Aan Anshori
MAAF adalah kata yang ringan diucapkan. Saya pernah secara tidak sengaja
membaca surat Cecilia, anak saya yang masih kelas 4 Sekolah Dasar. Dia menulis
permintaan maaf ke salah satu temannya, hanya karena Cecilia merasa
mencuekinya. Jika pernah belajar kepemimpinan, Anda pasti akan tahu tiga kata
yang perlu diingat oleh seorang pemimpin saat melakukan kesalahan; ‘I am
sorry.’ Maaf juga diyakini sebagai salah satu penanda kebudayaan.
Komunitas
yang warganya mentradisikan kata maaf jika melakukan kesalahan dipersepsi
memiliki tingkat berbudaya yang lebih tinggi dibanding yang tidak.
Namun, kata maaf sangat irit terucap jika sudah menyangkut hal-hal krusial.
Misalnya saja menyangkut sejarah konflik bangsa, apalagi yang berlumuran
darah. Belanda memerlukan waktu sekitar 64 tahun untuk meminta maaf atas
pembantaian brutal militernya di Rawagede dan memberikan kompensasi sebesar
20.000 euro kepada masing-masing dari sembilan keluarga korban.[1]
Meski sudah berlalu lebih dari 46 tahun, Peristiwa 1965 masih saja
menyisakan setumpuk pekerjaan rumah bagi Republik ini. Utamanya membuka tabir
kelam sekaligus melakukan penegakan hukum. Tugasnya menjadi semakin berat
manakala pemerintah berkewajiban melakukan rehabilitasi, reparasi dan
rekonsiliasi pada saat bersamaan. Jangankan melakukan rangkaian kewajiban di
atas, belum ada satupun kata maaf terucap dari presiden RI kepada para korban
pasca tragedi 1965, kecuali dari Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Namun warisan maaf Gus Dur mulai diusik. Bukan oleh orang lain namun justru
dilakukan oleh PBNU, organisasi dimana Gus Dur pernah menjabat sebagai
ketua umumnya beberapa periode. Penerus-penerusnya di PBNU melakukan upaya
pemelintiran atas permaafan Gus Dur. Padahal telah jamak diketahui pemaafan
tersebut seperti fondasi kultural proses rekonsiliasi yang terasa seret.
Semua berawal dari wacana Presiden SBY yang hendak meminta maaf pada para
Korban ’65.[2] Draft
pemaafan SBY kabarnya telah disiapkan oleh salah satu dewan pertimbangan
presiden (Wantimpres). Sontak wacana ini memancing respon dari banyak pihak,
termasuk kelompok-kelompok yang selama ini anti pengungkapan Peristiwa 1965.
Tanggal 15 Agustus 2012, dua hari menjelang peringatan kemerdekaan RI
ke-67, As’ad Ali, wakil ketua umum PBNU menolak keras segala bentuk
permintaan maaf dari Presiden SBY terhadap korban Tragedi 1965-1966.[3]
As’ad Ali berpandangan, bangsa ini akan lebih baik jika melupakan peristiwa
tersebut. Menurutnya, mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,
lanjutnya, sudah memberikan tempat untuk memulihkan hak keturunan PKI, sehingga
permintaan maaf pemerintah pada korban tragedi 1965-1966 dipandang tidak perlu.
Saat memberikan pernyataan tersebut di Kantor PBNU, As’ad tidak sendirian. Dia
didampingi oleh berbagai elemen dari ormas maupun purnawirawan TNI AD.
Mereka
mewakili lembaga dan perorangan, di antaranya PPAD, Barisan Nasional ,
Padmanagri , PPM, FPP 45, FKPPI , YKCB, DHN 45, Universitas Jaya Baya, dan
Yayasan Jatidiri Bangsa. Dalam acara tersebut, hadir pula mantan Hakim Agung
Benyamin Mangkudilaga dan penyair Taufik Ismail.
Publik bereaksi menyayangkan pernyataan tersebut. PBNU dianggap telah
mengkhianati warisan maaf Gus Dur. Dua bulan kemudian, tepatnya tgl 1 Oktober
2012, empat hari sebelum peringatan hari ulang tahun TNI, Andi Najmi menyangkal
Gus Dur pernah minta maaf.
‘Gus Dur tidak pernah meminta maaf. Gus Dur hanya mengusulkan
bagaimana ada permintaan saling memaafkan dari kedua belah pihak.[4]
Andi yang juga ketua LPBH PBNU mengatakan itu di sela-sela acara tahlil dan
doa bersama untuk ulama dan santri Korban PKI di Gedung PBNU, Jl Kramat Raya
Jakarta. Pengaburan fakta maaf Gus Dur atas Peristiwa 65 semakin menggelinding.
Adalah Nursyahbani Katjasungkana, aktivis senior pendiri LBH APIK yang
mempertanyakan sikap mundur NU soal Peristiwa 65 pada peluncuran buku Benturan
NU-PKI tanggal 9 Desember 2013 lalu.
Situs merdeka.com menulis
pernyataan Nursjahbani sebagai berikut,
‘Bukankah dulu ada permintaan maaf dan itu dikatakan oleh Gus Dur. Saya mau
tanyakan ini, buku ini mempertegas tidak lagi minta maaf atau tidak mau minta
maaf.’[5]
Menurut Nursyahbani buku tersebut menyimpulkan Peristiwa ’65 adalah konflik
horizontal, ‘Bukankah kalau secara politik, jika kejadian itu sebagai konflik
horizontal akan sangat berbahaya.’ Abdul Mun’im DZ, salah satu penulis buku
yang hadir, tidak mempersalahkan akan permintaan maaf. Namun menurut Mun’im,
yang ada adalah saling memaafkan pada dua pihak karena sama-sama jadi korban.
Dia menambahkan dalam dua kejadian itu (Peristiwa 1948 dan 1965, penulis), NU
tidak hanya pelaku, tapi juga korban. Bagi Mun’im hal ini bukan perkara tidak
mau minta maaf namun saling memaafkan. Belum selesai Mun’im menjelaskan ke
Nursyahbani, Sastro al Ngatawi maju ke depan forum.
Pria yang dikenal dekat
dengan Gus Dur itu menyatakan ungkapan maaf tersebut muncul saat Gus Dur
bertemu Pramoedya tahun 1999.
‘Saya klarifikasi tentang permintaan maaf Gus Dur itu. Saat itu pertemuan
antara Gus Dur dan Pram. Pram bilang, “kita ini sudah dekat kok tapi kok orang
di luar masih ribut.” “Ya sudah,” kata Gus Dur.’ Kemudian Gus Dur menambahkan,
“Saya minta maaf dan kamu juga minta maaf.” Setelah itu Pram nanya, “Kalau saya
dengan Gus Dur gak ada masalah. Tapi yang di luar itu perlu
dijelaskan,” kata Pram. Terus Pram bertanya lagi, “Apa komentar tadi tentang
permintaan maaf itu sebagai Gus Dur secara pribadi atau PBNU atau bagaimana?”
Gus Dur menjawab, “Ya sudah, kalau gak mau repot anggap saja
itu sebagai komentar dari PBNU.”’[6]
Sastro mengungkapkan perkataan Gus Dur saat itu semata-mata demi NKRI.
Menurutnya, NU harus tetap menjaga keutuhan RI dengan segala macam cara. Sastro
menambahkan, ‘konteks omongan Gus Dur saat itu, demi NKRI berapapun harganya,
apapun taruhannya, NU harus tetap menjaga. Tapi kalau sampai maaf Gus Dur itu
dianggap untuk membuat tuntutan ganti rugi dari APBN dan yang lainnya atau yang
lebih dari sewajarnya dan merusak NKRI maka dirinya memandang itu melebihi
maksud dari Gus Dur.’[7]
Sastro secara eksplisit tidak menganulir permintaan maaf Gus Dur ke
Pramoedya. Sayangnya Sastro terkesan rikuh dengan PBNU. Hal itu tampak dari spekulasinya
menafsirkan pemaafan Gus Dur bukan sebagai justifikasi membuat tuntutan ganti
rugi dari APBN dan yang lainnya. Sebagai catatan, pada tanggal 27 Oktober 1999,
Gus Dur pernah mengundang Pramoedya ke Wisma Negara beberapa bulan setelah Gus
Dur menjabat sebagai presiden. Harian Jakarta Post dan
beberapa media lain menulis kedatangan Pram karena Presiden Abdurrahman Wahid
ingin mendapat masukan terkait kebijakan di sektor kelautan.
Sekitar Januari 2014, munculah pembelaan atas pemaafan Gus Dur juga. Kali
ini ditulis oleh Rumadi, doktor lulusan UIN Jakarta yang juga peneliti di Wahid
Institute. Rumadi membela Gus Dur dengan unik; mengemasnya secara imajinatif
dalam format wawancara in absentia dengan Gus Dur. Senada
dengan Sastro, Rumadi mengonfirmasi kebenaran pemaafan Gus Dur. Namun, entah
disadari atau tidak, Rumadi sepertinya juga ‘tersandung’ seperti Sastro. Jika
Sastro menafsiri maaf Gus Dur tidak berbanding lurus dengan pemberian ganti
rugi korban oleh negara, Rumadi malah seakan mementahkan ketulusan maaf Gus Dur
dengan menyatakan Gus Dur—secara imajinatif—pernah berkata ‘Minta maaf tidak
otomatis mengakui bersalah.’
‘(RD) Meski Gus Dur sudah minta maaf, tapi generasi NU sepeninggal
Gus Dur tidak sepenuhnya mengikuti jejak Gus Dur untuk berdamai dengan masa
lalu. Apa yang sebenarnya terjadi Gus?
(GD) Saya juga sedih, kenapa generasi NU kok semakin kerdil. Minta maaf
tidak otomatis mengakui bersalah. Hanya inilah cara bagi NU untuk meringankan
beban sejarah masa lalu.[8]
Jika dicermati percakapan di atas mengesankan pemaafan Gus Dur adalah basa
basi, seperti tuduhan Pram selama ini. Pernah ada seorang kawan, bapaknya
adalah penyintas yang pernah ditahan di Pulau Buru beberapa tahun, bertanya ke
saya: ‘jika Gus Dur tidak merasa bersalah kenapa dia perlu meminta maaf? Tulus
atau jangan pernah mempermainkan penderitaan kami,’ begitu ucapnya.
Gus Dur Pernah Meminta Maaf
Meski diyakini Gus Dur telah meminta maaf kepada Korban 65 saat dirinya
menjadi ketua Umum PBNU, namun belum ditemukan catatan yang bisa diakses
sebagai bukti. Dalam peluncuran buku Benturan NU-PKI, Sastro
mengawali kesaksian permaafan Gus Dur terjadi saat mengundang Pram ke Wisma
Negara, Rabu 27 Oktober 1999. Pram mengonfirmasi cerita Sastro saat
diwawancarai Forum Keadilan.[9] Koran The
Jakarta Postsaat itu lebih menyorot pertemuan Gus Dur dan Pram untuk
mendiskusikan masalah kelautan. Bahkan harian tersebut malah memuat lelucon
mereka berdua. Gus Dur—mungkin dengan maksud bercanda—sempat menyatakan bahwa
tentara bukan merupakan pihak yang melakukan kekerasan di Aceh, tapi itu
dilakukan oleh orang yang berseragam tentara. Pram pun segera menimpali bahwa
Gus Dur seharusnya menuntut penjahit yang membuat seragam itu ke pengadilan.[10]
Akhirnya pemaafan Gus Dur kepada Korban 65 menemukan momentumnya. Dalam
acara ‘Secangkir Kopi Bersama Gus Dur’ yang disiarkan langsung oleh TVRI,
Selasa 15 Maret 2000, Gus Dur secara terbuka meminta maaf dan akan mengusulkan
pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Dengan ditemani Franz Magnis Suseno, Noorca, dan
Effendy Choirie, Gus Dur menjelaskan latar belakang kenapa Peristiwa 65 perlu
dibuka. Harian Kompas 15 Maret 2000, menurunkan berita
berjudul ‘Terhadap G30S/PKI, Gus Dur: Sejak Dulu Sudah Minta Maaf.’[11]
Menurut
Gus Dur, belum tentu orang-orang yang dituduh komunis semuanya bersalah
sehingga akhirnya dihukum mati. Dirinya tidak menutup-nutupi banyak warga NU
terlibat pembantaian tersebut. Menurutnya, jika Peristiwa ‘65 dibuka menjadi
perdebatan publik maka akan lebih baik. Pemaafan Gus Dur yang disampaikan saat
dirinya menjadi presiden maupun dalam hubungannya saat memimpin NU dirujuk
banyak tulisan. Situs Asia Times pada 7 April 2000 juga
menulis pemaafan Gus Dur sebagai berikut.
‘Aiming to correct the mistakes of the past, Indonesian President
Abdurrahman Wahid last month apologized to all victims and survivors of the
massacres and unlawful detention of alleged communists which began in the
mid-1960s. He said the ban on communism would be lifted.’[12]
Tulusnya Gus Dur
Jawaban paling baik umumnya yang paling sederhana. Demikian adagium yang
dikenal dengan nama Occam’s Razor. Melacak ketulusan itu sulit, namun
bukan berarti tidak mungkin. Salah satu caranya adalah dengan melihat track
record konsistensi pikiran dan laku seseorang. Setelah Gus Dur secara
terbuka berbicara pemaafan dan usulannya untuk mencabut TAP MPRS XXV/1966
di TVRI, atmosfir politik memanas. Penolakan datang dari berbagai
elemen masyarakat, terutama dari kelompok yang selama ini anti-PKI. MUI
bereaksi keras mengecam.
Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, tidak sepakat dengan
ide Gus Dur. Saifulloh Yusuf yang kala itu menjabat Plt Ketua Umum GP Ansor,
menyerahkan sikap organisatorisnya ke PBNU. Kecaman juga datang dari hampir
seluruh kekuatan politik di Senayan, kecuali PKB sebagai partai pendukung
pemerintah. Pramoedya, kawannya yang juga Korban 65 pun tak kalah sinis atas
pemaafan itu. Dia mengritik pedas Gus Dur sebelas hari setelah tayangan TVRI.
‘Gampang amat (minta maaf). Seumur hidupnya, orang merasakan penderitaan.
Terus, yang sudah mati bagaimana? Ia kemudian malah sowan kepada Soeharto.’[13]
‘Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia,
seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan
rezim.’[14]
Gus Dur cuek dan bahkan malah menepati janjinya, mengunjungi rumah Pram di
kawasan Utan Kayu. Gus dur yang ditemani Inayah putri bungsunya, ditemui Pram
dan Maemunah, istrinya. Saat ditanya soal kritik Pram atas permaafannya, Gus
Dur menjawab santai, ‘Kritik begitu boleh-boleh saja, itu kan pendapat pribadi
Pak Pram.’[15]
Gus Dur dilengserkan karena berupaya mengumumkan keadaan darurat dan
membubarkan DPR. Namun itu bukan faktor tunggal. Pemaafan dan usulan pencabutan
TAP XXV/MPRS/1966 mengakumulasi kebencian banyak pihak termasuk DPR, militer
dan kalangan Islam yang belum bisa berdamai dengan diri mereka sendiri. Sikap
‘kepala batu’ Gus Dur membela Korban ‘65 telah meningkatkan gairah
musuh-musuhnya untuk melengserkannya. Sinisme beberapa Korban ‘65 atas upaya
Gus Dur juga tidak sedikit. Namun tidak termasuk almarhum Rewang, mantan CC
Politbiro PKI. Dia sendiri malah mengaku akan memilih PKB sebagai wujud
penghormatannya atas perjuangan Gus Dur.[16]
Pasca lengser, Gus Dur masih konsisten melakukan pembelaan terhadap Korban
‘65. Keadilan, penegakan hukum dan rekonsiliasi terus digemakan. Dia hadir dan
menjadi pembicara dalam bedah bukunya Ribka Tjiptaning, Aku Bangga
menjadi Anak PKI pada 1 Oktober 2002. Di sana Gus Dur kembali
meneguhkan pemaafannya dan menilai Tap MPRS XXV/1966 bertentangan dengan
konstitusi. Gus Dur sendiri malah memberi pengantar atas buku itu.[17]
Gus Dur tidak lelah beristiqomah menyelaraskan laku dan pikiran
untuk berpihak kepada Korban ‘65. Dia hadir meresmikan panti Jompo milik sebuah
yayasan yang dipimpin oleh para eks tapol dan napol. Panti itu, Waluyo Sejati
Abadi namanya, didirikan di kawasan Kramat V Jakarta, di Gedung Wanita
Indonesia, organisasi yang dianggap sebagai muslimatnya PKI. Panti tersebut
dibangun untuk menampung tahanan politik perempuan di masa rezim Soeharto.[18] Motivasi
Gus Dur sangat jelas; solidaritas terhadap nasib korban, yang sampai sekarang
masih mengalami tekanan-tekanan dan kehilangan segala-galanya.
‘Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan karena
mereka dituduh “terlibat” dan bahkan memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).
Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang
masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali, termasuk
hak memilih dalam pemilihan umum. Rumah-rumah dan harta benda mereka dirampas.
Sementara stigma (cap) mereka adalah pengkhianat bangsa tetap melekat pada diri
mereka hingga saat ini.’[19]
Pemaafan Gus Dur jelas. Dalam konteks penuntasan Peristiwa ‘65, tidak ada
satu pun pemimpin bangsa ini melakukan seperti halnya Gus Dur. Dia tak hanya
mengagumi Bumi Manusia— seperti yang ia katakan saat menyambangi
Pram di rumahnya. Rentetan perilaku Gus Dur sesungguhnya mencerminkan apa yang
ditulis Pram dalam novel itu, ‘seorang terpelajar harus juga belajar adil sejak
dalam pikiran.’
Dua tahun lalu, saya pernah mengantar beberapa penyintas Peristiwa 65
menziarahi makam Gus Dur. Hampir tidak ada korban 65 yang tidak menghormati Gus
Dur. Jika ketulusan maaf seseorang akan berbanding lurus dengan apa yang ia
dapatkan dari yang dimintai maaf, masihkan kita meragukan Gus Dur atas sepak
terjangnya selama ini?
***
Penulis adalah Koordinator Jaringan GUSDURian Jawa Timur
Versi awal tulisan ini dapat diakses di aananshori.web.id/2014/03/meragukan-maaf-gus-dur/.
Dimuat di sini untuk tujuan Pendidikan.
[1] ‘Belanda
Bertanggung Jawab Atas Pembantaian Rawagede,’ http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/12/111206_rawagede.shtml Akses
16 Maret 2014 jam 21.25 wib.
[2] Lintang
Kumitir, ‘Wacana Permintaan Maaf Presiden Kepada Para Korban Pelanggaran
HAM Berat,’ http://sekber65.blogspot.com/ Akses
16 Maret 2014 Jam 21:21 WIB.
[3] Aditya
Revianur, ‘PBNU Tolak Permintaan Maaf kepada Korban Tragedi 65,’ http://nasional.kompas.com/read/2012/08/15/20243252/PBNU.Tolak.Permintaan.Maaf.kepada.Korban.Tragedi.65Akses
16 Maret 2014 Jam 21.31 WIB.
[4] Baquni,
‘Gus Dur Tidak Pernah Minta Maaf kepapada PKI soal Tragedi 1965,’ http://www.merdeka.com/peristiwa/gus-dur-tidak-pernah-minta-maaf-kepada-pki-soal-tragedi-1965.htmlAkses
16 Maret 2014 jam 21.38 WIB.
[5] Islahudin,
‘NU Klarifikasi Permintaan Maaf Gus Dur Pada PKI,’ http://www.merdeka.com/peristiwa/nu-klarifikasi-permintaan-maaf-gus-dur-pada-pki.html Akses
15 Maret 2014.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Rumadi,
‘Gus Dur dan Pemaafan Korban Peristiwa 65,’ http://www.wahidinstitute.org/wahid-id/berita-dan-opini/berita-petasitus/362-gus-dur-dan-pemaafan-korban-peristiwa-65-.html Akses
16 Maret 2014.
[9] Pramoedya:
‘Omong Kosong Rekonsiliasi,’ Forum Keadilan, 26 Maret 2000.
[10] ‘Gus
Dur pledges to remain accessible,’ The Jakarta Post, 28
Oktober 1999.
[11] Gus
Dur: ‘Sejak Dulu Sudah Minta Maaf,’ Kompas, 15 Maret
1999, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/03/14/0104.html Akses
16 Maret 2014 21:58 WIB.
[12] Kafil
Yamin, Wahid’s plan to lift ban on communism pleases no one, http://atimes.com/se-asia/BD07Ae01.html; http://www.ipsnews.net/2000/04/indonesia-wahids-plan-to-lift-ban-on-communism-pleases-almost-no-one/.
Baca juga ‘Shining a light on Indonesia’s dark days of 1965,’ http://www.abc.net.au/news/2012-07-25/an-indonesia-1965/4153614 President
plan to revoke ban on communism triggers wide protest http://www.ucanews.com/story-archive/?post_name=/2000/04/13/presidents-plan-to-revoke-ban-on-communism-triggers-wide-protests&post_id=15829
[13] Pramoedya, ibid.
[14] Pramoedya
Ananta, ‘Saya Bukan Nelson Mandela Toer,’ http://boemipoetra.wordpress.com/2013/03/09/gm-vs-pram/ Akses
16 Maret 2014 jam 09.10 WIB.
[15] ‘Gus
Dur Temui Pram,’ Kompas, Rabu 3 Mei 2000.
[16] ‘Mantan
Anggota PKI Boleh Dukung Gus Dur,’ https://groups.yahoo.com/neo/groups/gosip-politik/conversations/topics/11736 Akses
16 Maret 2014 Jam 09.30 WIB.
[17] Dalam
kata pengantar yang berjudul ‘Orientasi Bagian dari Idiologi’, Gus Dur menjelaskan
ayah Ribka Tiptaning sama dengan ayah Gus Dur, KH. Wahid Hasyim. Mereka berdua
sama-sama pejuang gerakan Islam yang membela kepentingan rakyat banyak meskipun
berbeda partai. Baca juga Rakyat Jadi Anggota PKI Bukan karena
Ideologi, http://www.gusdur.net/News/Detail/?id=140/hl=id/Rakyat_Jadi_Anggota_PKI_Bukan_Karena_Ideologi_Komunis Akses
16 Maret 2014 Jam 08.56 WIB.
[18] ‘Liputan
6, Panti Jompo Eks Tapol Diresmikan,’ http://news.liputan6.com/read/71791/panti-jompo-eks-tapol-diresmikan Akses
16 Maret 2014 Jam 9.05 WIB.
[19] Abdurrahman
Wahid, ‘Keadilan dan Rekonsiliasi,’ Opini Kompas, 14 Februari 2004 https://groups.yahoo.com/neo/groups/genputih/conversations/topics/2539
Sumber: Indoprogress
0 komentar:
Posting Komentar