Rabu, 02 April 2014

Peraturan Walikota Palu bagi Korban Peristiwa 1965: Jalan Terjal Inisiatif Lokal

02/04/2014 | Oleh Nurlaela A.K. Lamasitudju[1]



“Saya sama juga dengan Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu. Pada waktu itu, saya tidak tahu apa-apa. Kondisi negara saat itu, yah, sudah begitu. Tentara juga begitu. Saya juga punya keluarga, banyak yang jadi korban. Sebagai pemerintah Kota Palu, saya minta maaf kepada Bapak, Ibu, Saudaraku semua yang menjadi korban Peristiwa 1965. Saya bisa dikatakan pelaku pada saat itu karena ikut batangkap (menangkap) dan bajaga-jaga (menjaga) rumah tahanan. Ke depan, karena pemerintah kota kami tidak punya data-data, jadi tolong dibantu sama SKP-HAM yang menseriusi mengurus Bapak—Ibu korban ini. Saya tidak bisa sendiri, akan dibantu melalui SKPD. Sampaikan saja apa yang bisa kami lakukan, untuk sedikit meringankan beban Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu.”
Demikian, pernyataan Walikota Palu, Rusdi Mastura, ketika dia menyampaikan permintaan maaf kepada korban Peristiwa 1965 di acara Dialog Terbuka Memperingati Hari Hak Korban Pelanggaran HAM atas Kebenaran dan Keadilan yang digagas oleh Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM)[2] Sulawesi Tengah, 24 Maret 2012. Kini, setelah dua tahun permintaan maaf itu disampaikan, komitmen Pemerintah Kota Palu untuk memberikan pemenuhan hak kepada para korban pelanggaran HAM, mulai terasa geliatnya. Sebuah Peraturan Walikota (Perwali), yang diinisiasi SKP-HAM Sulteng dan dibantu oleh Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), telah hadir sebagai buah dari adanya permintaan maaf itu.
Peraturan Walikota Palu Nomor 25 Tahun 2013 yang berisikan 17 Pasal itu bertajuk “Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Daerah.” Sepintas lalu, seakan tak ada kaitan secara khusus antara tajuk Perwali dengan pemenuhan HAM bagi para korban pelanggaran HAM. Pertanyaan yang sangat mungkin mengemuka: “Bagaimana bisa konteks Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)[3] bisa terimplementasi sebagai pemenuhan hak bagi para korban pelanggaran HAM, khususnya bagi para korban Peristiwa 1965 yang notabene merupakan korban pelanggaran HAM masa lalu?”
Merujuk RANHAM sebagai pijakan dari Perwali itu, memang bukanlah pilihan mudah: melewati diskusi dan perdebatan yang cukup panjang. Bagaimanapun, harus diakui, jika menyimak program RANHAM III periode 2011—2014, dari tujuh program yang diagendakan,[4] tidak ada satu pun program yang secara tegas diagendakan untuk para korban pelanggaran HAM. Program RANHAM, yang turun dari pemerintah pusat di Jakarta, seakan bisa memberi gambaran bahwa para korban pelanggaran HAM belumlah menjadi prioritas. Bahkan, bagi kalangan pegiat HAM di Indonesia, RANHAM kerap dipandang penuh dengan kepesimisan: agar Indonesia seolah-seolah memiliki agenda penegakkan HAM di mata dunia internasional.
Jika demikian halnya, mengapa konteks RANHAM masih dipilih untuk menjadi pijakan Perwali? Bagaimana hal itu bisa dikaitkan dan diimplementasikan untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak korban? Akankah itu bisa berdaya dan berhasil guna untuk memas-tikan terpenuhinya hak-hak dan kepentingan para korban pelanggaran HAM?
* *
Permintaan maaf Rusdi Mastura sebagai Walikota Kota Palu kepada para korban pelanggaran HAM, khususnya kepada para korban Peristiwa 1965, boleh dipandang sebagai upaya untuk turut merasakan nasib warga Kota Palu yang telah menjadi korban. Permintaan maaf itu pun bisa sekaligus dimaknai sebagai pengakuan terhadap Peristiwa 1965 yang telah mengakibatkan orang-orang tidak bersalah, khususnya warga Kota Palu, menjadi korban.
Ketika pemerintah pusat masih gamang untuk menyikapi Peristiwa 1965 yang—mengacu pada hasil temuan Komnas HAM—telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM, permintaan maaf Walikota Palu bisa dipandang sebagai inisiatif lokal yang lahir atas dasar kebutuhan daerah: pemerintah dan masyarakat secara bersama ingin mencari solusi terbaik untuk memutus ketidakadilan dan rantai diskriminasi yang dialami oleh para korban selama puluhan tahun. Namun, bagaimana agar inisiatif tersebut bisa mewujud dalam satu tindakan konkret, ternyata bukan perkara yang mudah pula. Permintaan maaf walikota saja ternyata belum cukup untuk dijadikan modal bagi para korban agar bisa bergerak lebih jauh. Berbagai tantangan justru kembali menghadang di depan.
Sebagai bentuk penyikapan dan tindak lanjut dari permintaan maaf walikota, SKP-HAM terus berupaya membangun dialog dan diskusi, baik dengan unsur pemerintahan, akademisi, maupun dengan masyarakat umum. Sejumlah gagasan untuk meneguhkan permintaan maaf walikota itu sempat dilontarkan. Namun, berkali juga gagasan itu mengalami kebuntuan di tengah jalan.[5] Meskipun tidak sekeras sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah lain, tetap muncul resistensi dan penolakan dari berbagai pihak ketika mereka diajak untuk membahas permasalahan di seputar korban pelanggaran HAM, terutama yang menyangkut korban Peristiwa 1965. Di jajaran aparat pemerintah daerah Kota Palu sendiri, ketika inisiatif untuk menerbitkan Perwali dikemukakan, hanya sedikit dari mereka yang mau mendukung; sebagian besar, memilih untuk “tidak bersuara”.
Hal yang patut disyukuri, dengan sedikit dari mereka yang mendukung inisiatif itulah proses bisa terus berlanjut. Bertolak dari Walikota Rusdi Mastura yang kemudian menggagas Palu sebagai “city for all”, SKP-HAM turut merancang dan menyusun “Deklarasi Palu sebagai Kota Sadar HAM” untuk mempilarinya. Sepuluh butir deklarasi lahir, dan dibacakan secara resmi di hadapan masyarakat pada 20 Mei 2013, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkinan Nasional. Pemenuhan hak bagi para korban pelanggaran HAM termaktub sebagai salah satu butir dalam deklarasi itu.
Deklarasi Palu sebagai Kota Sadar HAM, secara langsung atau tidak, menjadi semacam batu loncatan untuk semakin memperteguh akan adanya kebutuhan agar pemerintah daerah bisa menyusun kebijakan untuk mengatur pemenuhan hak bagi para korban pelanggaran HAM. Inisiatif untuk menerbitkan Perwali pun kembali menguat.
Di tengah dukungan yang minim dari jajaran pemerintahan Kota Palu, diskusi untuk membahas Perwali terus dilakukan. Sedikitnya ada empat rancangan Perwali yang isi dan muatannya secara langsung dan khusus menyasar kepada pemenuhan hak korban pelanggaran HAM (di antaranya, yang menyangkut pemulihan nama baik sebagaimana yang menjadi harapan terbesar dari para korban) yang sempat diusulkan oleh SKP-HAM untuk dikaji dan didiskusikan.
Akan tetapi, rancangan Perwali itu selalu kandas di pengkajian awal. Dasar hukum yang menjadi pijakan rancangan Perwali itu dipandang lemah dan berada di luar jangkauan wewenang pemerintah daerah. Konteks Peristiwa 1965, misalnya, sampai saat ini masih dipandang bermuatan politis dan tetap menjadi masalah yang (begitu) sensitif. Kebijakan yang menyangkut muatan politis adalah kewenangan pemerintah pusat. Meskipun ada Undang-Undang Otonomi Daerah, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk bisa menerbitkan kebijakan yang muatannya bersifat politis. Begitupun halnya dengan kebijakan yang menyangkut pemulihan nama baik. Jikapun kemudian dipaksakan terbit, akan ada kemungkinan, di suatu saat nanti, Perwali itu bisa digugat dan dibatalkan; bahkan, bisa dipandang sebagai suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Persoalan lemahnya pijakan dasar hukum yang menjadi rujukan, seolah menjadi tembok tebal yang membuat inisiatif terbitnya Perwali ini terus kembali mental. Selain dengan KKPK, SKP-HAM pun mengajak berbagai lembaga negara—Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)— dan sejumlah individu[6] yang menaruh perhatian pada permasalahan HAM, untuk terlibat secara intens dalam mencari celah dan kemungkinan, dasar hukum apa yang dipandang relevan untuk menja-di pijakan agar Perwali ini bisa terbit, implementatif, dan tetap tegak tanpa mengundang persoalan di kemudian hari.[7] Secara khusus, KKPK bahkan membuat kajian akademis—yang lazimnya disusun untuk kebijakan setingkat Peraturan Daerah—untuk memperkuat terbitnya Perwali. Konsultasi dan koordinasi dengan Kementrian Hukum dan HAM (lewat Direktorat Jendral HAM dan Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-Undangan) ditempuh pula oleh Pemerintah Kota Palu untuk semakin memperkuat prosesnya.[8]
Alhasil, setelah melewati sejumlah putaran diskusi yang cukup alot, terutama didasarkan atas pertimbangan, “mana yang paling mungkin dan bisa dilakukan tanpa ada keraguan melewati batas kewenangan pemerintah daerah”, RANHAM dipilih sebagai pijakan bagi terbitnya Perwali ini. Dengan cara pandang tertentu, pilihan ini bisa dilihat lebih sebagai upaya “taktis-strategis”: memanfaatkan apa yang sementara ini ada sejauh hal itu bisa ditujukan bagi pemenuhan hak dan kepentingan para korban pelanggaran HAM, meski hanya pada taraf minimal. Di sisi lain, hal ini pun merupakan suatu upaya untuk bisa memberi muatan dan bobot lebih pada program dan agenda RANHAM yang kerap disikapi pesimis oleh sejumlah kalangan.
Sebagai konsekuensinya, Perwali ini pada akhirnya lebih mengatur hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan hak asasi manusia secara umum. Dari 17 pasal yang ada di dalam Perwali, ada tiga pasal yang secara khusus memuat aturan tentang pemenuhan hak bagi para korban (dugaan) pelanggaran HAM. Untuk menghindari reaksi penolakan dari sejumlah pihak yang tidak menginginkan ada pengkhususan bagi korban Peristiwa 1965, sebagai langkah preventif, di dalam Perwali itu pun tidak lagi disebutkan secara tegas, korban pelanggaran HAM yang dimaksud adalah korban Peristiwa 1965.
Tentu saja, Perwali ini bukanlah hasil yang sempurna, yang sanggup mengakomodasi semua hak dan kepentingan para korban pelanggaran HAM yang telah berpuluh tahun diperjuangkan. Dari diskusi yang dilakukan setelah Perwali disahkan, memang masih ada begitu banyak kekurangan.
Akan tetapi, terlepas dari segala kekurangan yang ada, terbersit seberkas harapan, para korban pelanggaran HAM itu, sekurang-kurangnya, kini telah bisa “diakui” keberadaannya: bahwa mereka nyata adanya, patut mendapatkan perhatian, bukan semata-mata karena mereka warga Kota Palu dan warga negara Indonesia yang secara konstitusional memiki hak yang sama sebagaimana warga negara lainnya. Lebih dari itu, mereka memang layak untuk dibela karena selama berpuluh tahun negara telah abai terhadap mereka dan telah merampas hak-hak mereka sebagai manusia.
Pasca-diterbitkannya Perwali, hal yang seterusnya mesti dilakukan adalah memastikan implemetasinya.[9]Selain itu, SKP-HAM akan terus berusaha memperjuangkan pemulihan nama baik sebagaimana yang sampai saat ini tetap menjadi harapan terbesar dari para korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965.
Ya, kerja belum selesai, belum apa-apa. Di depan, jalan terjal bagi perjuangan para korban pelanggaran HAM mungkin masih akan sangat panjang.
* * *

[1] Sekretaris Jendral Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM), Sulawesi Tengah.
[2] SKP-HAM Sulawesi Tengah adalah sebuah organisasi korban yang menjadi wadah berkumpul bagi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM lintas kasus. Sebagai organisasi korban, sebagian besar anggota dan pengurus SKP-HAM adalah para korban pelanggaran HAM.
SKP-HAM dibentuk pada tahun 2004. Di samping melakukan advokasi dan pendidikan HAM, SKP-HAM lebih menitikberatkan perhatian pada kerja-kerja pengorganisasian, penguatan, dan pemberdayaan korban dan keluarga korban. Dalam perjalanannya kemudian, SKP-HAM lebih memberikan prioritas untuk mendampingi para korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965. Pilihan ini diambil karena, untuk konteks Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu, para korban Peristiwa 1965 masih belum mendapatkan pendampingan secara berkelanjutan.
SKP-HAM memulai kerja pendampingan dengan melakukan pendokumentasian: menggali dan merekam berbagai cerita dan kesaksian dari para korban, untuk kemudian menuliskannya kembali. Sementara ini, SKP-HAM telah mengumpulkan lebih dari seribu kesaksian di empat wilayah (dari 11 wilayah) yang ada di Sulawesi Tengah.
[3] RANHAM, yang tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 1998, pada dasarnya merupakan panduan dan rencana umum untuk meningkatkan penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan hak asasi manusia. Sampai saat ini, RANHAM sudah berlangsung tiga periode: RANHAM I 1998—2003, RANHAM II 2004—2009, dan RANHAM III 2011—2014.
[4] Merujuk pada Peraturan Presiden No. 23/2011, tujuh program RANHAM III yang telah diagendakan adalah (1) Pembentukan dan Penguatan Pelaksana HAM; (2) Persiapan Pengesahan Instrumen HAM Internasional; (3) Harmonisasi Rancangan & Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan; (4) Pendidikan HAM; (5) Penerapan Standar & Norma HAM; (6) Pelayanan Komunikasi Masyarakat; (7) Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan.
[5] Gagasan awal yang diajukan SKP-HAM Sulteng untuk meneguhkan permintaan maaf walikota itu adalah diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Walikota yang menyatakan pengakuan terjadinya pelanggaran HAM dalam Peristiwa 1965 di Kota Palu dan pentingnya reparasi bagi para korban pelanggaran HAM. Walikota sendiri pada saat itu sudah hendak menandatanganinya, sebelum ditunda dan dibatalkan oleh karena, ketika SK itu didiskusikan, ada reaksi yang cukup keras dari sejumlah jajaran di pemerintahannya.
[6] Ridha Saleh, mantan komisioner Komnas HAM periode 2007—2012 yang berasal dari Kota Palu, adalah salah seorang di antaranya.
[7] Keterlibatan berbagai lembaga negara, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK, serta koalisi masyarakat sipil seperti KKPK, pada konteks tertentu, merupakan bentuk dukungan untuk Pemerintah Kota Palu atas inisiatif lokalnya tersebut. Dukungan dari berbagai pihak ini tentu saja menjadi penting dan besar artinya bagi Pemerintah Kota Palu, terutama untuk semakin meneguhkan bahwa penerbitan Perwali tersebut berada di jalur yang benar, selain juga bisa semakin mengikis kecemasan akan adanya resistensi dan penolakan dari berbagai pihak yang tidak setuju berkaitan dengan aspek politis dan masih sensitifnya muatan yang diusung oleh Perwali tersebut.
[8] Sampai dengan Perwali disahkan, tidak ada tanggapan resmi yang diberikan oleh Kementrian Hukum dan HAM. Ditjen HAM dan Ditjen Hukum dan Perundang-Undangan dari Kementrian Hukum dan HAM baru hadir dan memberikan tanggapannya di acara Diskusi Nasional Pembahasan Perwali Palu yang difasilitasi Komnas HAM pada 24 Maret 2014.
[9] Sebagai langkah awal dari implementasi Perwali, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu bekerja sama dengan akademisi dari Universitas Tadulako Palu saat ini tengah melakukan verifikasi terhadap warga Kota Palu yang diduga menjadi korban pelanggaran HAM berdasarkan data yang dimiliki SKP-HAM. Hasil tim verifikasi akan ditindaklanjuti oleh kelompok kerja khusus yang akan melakukan pengkajian dan perancangan program pemenuhan HAM bagi para korban untuk satu sampai dua tahun ke depan.
Tulisan lain Nurlaela Lamasitudju: “Keterlibatan SKP-HAM Sulawesi Tengah dalam Menyusun Kebijakan dan Program Pemenuhan HAM untuk Korban Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu”, bisa diunduh di tautan berikut :
Sumber: SKP-HAM 

0 komentar:

Posting Komentar