5 April 2014 | 19:35
Sebentar Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 akan digelar. Semua partai politik kontestan pemilu sibuk menjual ‘harapan’ dan ‘mimpi’ kepada rakyat calon pemilih.
Berbagai jalan pun ditempuh. Ada yang membangun harapan dengan menjual figur yang dianggap sanggup melakukan perubahan. Ada yang menebar iklan sebanyak-banyaknya di media massa. Dan ada pula yang menjual ‘pahlawan reformasi’.
Namun, di luar semua itu, kampanye partai Golkar-lah yang paling mengundang kontroversi. Partai berlambang pohong beringin itu terang-terangan menjual ‘masa kejayaan Orde Baru’ untuk memikat hati massa-rakyat.
Materi kampanye partai Golkar itu menuai kecaman. Salah satunya dari pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), J. Kristiadi. Menurutnya, imbauan partai Golkar itu tidak sehat dan tidak mendidik. Sebab, era Orde Baru (Orba) penuh dengan kekerasan dan penghilangan kebebasan.
Tak hanya Golkar, PKS juga aktif menjual ‘Soeharto’. Sudah lama PKS memuja-muji ‘jasa’ Soeharto. Pernah, dalam iklan memperingati Hari Pahlawan, PKS mencantumkan Soeharto sebagai pahlawan. Di pemilu ini PKS kembali memunculkan wacana memberi gelar pahlawan kepada Soeharto.
Dengan merujuk pada fenomena di atas, banyak pihak yang mewanti-wanti tentang bahaya kembalinya kekuatan Orba. Untuk itu, dalam konteks pemilu 2014 ini, mereka menyerukan perlawanan sengit terhadap bangkitnya partai dan kekuatan politik yang merepresentasikan warna politik Orba.
Saya kira, kekhawatiran di atas sah-sah saja. Namun, dalam konteks pemilu 2014, seruan akan bahaya Orba ini punya konsekuensi politik. Pertama, seruan ini akan menguntungkan partai-partai berlabel ‘reformis’ dan neoliberal. Padahal, kalau mau jujur, partai-partai ini punya dosa besar dalam membelokkan arah perjuangan reformasi dan menggiring Indonesia dalam kehancuran ekonomi, politik, dan sosial-budaya yang lebih mendalam. Kedua, penekanan ‘bangkitnya Orba’ sebagai ancaman pokok bagi bangsa ini berpotensi mengaburkan problem pokok yang sesungguhnya, yakni problem keterjajahan ekonomi, politik, dan sosial-budaya–sering disebut neokolonialisme.
Karena itu, bagi saya, perlu pendiskusian tentang apa yang dimaksud bahaya Orba ini. Sebab, kalau ukurannya infrastruktur politik, reformasi 1998 memang tidak sepenuhnya menghancurkan infrastruktur politik Orba. Malahan, sejak lengsernya Soeharto hingga sekarang, Golkar—infrastruktur politik utama Orba–tidak pernah terlempar keluar dari kekuasaan. Dalam tiga pemilu pasca reformasi, Golkar juga tidak pernah keluar dari ‘tiga besar’.
Karena itu, dalam konteks pemilu 2014, Golkar tidak mau kehilangan prestasi tersebut. Ingat, Golkar tidak punya mental sebagai partai oposisi. Karenanya, entah siapapun presidennya, partai ini akan selalu bisa bernegosiasi agar bisa tetap bertengger dalam kekuasaan. Namun, supaya mereka punya daya tawar yang kuat, perolehan suara mereka tidak boleh keluar dari ‘tiga besar’.
Nah, dalam konteks pemilu 2014, Golkar punya kesulitan besar: mereka mau jualan apa? Mau menjual Capres mereka, Aburizal Bakrie, tapi elektabilitasnya sangat rendah. Belum lagi, Sang Ketua terlibat kasus lumpur Lapindo dan pengemplangan pajak. Mau jualan prestasi, tetapi partai ini justru punya segudang rekam jejak buruk: korup dan anti-rakyat. Dalam situasi itulah, saya kira, Golkar mencoba memanfaatkan kondisi psikologis sebagian rakyat Indonesia yang masih bernostalgia dengan masa Orba.
Dan, saya kira, pernyataan Ketua DPP Partai Golkar, Ade Komaruddin, membenarkan hal di atas. Menurut dia, maksud Golkar membawa-bawa nostalgia era Orba dalam kampanye merupakan cara menangkap aspirasi masyarakat. “Kami bisa lihat itu lewat poster-poster dan gambar di belakang truk, yang menampilkan kata-kata “Piye kabare?” dan gambar Pak Harto. Kami hanya menangkap keinginan yang berkembang itu,” ujarnya.
Nah, yang patut didiskusikan sebetulnya adalah soal nostalgia suasana Orba itu. Disadari atau tidak, ada ketidakpuasan sebagian besar massa rakyat, terutama di kalangan bawah, terhadap keadaan sosial-ekonomi akhir-akhir ini [pasca-reformasi]. Memang, ketika bunga reformasi merekah, ada ekspektasi dari massa rakyat bahwa kehidupan mereka akan lebih baik, praktek KKN akan ditumpas habis, dan suara rakyat akan lebih didengarkan.
Pada kenyataannya, sudah 15 tahun reformasi berlalu, ekspekstasi rakyat itu justru bertemu kenyataan pahit: pertama, kehidupan ekonomi rakyat makin memburuk akibat kebijakan neoliberal [penghapusan subsidi, privatisasi BUMN dan layanan publik, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, dan lain-lain]; kedua, praktek korupsi masih merajalela dan merembes ke segala lini kehidupan; ketiga, kepemimpinan nasional sangat lemah dan lamban dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa; dan keempat, sebagian besar aset/sumber daya nasional, termasuk kekayaan alam, dikuasai oleh korporasi asing.
Nah, situasi ketidakpuasan itulah yang dimanfaatkan oleh kekuatan Orba untuk membangkitkan nostalgia ‘kejayaan Orba’. Jadi, bagi saya, tagline “Piye kabare, enak jamanku to!”, disertai gambar Soeharto menebar senyum, yang tersebar luas melalui poster, stiker, kaos, mural, hingga deretan kata-kata di belakang truk, bukanlah spontan dari massa, melainkan aksi terorganisir dari kekuatan politik Orba untuk memanfaatkan ketidakpuasan massa.
Di sinilah persoalannya. Saya kira, salah satu kelemahan propaganda kaum pergerakan selama ini adalah absennya penjelasan soal keterkaitan antara rezim Orba dan proyek neo-kolonialisme di Indonesia. Selama ini, propaganda tentang bahaya Orba hanya menekankan–mungkin karena pengaruh wacana kaum liberal–soal bahwa rezim Orba itu sangat ‘otoriter, korup, mengekang kebebasan, pelanggar HAM, kapitalisme kroni, sentralisme kekuasaan, dan lain-lain’.
Penjelasan ini punya kelemahan.
Pertama, penjelasan ini seolah-olah menciptakan distingsi antara “elit Orba” dan “elit pasca-Orba/reformis”. Alhasil, ketika orang dipaksa memilih yang terbaik dari yang terburuk, maka pilihannya adalah ‘elit reformis’.
Padahal, bagi saya, baik elit Orba maupun elit reformis punya karakter yang sama: ketundukan kepada asing dan mau dikte dari kekuatan asing [dengan pengecualian pemerintahan Gus Dur. Di era Gus Dur, ada upaya untuk keluar dari tekanan IMF]. Kedua, penjelasan ini gagal menjelaskan kontinuitas proyek neokolonialisme yang berpangkal di era Orba dan berlanjut hingga sekarang.
Saya berpendapat, bahwa persoalan pokok bangsa ini sejak rezim Orba hingga sekarang adalah neo-kolonialisme. Naiknya rezim Orba, yang mendapat sokongan penuh dari imperialisme AS dan sekutunya, adalah tonggak awal proyek rekolonialisme (penjajahan kembali) di Indonesia.
Berbagai studi dan riset, termasuk dokumen rahasia pemerintah AS sendiri [telegram rahasia Kedubes AS, memo sejumlah pejabat AS, kabel infomasi CIA, airgram Kedubes AS, dan lain-lain], sudah menunjukkan keterlibatan AS dalam proyek penggulingan pemerintahan Soekarno di tahun 1965-1967. Dalam proses itu, AS juga terlibat dalam pembantaian massal jutaan orang yang dituduh anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pendukung Soekarno. [Baca di sini]
Begitu kudeta itu berhasil, imperialis AS juga membantu rezim Soeharto mengkonsolidasikan kekuasaannya. Tak hanya itu, guna membantu rezim militer ini mempercepat reformasi ekonomi Indonesia agar sesuai dengan tuntutan investor asing, Bank Dunia dan IMF ikut turun tangan dengan memberi bantuan dana, tenaga ahli, dan lain-lain.
Sebagai imbalannya, juga sekaligus membuktikan loyalitasnya kepada barat dan investor asing, rezim Orba dan para teknokratnya menyusun UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang baru. Ironisnya, UU itu disusun berdasarkan masukan dari pejabat AS dan para investor. UU ini, yang disahkan Januari 1967, sangat membuka perekonomian Indonesia untuk dikuasai modal asing.
Tak lama kemudian, tepatnya April 1967, Soeharto yang masih menjabat “Pejabat Sementara Presiden” menandatangani kontrak-karya dengan PT. Freeport Sulphur untuk menguasai gunung tembaga bernama Ertsberg di Papua. Padahal, Papua saat itu belum resmi menjadi bagian atau wilayah Republik Indonesia [Catat: Pepera baru dilakukan tahun 1969, yang disertai dengan banyak manipulasi dan kecurangan].
Dalam konteks itu, Prof Jun Honna, seorang peneliti dari Ritsumeikan University, Jepang, yang banyak meneliti soal militer Indonesia, pernah menyimpulkan bahwa kekuasaan militer Indonesia dilandaskan pada dua alasan utama: pertama, adanya kebutuhan akan untuk mengamankan ekspansi besar-besaran modal asing dari Barat. Dengan demikian, stabilitas politik menjadi penting dalam menarik investasi asing. Kedua, kekuatiran geopolitis bahwa infiltrasi komunis pada masa Perang Dingin dapat meningkatkan subversi dalam negeri. Karena itu, para pejabat militer mendesak adanya peran besar angkatan bersenjata dalam mempertahankan integritas nasional.
Nah, dalam kepentingan menciptakan stabilitas bagi investasi asing dan sekaligus memerangi ancaman komunisme itu, rezim orde baru menggunakan pendekatan militeristik, memberangus kebebasan berpendapat, membungkam media massa, dan mengontrol segala aspek kehidupan rakyatnya.
Di sini pula kita meletakkan persoalan pelanggaran HAM. Bahwa pelanggaran HAM sangat terkait dengan proyek neokolonialisme dan kapitalisme di Indonesia. Ingat, pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, yakni pembantaian massal kaum kiri dan pendukung Soekarno di tahun 1965, terkait langsung dengan proyek negeri-negeri imperialis untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘pejalan kapitalisme/imperialisme’.
Di tahun 1990-an, situasi global sudah berubah. Secara politik, Blok komunis–terutama Uni Soviet dan Eropa Timur–sudah runtuh. Dengan demikian, tugas rezim Soeharto sebagai mitra AS dalam memerangi komunis dalam konteks perang dingin sudah berakhir. Secara ekonomi, muncul apa yang disebut “neoliberalisme”, yang menghendaki deregulasi, penghapusan hambatan-hambatan investasi dan perdagangan, menciptakan pasar buruh yang fleksibel, pasar bebas, dan lain-lain di seluruh belahan dunia.
Dan, salah satu watak kekuasaan modal, sebagaimana disampaikan Pramoedya Ananta Toer dalam ‘Maaf Atas Nama Pengalaman (1991)’: “Pemerintah dari sekian banyak negara dibuatnya hanya jadi pelaksana kemauannya, dan bila sudah tak dihekendakinya, dijatuhkannya.” Dan saya kira, dengan perubahan situasi global sebagaimana di jelaskan di atas, kekuatan modal internasional sudah tidak menghendaki Soeharto lagi. Karena itu, ketika gerakan mahasiswa dan rakyat berjuang menumbangkannnya di tahun 1997/1998, modal internasional tidak mempertahankannya.
Namun, apa yang terjadi? Kendati Soeharto sudah terguling, lalu lahir rezim-rezim baru pasca reformasi, tetapi kepentingan modal internasional tetap berlanjut. Bahkan, di bawah rezim pasca reformasi, penetrasi modal asing berlangsung lebih intensif dan massif.
Saya kira, kalau kita bicara “transisi politik” pasca Orba, itu hanya terjadi di era Habibie dan Gus Dur. Namun, begitu rezim Megawati berkuasa, proses transisi sudah selesai dan fondasi politik menuju liberalisasi ekonomi yang lebih massif sudah terbangun. Pada tahun 2002, proses amandemen terhadap UUD 1945 sudah selesai.
Kemudian, di era Megawati, hampir semua agenda liberalisasi menemukan pijakan politiknya: Privatisasi air melalui UU nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air; Privatisasi BUMN melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; Privatisasi layanan kesehatan melalui UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN; Privatisasi pendidikan melalui UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan kemudian diperkuat oleh UU BHP (yang dicabut MK); Liberalisasi sektor migas melalui UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas; Liberalisasi pasar tenaga kerja melalui UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang melahirkan sistim kerja kontrak dan outsourcing.
Di bawah rezim SBY, agenda liberalisasi ekonomi makin diperluas dan diperdalam. Ini bisa kita lihat dengan lahirnya sejumlah UU yang makin memperkuat agenda liberalisasi, seperti UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal asing (PMA), UU nomor 4 tahun 2009 tentang minerba, UU nomor 30 tahun 2009 tentang kelistrikan, UU nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan, dan lain-lain.
Nah, situasi itulah yang memicu persoalan besar bagi rakyat banyak. Liberalisasi investasi, misalnya, telah memicu ekspansi kapital asing untuk menguasai kekayaan milik rakyat/bangsa, seperti tanah, sumber daya alam, hutan, air, dan lain-lain. Akibatnya, rakyat kehilangan kesempatan mengakses sumber daya tersebut. Perampasan SDA inilah, yang disertai dengan perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat lokal, memicu konflik agraria di mana-mana.
Di sektor perburuhan, liberalisasi pasar tenaga kerja, yang ditandai dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing, juga sudah lama menjadi persoalan pokok kaum buruh. Liberalisasi inilah menyebabkan kaum buruh tidak punya jaminan atas pekerjaan, upah yang layak, dan kondisi kerja yang manusiawi.
Liberalisasi ekonomi ini juga yang menyebabkan sektor pertanian kita, yang menjadi tempat bergantung 26,13 juta rumah tangga di Indonesia (BPS, 2013), tergilas oleh kebijakan liberalisasi impor pangan dan penghapusan subsidi pertanian.
Sementara privatisasi layanan publik, seperti air, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, menyebabkan mayoritas rakyat Indonesia kesulitan mengakses kehidupan dasarnya.
Kemudian, sama seperti Orde Baru, ekspansi modal asing membutuhkan dukungan aparat keamanan/militer. Di sini ada korelasi langsung antara penempatan militer dan ekspansi kapital asing ke berbagai pelosok negeri ini. Bentuknya bisa beragam: pertama, penempatan militer secara fisik di areal konflik sumber daya; kedua, peningkatan konflik bersenjata di areal konflik sebagai dalih untuk memanggil militer mengamankan aset-vital asing; dan ketiga, maraknya penggunaan para-militer dan milisi sipil untuk mengamankan modal. Jadi, memahami ancaman militerisme terpisah dengan kepentingan modal adalah absurd.
Saya kira, inilah persoalan pokok bangsa ini: neokolonialisme. Sekarang dengan jubahnya: neoliberalisme. Kontradiksi pokok bangsa ini sekarang adalah dengan neokolonialisme/neoliberalisme. Kendati namanya agak berbeda, tetapi esensinya tetap sama. Meminjam istilah Bung Karno, “Cara pengeduk yang berubah, namun tujuan dan dampaknya bagi kehidupan rakyat tetap sama.”
Karena itu, dalam konteks pemilu 2014, perjuangan politik kita adalah mengakhiri neokolonialisme itu.
Di sinilah kita mendefenisikan siapa kawan dan musuh kita, maupun sektor-sektor yang dapat dinetralisir dalam tahap perjuangan anti-neokolonialisme ini.
Rudi Hartono, pengurus Komite Pimpinan Pusat – Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)
http://www.berdikarionline.com/orde-baru-sebagai-proyek-neokolonialisme/
0 komentar:
Posting Komentar