Tan Malaka menjelaskan kepada Alimin, tidak ada dalam sejarah revolusioner yang menyatakan bahwa sesuatu revolusi itu bisa ditentukan, hari, tanggal, bulan, dan tahunnya.
Tan Malaka (dok:Istimewa)
TAN Malaka menyamar dengan memakai nama Fuentes, di
Filipina, sejak pertengahan tahun 1925. Setelah mendengarkan keterangan
Alimin, Tan Malaka mengatakan, bahwa Keputusan Perambanan sangat
membahayakan dan merugikan Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Bukankah pada bukan Djanuari 1925 setahun jang lampau saja sudah menjatakan di Canton, bahwa membubarkan Sarekat Rakjat itu adalah suatu kesalahan taktik jang amat besar, membahajakan dan merugikan kepada PKI?".
Lebih jauh, Tan Malaka menjelaskan kepada Alimin, tidak ada dalam sejarah revolusioner yang menyatakan bahwa sesuatu revolusi itu bisa ditentukan, hari, tanggal, bulan, dan tahunnya.
Bahkan, Tan Malaka mengatakan, para pengambil Keputusan Perambanan pada 25 December 1925, bukan sebagai seorang revolusioner, tetapi adalah putchers semata-mata, seperti yang pernah terjadi dimasa yang sudah-sudah, sampai beratus-ratus kali yang berakhir pada kekalahan dan kehancuran partai.
Setelah mendengarkan penjelasan Tan Malaka, Alimin dengan segera mengaku salah, dan berencana pulang ke Singapura menemui Sardjono, Budisutjitro, Winanta, Sugono, Musso, dan Subakat yang sedang berada di pondok KH. Masduki, di kebun pisang kampung Gelang Serai, sembilan kilometer lebih, dari pinggir Kota Singapura.
Pada awalnya, Tan Malaka hanya bermaksud ingin menyampaikan secara lisan saja alasan penolakannya kepada Alimin. Namun setalah Alimin bertanya sampai tiga kali, kapan akan berangkat ke Moskow, Tan Malaka mulai curiga.
Dari situ, Tan Malaka menulis thesis penolakannya. Berikut thesis penolakan Tan Malaka:
I. Saja sudah mendengar langsung dari mulutnja Alimin, bahwa HB PKI Sardjono, Budisutjitro bersama sembilan orang anggota staffnja, HB PKI sudah berkumpul di atas Tjandi Prambanan, pada 25 December 1925, dan sudah mengambil keputusan penting ijalah memutuskan-menentukan, akan mengadakan Revolusi serentak seluruh Indonesia pada 18 Djuni 1926.
Tuan-tuan sebelas mengharapkan kepada saja supaja segera mengirimkan perbantuan-perbantuan berupa sendjata, dll.
II. Sambutan saja/Tan Malaka terhadap putusan Prambanan 1925 tersebut adalah putusan jang amat sesat/salah, karena sesuatu Revolusi tidak mungkin dapat ditentukan lebih dahulu oleh pemimpin-pemimpin Revolusioner dan diputuskan oleh tuan-tuan sebelas di atas Tjandi Prambanan pada 25 December 1925 adalah Putch semata-mata, jakni bukanlah Revolusi namanja jang demikian itu.
III. Mengingat keadaan/kondisi seperti jang sudah didjelaskan oleh Alimin seperti di atas, saja mengusulkan supaja Putusan Prambanan tadi dibatalkan dengan segera dan diganti dengan Massa-Actie.
Jawaban Tan Malaka di atas menunjukan kualitas dan kematangan pikirannya tentang gerakan komunis. Bahwa, gerakan revolusioner membutuhkan perhitungan yang sangat matang dan dapat berakibat fatal. Analisis Tan Malaka terbukti benar.
Alimin tidak meneruskan pesan yang disampaikan kepadanya. Dia lantas berangkat ke Moskow bersama Musso dan Pemberontakan PKI 1926-1927 pecah di Jakarta, Bandung, dan Sumatera. PKI hancur dan dinyatakan terlarang.
"Bukankah pada bukan Djanuari 1925 setahun jang lampau saja sudah menjatakan di Canton, bahwa membubarkan Sarekat Rakjat itu adalah suatu kesalahan taktik jang amat besar, membahajakan dan merugikan kepada PKI?".
Lebih jauh, Tan Malaka menjelaskan kepada Alimin, tidak ada dalam sejarah revolusioner yang menyatakan bahwa sesuatu revolusi itu bisa ditentukan, hari, tanggal, bulan, dan tahunnya.
Bahkan, Tan Malaka mengatakan, para pengambil Keputusan Perambanan pada 25 December 1925, bukan sebagai seorang revolusioner, tetapi adalah putchers semata-mata, seperti yang pernah terjadi dimasa yang sudah-sudah, sampai beratus-ratus kali yang berakhir pada kekalahan dan kehancuran partai.
Setelah mendengarkan penjelasan Tan Malaka, Alimin dengan segera mengaku salah, dan berencana pulang ke Singapura menemui Sardjono, Budisutjitro, Winanta, Sugono, Musso, dan Subakat yang sedang berada di pondok KH. Masduki, di kebun pisang kampung Gelang Serai, sembilan kilometer lebih, dari pinggir Kota Singapura.
Pada awalnya, Tan Malaka hanya bermaksud ingin menyampaikan secara lisan saja alasan penolakannya kepada Alimin. Namun setalah Alimin bertanya sampai tiga kali, kapan akan berangkat ke Moskow, Tan Malaka mulai curiga.
Dari situ, Tan Malaka menulis thesis penolakannya. Berikut thesis penolakan Tan Malaka:
I. Saja sudah mendengar langsung dari mulutnja Alimin, bahwa HB PKI Sardjono, Budisutjitro bersama sembilan orang anggota staffnja, HB PKI sudah berkumpul di atas Tjandi Prambanan, pada 25 December 1925, dan sudah mengambil keputusan penting ijalah memutuskan-menentukan, akan mengadakan Revolusi serentak seluruh Indonesia pada 18 Djuni 1926.
Tuan-tuan sebelas mengharapkan kepada saja supaja segera mengirimkan perbantuan-perbantuan berupa sendjata, dll.
II. Sambutan saja/Tan Malaka terhadap putusan Prambanan 1925 tersebut adalah putusan jang amat sesat/salah, karena sesuatu Revolusi tidak mungkin dapat ditentukan lebih dahulu oleh pemimpin-pemimpin Revolusioner dan diputuskan oleh tuan-tuan sebelas di atas Tjandi Prambanan pada 25 December 1925 adalah Putch semata-mata, jakni bukanlah Revolusi namanja jang demikian itu.
III. Mengingat keadaan/kondisi seperti jang sudah didjelaskan oleh Alimin seperti di atas, saja mengusulkan supaja Putusan Prambanan tadi dibatalkan dengan segera dan diganti dengan Massa-Actie.
Jawaban Tan Malaka di atas menunjukan kualitas dan kematangan pikirannya tentang gerakan komunis. Bahwa, gerakan revolusioner membutuhkan perhitungan yang sangat matang dan dapat berakibat fatal. Analisis Tan Malaka terbukti benar.
Alimin tidak meneruskan pesan yang disampaikan kepadanya. Dia lantas berangkat ke Moskow bersama Musso dan Pemberontakan PKI 1926-1927 pecah di Jakarta, Bandung, dan Sumatera. PKI hancur dan dinyatakan terlarang.
Tan Malaka (dok:Istimewa)
SEPAK terjang Tan Malaka dalam Partai Komunis Indonesia
(PKI) hingga dibunuhnya dia, pada Februari 1948, diulas dengan sangat
rinci oleh sejarahwan Harry Poeze. Buku-buku awalnya yang mengulas sepak
terjang pacar merah Indonesia itu adalah "Tan Malaka, Pergulatan Menuju
Republik 1897-1925".
Setelah sukses dengan buku tersebut, Harry Poeze kembali menulis buku tentang Tan Malaka, sebagai kelanjutan dari buku yang sebelumnya dia tulis. Buku itu diberi judul "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia". Buku ini terdapat empat jilid, dan sangat detail menceritakan peran Tan Malaka dalam revolusi Indonesia.
Kehadiran buku Harry Poeze ini mendapatkan sambutan hangat dari masyartakat Indonesia, khususnya mereka yang peduli dengan sejarah perjuangan bangsanya. Namun begitu, tidak sedikit yang mengecam dan menganggapnya sebagai penyebaran dan upaya penghidupan kembali paham komunisme di Indonesia.
Harry Poeze Tidak hanya menulis sosok Tan Malaka. Bersama Zulfikar Kamarudin, keponakan Tan Malaka, dia juga menyelidiki kematian Tan Malaka yang masih misterius. Termasuk mencari makamnya, di Selo Panggung, Kecamatan Semen, Kediri.
Saat peluncuran buku jilid ke empat itu, Harry Poeze sempat berkeliling ke sejumlah daerah di Indonesia. Dia mendatangi kampus-kampus, dan LSM untuk berdiskusi. Banyak diskusinya dengan LSM dilarang, dan dibubarkan oleh ormas Islam dan kepemudaan yang melihat sosok Tan Malaka sebagai komunis.
Seketika, masyarakat Indonesia kembali diingatkan dengan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang berisi tentang larangan paham komunisme di Indonesia. Hingga detik ini, komunisme masih haram di bumi Indonesia.
Dasar pelarangan itu adalah kecaman terhadap peristiwa 30 September 1965 yang menewaskan enam orang jenderal, terdiri dari Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto, Mayjen TNI M.T. Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, dan Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo.
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target gerakan. Namun dia berhasil menyelamatkan diri dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tendean tewas dalam usaha peristiwa ini.
Sebagai akibat dari gagalnya pemberontakan itu, paham komunisme dilarang. Jutaan orang komunis diburu, dibunuh, ditangkap, dan dibuang. Inilah tragedi berdarah dan kelam sepanjang sejarah Indonesia modern. Tewasnya enam orang jenderal dibayar dengan pembunuhan besar-besaran, sadis, dan tidak berprikemanusiaan.
Menanggapi ketetapan itu, Ibrahim Isa, salah seorang delegasi Indonesia di Konferensi Solidaritas Rakyat-Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin (OSPAAL), di Havana (Januari, 1966), seorang eksil menyatakan, pelarangan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme oleh MPRS, sudah tidak memiliki legilimasi lagi.
"MPRS yang mengambil keputusan itu sudah dibongkar pasang oleh Jenderal Suharto. Sudah banyak yang ditangkap, di penjarakan, dan ada yang dibunuh. MPRS serupa itu tidak ada legitimasi sama sekali. Maka keputusannya sudah ditentukan lebih dulu di MBAD TNI," demikian kata Ibrahim Isa, kepada Sindonews, Senin 10 Maret 2014.
Di luar pro dan kontra paham tersebut, seperti dilansir halaman Kementerian Sosial Republik Indonesia (RI), sedikitnya ada dua pimpinan komunis yang masuk dalam daftar pahlawan nasional. Kedua komunis itu adalah Tan Malaka diurutan ke-17 dan Alimin diurutan ke-27.
Setelah sukses dengan buku tersebut, Harry Poeze kembali menulis buku tentang Tan Malaka, sebagai kelanjutan dari buku yang sebelumnya dia tulis. Buku itu diberi judul "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia". Buku ini terdapat empat jilid, dan sangat detail menceritakan peran Tan Malaka dalam revolusi Indonesia.
Kehadiran buku Harry Poeze ini mendapatkan sambutan hangat dari masyartakat Indonesia, khususnya mereka yang peduli dengan sejarah perjuangan bangsanya. Namun begitu, tidak sedikit yang mengecam dan menganggapnya sebagai penyebaran dan upaya penghidupan kembali paham komunisme di Indonesia.
Harry Poeze Tidak hanya menulis sosok Tan Malaka. Bersama Zulfikar Kamarudin, keponakan Tan Malaka, dia juga menyelidiki kematian Tan Malaka yang masih misterius. Termasuk mencari makamnya, di Selo Panggung, Kecamatan Semen, Kediri.
Saat peluncuran buku jilid ke empat itu, Harry Poeze sempat berkeliling ke sejumlah daerah di Indonesia. Dia mendatangi kampus-kampus, dan LSM untuk berdiskusi. Banyak diskusinya dengan LSM dilarang, dan dibubarkan oleh ormas Islam dan kepemudaan yang melihat sosok Tan Malaka sebagai komunis.
Seketika, masyarakat Indonesia kembali diingatkan dengan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang berisi tentang larangan paham komunisme di Indonesia. Hingga detik ini, komunisme masih haram di bumi Indonesia.
Dasar pelarangan itu adalah kecaman terhadap peristiwa 30 September 1965 yang menewaskan enam orang jenderal, terdiri dari Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto, Mayjen TNI M.T. Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, dan Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo.
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target gerakan. Namun dia berhasil menyelamatkan diri dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tendean tewas dalam usaha peristiwa ini.
Sebagai akibat dari gagalnya pemberontakan itu, paham komunisme dilarang. Jutaan orang komunis diburu, dibunuh, ditangkap, dan dibuang. Inilah tragedi berdarah dan kelam sepanjang sejarah Indonesia modern. Tewasnya enam orang jenderal dibayar dengan pembunuhan besar-besaran, sadis, dan tidak berprikemanusiaan.
Menanggapi ketetapan itu, Ibrahim Isa, salah seorang delegasi Indonesia di Konferensi Solidaritas Rakyat-Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin (OSPAAL), di Havana (Januari, 1966), seorang eksil menyatakan, pelarangan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme oleh MPRS, sudah tidak memiliki legilimasi lagi.
"MPRS yang mengambil keputusan itu sudah dibongkar pasang oleh Jenderal Suharto. Sudah banyak yang ditangkap, di penjarakan, dan ada yang dibunuh. MPRS serupa itu tidak ada legitimasi sama sekali. Maka keputusannya sudah ditentukan lebih dulu di MBAD TNI," demikian kata Ibrahim Isa, kepada Sindonews, Senin 10 Maret 2014.
Di luar pro dan kontra paham tersebut, seperti dilansir halaman Kementerian Sosial Republik Indonesia (RI), sedikitnya ada dua pimpinan komunis yang masuk dalam daftar pahlawan nasional. Kedua komunis itu adalah Tan Malaka diurutan ke-17 dan Alimin diurutan ke-27.
http://nasional.sindonews.com/read/842660/15/tan-malaka-tap-mprs-nomor-xxv-mprs-1966-1394403425
0 komentar:
Posting Komentar