13 Maret 2014
Rika Prasatya, peneliti di Forum Dialog (Fordial), Jakarta
Setiap tanggal 8 Maret, diperingati sebagai hari perempuan internasional yang nuansanya tampaknya ingin menonjolkan dan menggambarkan permasalahan yang dihadapi oleh perempuan di berbagai negara, termasuk perjuangan kaum perempuan dalam menuntut hak-haknya.
Dalam skala global, khususnya untuk memperjuangkan “pembelaan” terhadap nasib perempuan yang kurang beruntung, maka peringatan hari perempuan internasional ini memenuhi signifikansinya. Apalagi berdasarkan hasil survei salah satu lembaga belum lama ini menyebutkan, bahwa 1 dari 10 perempuan sejak berumur 15 tahun di berbagai negara sudah mengalami kekerasan perempuan, 1-10 perempuan di dunia ini sudah mengalami pemerkosaan dan tindak kekerasan lainnya.
Momentum hari perempuan internasional tahun 2014 ini juga dimanfaatkan berbagai kalangan untuk menyuarakan aspirasinya, baik melalui aksi unjuk rasa, mengungkapkan pernyataan sikap, mengeluarkan petisi sampai kepada pertunjukan teater atau kegiatan seni lainnya.
Di Indonesia, menurut rencana pada tanggal 7 s.d 9 Maret 2014, Institut Ungu berencana mementaskan teater berjudul “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2014 di Goethe Haus Jakarta. Naskah teater ditulis oleh Faiza Masduki sekaligus menjadi sutradara, diperankan oleh pemain terater yang cukup berpengalaman, Naniek L. Karim, Pipien Putri, Ruth Marini dan Helina Sinaga.
Berdasarkan informasi yang berkembang di kalangan aktivis perempuan, pentas teater ini didukung oleh sejumlah NGO dan lembaga donor dari Belanda, Swedia dan Amerika Serikat serta didukung beberapa LSM dari Indonesia, Elsam, Perempuan Mahardhika, Indonesia untuk Kemanusiaan dan Bites.
Menurut informasi yang berkembang terkait narasi cerita teater tersebut menyebutkan bahwa “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” mengangkat kisah pergulatan pikiran dan batin lima perempuan berumur 70-an sampai 83 tahun yang dulu pernah menjadi tahanan politik ‘65 selama lebih dari sepuluh tahun. Mereka bertahan menghadapi hari-hari di masa tuanya dan bergulat dengan kenangan kegembiraan dan kebanggaan akan masa mudanya.
Dengan menggendong pengalaman pahit dan traumanya akibat kekerasan seksual, mereka menghadapi stigma yang ditempelkan padanya oleh penguasa. Semua ini harus dihadapi cucu salah seorang eyang-eyang ini, baik sebagai tantangan pribadi dan keluarga maupun sebagai perempuan muda yang memikirkan realitas negerinya. Masa lalu mereka merupakan bagian dari sejarah Indonesia yang ikut membentuk generasi Indonesia sekarang.
Mempolitisasi Nasib Perempuan?
Jika melihat kepada judul teater ini yaitu “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer”, maka mereka yang aktif mempelajari sejarah dan ingat perkembangan sejarah di Indonesia, tidak akan sulit menerjemahkan untuk pertama kalinya bahwa teater ini tampaknya sangat berisi pesan dari kelompok kepentingan tertentu, terutama dari kelompok yang dalam orde baru menjadi korban utamanya. “Genjer-genjer” adalah sebuah lagu yang sangat terkenal dan sangat dipahami oleh para anggota PKI saat peristiwa 1965 (jika tidak salah).
Penilaian ini kemungkinan benar dan kemungkinan juga salah. Namun jika melihat narasi yang diambil dari literatur dan hasil survei, rencana pementasan teater ini mengambil fakta-fakta yang ada di lapangan khususnya di Yogyakarta, Solo, Klaten, Sragen, Jakarta serta di Eksil Swedia dan Belanda hingga mengunjungi tempat isolasi para tahanan perempuan di Palantungan.
Memang tujuan kegiatan pertunjukan teater ini diwujudkan untuk memberi suara atau kesempatan “pembelaan” kepada para perempuan yang mengalami sejarah kelam pada tahun 1965 yang lalu, sehingga tidak mengherankan jika ada yang menilai kegiatan pertunjukan teater ini merupakan salah satu bentuk propaganda untuk melihat kembali sejarah kelam para perempuan korban politik ‘65. Apalagi keterlibatan sejumlah kelompok civil society dan NGO’s dari luar negeri yaitu Belanda, Swedia dan Amerika Serikat tentunya mungkin dengan maksud ingin menginternasionalisasi atau menduniakan kasus ini.
Menurut salah seorang pelaku sejarah tahun 1965 kepada penulis menilai, pentas teater ini yang akan dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari perempuan Internasional patut diduga untuk mengingat-ingat kembali pengalaman pengalaman pahit perempuan bangsa ini, para perempuan yang tergabung ataupun tidak tergabung dalam organisasi perempuan seperti Gerwani telah mengalami kekejaman sebuah rezim, walaupun masih dipertanyakan apa jenis kekejaman yang telah dilakukan rezim tersebut terhadap perempuan-perempuan ini.
Menurut catatan penulis, beberapa kelompok kepentingan dalam upaya merealisasikan tujuan perjuangannya atau untuk mensosialisasikan ideologinya juga menggunakan wahana komunikasi massa seperti pertunjukan seni, teater dan pembuatan film untuk wahana propagandanya.
Sebelumnya, film berjudul “Act of Killing” yang disutradarai Joshua Oppenheimer walaupun mendapatkan nominasi sebagai film dokumenter terbaik pada perebutan Oscar tahun ini, namun akhirnya panitia secara profesional memutuskan film dokumenter yang juga menyoroti soal kekejaman pada tahun 1965/1966 ini tidak pantas memenangkan hadiah Oscar.
Tidak hanya itu saja, sejumlah kelompok kepentingan juga sedang giat mempromosikan atau mensosialisasikan film dokumenter berjudul “Jembatan Bacem” menceritakan tentang 3 orang saksi penghilangan paksa dan 2 orang survivor yang lolos dari upaya penghilangan paksa di atas Jembatan Bacem pada 1965/1966. Film Jembatan Bacem diproduksi oleh Elsam dan Sekber ‘65 Solo menggambarkan sebuah tragedi hilangnya 71 orang hilang dari kamp penahanan Solo Mulyo pada 29 September 1966.
Hanya saja generasi muda saat ini akan sulit mengklarifikasi apakah semua film-film tersebut adalah propaganda kelompok tertentu atau adalah fakta sebenarnya. Inilah pelajaran pentingnya, sejarah harus dituturkan dan ditulis secara jujur dan bebas dari kepentingan apapun juga.
Sumber: TheGlobalReview
0 komentar:
Posting Komentar