Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa Universitas Brawijaya
April 10, 2014
Malang.Kavling-10 Kejadian Penumpasan PKI tahun 1965
adalah tragedi pembunuhan terbesar dalam sejarah indonesia, karena pada masa
itu para militer berkoalisi dengan pemerintah berusaha menumpas seluruh
simpatisan PKI. Dua juta korban berjatuhan, banyak korban yang sebenarnya
bukan simpatisan PKI ikut dihilangkan nyawa mereka.
Para militer pun getol menyuarakan berita, berupa produk
produk budaya, yang sebenarnya terlalu dilebih- lebihkan, atas kekejaman PKI.
Wijaya Herlambang, seorang penulis yang berangkat dari
penelitian disertasinya, akhirnya berani menguak fakta kekerasan budaya pasca
1965 lewat diskusi buku ”Kekerasan Budaya Pasca 1965” yang berlangsung di
Gedung Pentas Budaya FIB UB, Sabtu (05/04) lalu.
Wijaya Herlambang ditemani Grace Leksana, seorang
Pembahas dan Peneliti ISSI Jakarta sekaligus Peneliti Center for Culture
and Frontier Studies (CCFS) UB. Acara diskusi ini digagas atas kerjasama
antara Penerbit Marjin Kiri dengan (CCFS) UB.
Dalam diskusi tersebut Herlambang menanyakan mengapa
masyarakat masih membenci komunis. Ia pun memaparkan beberapa fakta yang cukup
mengejutkan. Menurutnya ada dua alasan utama mengapa pada masa Orde Baru
pemberantasan Komunis giat dilakukan.
Pertama, karena adanya kampanye Orde baru. Melalui produk
produk budaya, Orde baru, secara pelan pelan, berusaha memanipulasi alam
pikiran dan psikologis masyarakat. Sebagai contoh, film Pengkhianatan G30S PKI,
yang dari penelitian yang ia dapatkan, sebenarnya ada campur tangan militer
dalam pembuatan film tersebut. Pada masa itu pemerintah bekerja sama dengan
berbagai bioskop untuk menayangkan film tersebut dan semua masyarakat
terus didorong bahkan diwajibkan untuk melihat film tersebut. Secara tidak
langsung mereka dipaksa untuk meyakini betapa kejamnya PKI.
Grace Laksana juga memaparkan bahwa cara mereka mendorong
masyarakat seperti itu agar mereka dapat memberi efek memori kolektif, yang
berusaha mengajak masyarakat untuk membenci komunis atas kebiadabannya. Selain
itu film tersebut juga memberikan rasa ketakutan yang hebat akan komunis padahal
mereka tidak memiliki alasan yang kuat.
”Mereka seperti phobia pada komunis, iya memang phobia, karena phobia adalah ketakutan yang tidak beralasan,” ungkap Grace.
Yang kedua adalah dikarenakan adanya penyusupan paham
Liberalisme dan Neo-Liberalisme di Indonesia dan di dunia oleh Amerika.
Nama-nama seperti Goenawan Muhammad, Mochtar Lubis, juga Arif Budiman, sempat
disebut-sebut sebagai salah satu penganut Liberalisme Barat.
Wijaya Herlambang menjelaskan, Amerika Serikat,
melalui Congress of Culture Freedom (CCF) berusaha menyusupkan ide
liberal kepada kaum intelek, politisi, ekonom dan angkatan darat untuk
bergabung melawan komunisme guna membentuk kebudayaan dan ideologi yang
berbasis liberal.
Definisi kekerasan budaya sendiri, di dalam buku
Kerkerasan Budaya Pasca 1965 adalah ketika orang orang melegitimasi kasus
penumpasan PKI atau bisa dibilang ketika orang orang menganggap bahwa kekerasan
sesungguhnya dapat dibenarkan, dan membenarkan secara moral, ideologis dan
agama bahwa pembunuhan simpatisan Komunis merupakan hal lumrah. Jadi pembenaran
atas produk produk budaya yang dibeberkan militer kepada masyarakat adalah
salah satu contoh kekerasan budaya.
”Mereka menganggap PKI sangat kejam, lalu pembunuhan dua juta simpatisan PKI tidak kejam?,” tutur Herlambang.
Acara yang berlangsung mulai pukul 09.00 tersebut
akhirnya ditutup pada pukul 12.00 setelah melalui sesi tanya jawab yang cukup
panjang. Acara ini dihadiri oleh berbagai macam kalangan, dari mulai mahasiswa,
dosen, dan penulis. (rhm)
Source: Kavling10
0 komentar:
Posting Komentar