Minggu 06 April 2014 13:53 WIB
“Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu”, demikian yang sempat Soe Hok Gie, seorang aktivis era Orde Lama-Orde Baru menuliskan dalam salah satu catatan hariannya.
Apa yang diinginkan manusia di dunia ini, selain kejujuran dan keadilan dalam hidupnya. Sejarah Indonesia yang seharusnya menjadi penuntun dalam menelusuri jejak perjuangan bangsanya sendiri dalam membangun Indonesia, justru diselewengkan jauh dari sejarah yang sebenarnya. Gejolak politik masa Orde Baru benar-benar dengan lihai dan disiplin mendoktrinkan sejarah sesuai dengan kepentingan pemerintahan era Soeharto.
Dalam catatan pemerintahan Orde Baru, takkan pernah ada yang namanya “ Penulisan Ulang Sejarah “. Rekayasa sejarah Indonesia pada masa Orde Baru tak layaknya rekayasa politik demi kepentingan rezim Soeharto saat itu. Dan narasumber sejarahnya pun adalah para jendral-jendral. Yang otomatis seluruhnya di bawah pengaruh rezim militer. Sejarah menjadi layaknya sebuah cerita tentang operasi tentara.
Mungkin sepele, namun beberapa potongan-potongan kecil kebenaran sejarah cukup dapat mengubah pandangan historis masyarakat terhadap sejarah Indonesia. Salah satu potongan sejarah itu adalah pemberontakan PKI pada 30 September 1965, tepat pada masa pemerintahan presiden pertama Indonesia, Ir.Soekarno. Salah satu sejarah kelam yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
Dalam buku-buku pengantar pendidikan sejarah di sekolah-sekolah saat ini, banyak lebih menekankan pada pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh D.N.Aidit dkk. Siswa-siswa lebih banyak dikenalkan bagaimana PKI membangun ideologi komunisme yang tinggi dalam diri rakyat Indonesia saat itu guna menghancurkan ideologi Pancasila. Peristiwa penculikan jendral-jendral dan pembantaian yang dilakukan oleh para pasukan Cakrabirawa dan Gerwani di Lubang Buaya, justru menjadi suatu scene yang menanamkan pola pikir para siswa bahwa PKI bersama dengan organisasi-organisasi bawahannya adalah jahat dan salah. Dan mereka pantas dihukum seberat-beratnya.
Semua itulah yang selama ini kita ketahui dan pelajari dari buku-buku pendidikan sejarah di bangku sekolah. Bahkan materi mengenai pemberontakan PKI ini hanya memakan 2 halaman kertas penuh dari sekian banyak poin mengenai pemberontakan yang pernah terjadi pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Dan semuanya berisi keburukan tentang PKI, termasuk anggota-anggota dari organisasi-organisasi bawahannya. Namun bagaimana nasib mereka setelah itu ? Apa yang terjadi dengan setelah itu semua ?
Mengapa mereka tidak mengungkap bagaimana nasib para wanita eks-Gerwani yang hidup dalam pengasingan di Kamp Plantungan yang mengalami nasib sungguh menyedihkan atas perlakuan para anggota militer yang bertanggung jawab atas mereka. Perlakuan-perlakuan asusila yang seharusnya tidak mereka dapatkan dari aparat hukum serta militer Indonesia sungguh membuka mata kita bahwa militer Indonesia menjadi sama saja buruknya dengan PKI.
Bahkan diantara mereka mengalami trauma atas perlakuan itu.
Dan embel-embel PKI dalam tanda pengenal mereka semakin mempersulit gerak mereka kala itu dalam masyarakat. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui lebih tentang PKI. Tujuan mulia mereka adalah hanya ingin membantu mereka yang miskin dan berkekurangan.
Sejak dulu, sudah tidak ada kejujuran dan keadilan terhadap para mantan anggota organisasi PKI yang sebenarnya tidak bersalah . Haruskan sekarang itu harus kembali terulang, terlebih lagi pada sejarah bangsa kita sendiri ? Itulah mengapa perlu adanya demiliterisasi terhadapan sejarah Indonesia dalam dunia pendidikan supaya tidak ada lagi kekeliruan dalam kebenaran sejarah Indonesia.
http://indonesiana.tempo.co/read/11421/2014/04/06/Keadilan-untuk-Sejarah-Kelam-Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar