Tuesday, April 8th, 2014
1
Siapa lawan,siapa
kawan?
diambil dari kesaksian Hersri Setiawan, seorang ex-tapol
P. Buru, saat berdiskusi peluncuran buku berjudul “Bung Karno Menggugat! Dari
Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65, hingga G30S”, karya DR. Baskara T.
Wardaya SJ, direktur PUSdEP. Peluncuran dilangsungkan di Realino Yogyakarta
dengan dua pembahas, DR Asvi Warman Adam, peneliti senior LIPI Jakarta dan
Hersri sendiri.
Pagi 1 Oktober ’65 jam 07:00 saya mendengar siaran RRI
Jakarta tentang pembentukan Dewan Revolusi (DR) di Jakarta. Sementara kawan
barangkali ada yang menganggapnya sebagai “gerakan kiri.” Sore itu saya ke RRI
di Jalan Merdeka Barat. Saya melihat tentara-tentara yang berjaga-jaga di
gedung RRI di Istana, dan di kantor telegrap di Merdeka Selatan. Mereka itu
tentara DR, dengan tanda pengenal pita hijau-kuning di pangkal lengan.
Semuanya kelihatan loyo. Markas Kostrad tidak di jaga!
Tapi dalam sidang kabinet pertama sesudah “peristiwa”, mungkin tanggal 6
Oktober, Presiden Sukarno dengan suara marah menyebutnya sebagai “putsch”!
Revolusi, masih kata BK, bukan dengan menculik dan membunuh!
Saya lalu teringat kejadian-kejadian di Asia Timur dan
Asia Selatan sepanjang paroh pertama 1965. Yaitu kejadian-kejadian penindasan
terhadap gerakan pemuda dan mahasiswa kiri di Jepang dan Korea Selatan, dan
ditumbangkannya “secara konstitusional” kekuasaan PM Ny. Sirimavo Bandaranaike.
Kekalahan Sirimavo ini diramaikan dengan pemberitaan
bernada insinuasi media massa Ceylon tentang dukungan sembilan negara
Asia-Afrika dan “Blok Timur” dalam kampanye pemilu Sirimavo – di mana Indonesia
disebut.
Saya lalu bertanya-tanya dalam hati: Apakah G30S 1965 di
Jakarta bukan bagian dari “grand strategy” A.S. ketika itu? Jadi, apakah ini
bukan provokasi kaum kanan terhadap PKI, melalui perwira-perwira menengah
binaan “BC”? Provokasi untuk kesekian kalinya, dan kali ini berhasil?
Pada 2 Oktober editorial “HR” menyatakan dukungannya
kepada “DR”, yang diikuti oleh Omar Dhani atasnama MBAU. Pada 5 Oktober Njono,
orang-pertama (CDR; Comite Djakarta Raja) Komite PKI Jakarta Raya, ditangkap.
Pada tanggal 12 Oktober Jendral Soeharto merebut kekuasaan militer.
Di bulan Januari tahun 1966 beberapa pakar Indonesia di
Cornell Univesity, A.S., mempublikasikan untuk pembaca terbatas ‘Laporan
Sementara’ tentang peristiwa September-Oktober 1965 di Indonesia. Mereka sangat
menyangsikan pemberitaan bahwa peristiwa itu kup komunis, seperti dikatakan
penguasa di Indonesia dan dunia Barat.
Dengan menggunakan “Laporan Cornell” sebagai bahan, WF
Wertheim menulis karangan di mingguan Belanda “De Groene Amsterdammer” 19
Februari 1966, dengan judul “Indonesia beralih ke kanan” Dalam karangannya ini
ia mempertanyakan: Mengapa perhatian dunia Barat terhadap pembunuhan massal di
Indonesia sangat kecil, jika dibanding dengan tragedi-tragedi lain di dunia,
yang terkadang jauh lebih ringan? Barangkali alasannya karena, masih menurut WF
Wertheim, pandangan umum melihat bahwa peristiwa itu terjadi oleh kesalahanan
golongan kiri sendiri.yang bersalah. Tapi dari kenyataan itu timbul pertanyaan
lain: Apakah “diamnya” dunia Barat bukan karena mereka sendiri yang
mengorganisir gerakan 30 September, dan yang “meng-otak-i” pembunuhan terhadap
enam jendral itu?.
Selain itu jika melihat gerakannya yang dengan penculikan
dan pembunuhan, ini bukan ciri gerakan revolusioner. Ini gerakan sekelompok
militer yang melakukan “putsch”, seperti dikatakan BK. Selain itu juga ganjil
jika dihubungkan dengan PKI, oleh karena partai ini tidak menunjukkan kesiapan
dan persiapan untuk berjuang melalui laras senjata. Beriringan dengan
meningkatnya suasana (pinjam istilah BK) “gontok-gontokan”, berulangkali DN.
Aidit menegaskan pendirian partainya:
“Kalau tergantung kami, kami lebih suka menempuh jalan damai”.
Begitu juga kita bisa mengacu pada teori “dua aspek”,
yaitu aspek pro-Rakyat dan aspek anti-Rakyat di dalam tahap revolusi nasional
demokratis, yang sejak sekitar 1963 didengung-dengungkan oleh PKI. Lebih-lebih
jika kita perhatikan kata-kata Njoto tahun 1964 dalam menjawab pertanyaan W.F.
Wertheim, yang cenderung “over estimate” pada kekuatan sendiri, tapi sekaligus
“under estimate” terhadap kekuatan militer (AD) dan kaum reaksioner di dalam
negeri.
Lalu, siapakah tokoh Syam Kamaruzzaman, Ketua BC CCPKI,
yang di dalam proses Letkol Untung Samsuri disebut-sebut sebagai tokoh
terkemuka komunis itu? Mengapa ia tidak segera ditangkap, dan sesudah ditangkap
tidak segera diadili dan/atau langsung didor seperti yang berlaku terhadap
“tokoh terkemuka” komunis lainnya? Belakangan Ben Anderson pernah menyebut,
dalam salah satu tulisannya, bahwa Syam sudah sejak awal 1950-an bekerja untuk
KMKB Jakarta Raya di masa komandan Kol. Dachyar.
Radio Belanda ketika memberitakan tertangkapnya Syam,
menurut WF Wertheim, juga dengan embel-embel keterangan bahwa ia seorang
“double agent”. Harian “Sinar Harapan” 13 Maret 1967, melalui judul pemberitaannya, juga mempertanyakan: “Apakah Sjam double agent?” Tetapi sesudah itu media massa Indonesia tidak pernah lagi menyebut-nyebutnya sebagai “double agent”. Dalam setiap proses ketika Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, ia selalu dilukiskan sebagai komunis sejati, yang sangat dekat dengan ketua CC-PKI DN Aidit.
“double agent”. Harian “Sinar Harapan” 13 Maret 1967, melalui judul pemberitaannya, juga mempertanyakan: “Apakah Sjam double agent?” Tetapi sesudah itu media massa Indonesia tidak pernah lagi menyebut-nyebutnya sebagai “double agent”. Dalam setiap proses ketika Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, ia selalu dilukiskan sebagai komunis sejati, yang sangat dekat dengan ketua CC-PKI DN Aidit.
2
Banyak cerita mengatakan Suharto anggota “Pemuda Pathuk”
— walaupun cerita ini dibantah keras Ibu Dayino (isteri Pak Dayino salah
seorang pendirinya), dalam majalah “Tempo” (maaf, lupa edisi kapan), dalam mana
Syam salah seorang anggotanya. Itu berarti kedua mereka sudah saling kenal
sejak tahun 1946.
Bahwasanya Syam ternyata agen tentara yang disusupkan
kedalam PKI, saya lalu bertanya-tanya: Mungkinkah Suharto sendiri terlibat
dalam permainan munafik ini?
Apapun jawabannya, tetapi jelas Soeharto itulah orang
yang paling pandai dan berhasil memanfaatkan segala kejadian yang timbul
sesudah kejadian 1 Oktober dini hari itu. WF Wertheim mengatakan, “kalau semua
itu terjadi dalam cerita detektif, segala petunjuk menuju kepada dia. Paling
sedikit Soeharto sebagai orang yang telah mendapat informasi sebelumnya.
Setahun sebelum peristiwa 1965, Soeharto hadir pada
pernikahan Letkol Untung di Kebumen.
”Dalam bulan Agustus 1965 Soeharto bertemu Jenderal Supardjo
di Kalimantan. Soeharto tidak ditangkap oleh gerakan Untung. Markas Kostrad
tidak diduduki dan tidak dijaga pasukan “DR”. Sekitar jam 4 sore ransum nasi
bungkus dibagi-bagi Kostrad untuk tentara-tentara “DR” yang kelaparan di
sekeliling Monas. Jam enam sore mereka mulai mengalir menyerahkan diri ke
Kostrad. Pendeknya, Soeharto bertindak “sangat efisien” dalam “menumpas
pemberontakan” – seakan-akan “Kartu-As” sudah di genggaman tangannya! Sementara
itu kelompok Untung dkk sangat tidak beruntung. Mereka semua menjadi bingung.
Termasuk DN Aidit yang lalu lari (lebih tepat “dilarikan Sjam”) ke Halim. Ia
masuk perangkap, dari provokasi ke provokasi!
Tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S.
reaksioner, yang berjudul “The Communist Collapse in Indonesia”. Di halaman 100
Brackman menceritakan wawancaranya dengan Soeharto, sekitar pertemuannya dengan
Kolonel Latief, tokoh ketiga dalam pimpinan G30S. Isi pokoknya Latief menjenguk
anak Soeharto di RSPAD yang sakit ketumpahan sup panas.
Berkata Soeharto: “Lucu juga kalau diingat kembali. Saya
ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan
anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya.” Lalu: “Saya tetap di rumah sakit
sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah”.
Kol. Latief, tokoh terpenting G30S di samping Letkol
Untung dan Brigjen Supardjo, bertemu dengan seseorang hanya empat jam sebelum
gerakan dimulai, tentu bukan untuk urusan sup panas! Saya setuju dengan Prof.
Wertheim, andaikata dalam kisah detektif, peristiwa pertemuan dua orang itu
benar-benar sebuah the missing link, sebuah mata-rantai yang hilang, yang
alhamdulillah kita temukan melalui pengakuannya sendiri! Tapi, juga menarik
dipertanyakan, mengapa Soeharto menceritakan hal itu pada Brackman? Agaknya ada
orang lain yang mengetahui kunjungan Latief di rumah sakit, sehingga Soeharto
merasa perlu memberi alasan dan menyatakannya kepada publik.
Sementara itu dalam wawancaranya yang lain, yang
disiarkan mingguan Jerman Barat “Der Spiegel” 27 Juni 1970, Soeharto juga
menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief di RSPAD. Tentu saja pertemuan yang
sama seperti yang diceritakan pada Brackman. Tapi kali ini ia bercerita dengan
kebohongan yang jauh berbeda. “Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar
jenderal-jenderal yang harus dibunuh?” Tanya wartawan “der Spiegel”. Jawab
Soeharto: “Pada jam 11 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang
ke rumah sakit untuk membunuh saya.
Tetapi akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya, karena
tidak berani melakukannya di tempat umum.” Bukan Kolonel Latief, tapi Jenderal
Soeharto, yang pamer kebodohan di sini. Empat jam sebelum gerakan dimulai ia
membunuh Soeharto? Ini pasti akan berakibat seluruh rencana gerakan gagal
sebelum dimulai! Dua masalah timbul pada saya: pertama, kebohongan itu sendiri;
dan kedua, apa alasan pembohongan itu? Apa yang hendak disembunyikannya oleh
“the smiling general” ini?
3
The Smiling
General
Namun senyum jenderal yang satu ini agaknya selain
ekspresi bakat juga merupakan kiat pembohongnya. Karena dalam otobiografinya
ternyata Soeharto lagi-lagi membohong. Di sana diceritakannya, ia tidak bertemu
Latief di RS. Ia hanya melihat dari ruangan tempat anaknya dirawat, dan di situ
ia berjaga bersama isterinya. Latief jalan di koridor melalui kamar itu!
Kolonel yang empat jam lagi punya gawe besar jalan-jalan di RS!? Siapa percaya?
Penuturannya yang berikut ini juga aneh sekali, seandainya ia tidak bohong.
Menurut pengakuannya sendiri, ketika pada jam 12 tengah malam ia keluar dari
rumah sakit, bukan bergegas memperingatkan jenderal-jenderal rekannya yang akan
ditimpa nasib malang, melainkan terus pulang ke rumah untuk tidur!
Dari data-data di atas, kiranya agak pasti bahwa Soeharto
kalau bukan dalang, dialah “the missing link” antara sang dalang dan si pelaku
utama. Artinya Soeharto paling tidak terlibat berat dalam “Peristiwa ’65”.
Menurut pasal 4 Kpts Kepala Kopkamtib 18 Oktober 1968, tentang klasifikasi
tapol, orang ini bisa termasuk Golongan A, yaitu semua orang yang terlibat
secara langsung.
Siapakah orang yang bisa disebut terlibat secara langsung? Menurut Pasal 4 tersebut di antaranya, adalah semua orang yang mempunyai pengetahuan lebih dulu tentang rencana kup, yang kemudian melaporkannya kepada yang berwajib. Jadi, pada malam hari itu Soeharto seharusnya melapor paling sedikit kepada Jenderal Yani dan Jenderal Nasution. Soeharto sejatinya jelas lebih terlibat ketimbang kami yang Golongan B, atau saya yang Golongan B1/PKI Malam, yang karena terlibat ‘tidak langsung’ harus diisolasi 13-14 di penjara atau di pulau pengasingan Buru. Lebih lama dari hukum buang 13 tahun, yang harus dijalani keluarga Pandawa dalam lakon “Pandhawa Dhadhu”.
Karena kalah bermain dadu, akibat dicurangi Dursasana
yang dengan sembunyi-sembunyi memutar papan dadu 360 derajat, Puntadewa yang
jago main dadu di seluruh penjuru jagad pewayangan itu, harus kalah dari
Suyudana si sulung keluarga Kurawa. Akibatnya keluarga Pandawa, termasuk Ibu
Kunthi, harus menjalani hukuman pembuangan oleh keluarga Kurawa. Selama 13
tahun dengan harus menghilangkan identitas mereka.
Di tengah hutan pembuangan tiba-tiba datang seekor
Garangan Putih yang memandu mereka, melalui lorong di bawah tanah, dan muncul
di kawasan kerajaan Wiratha. Mereka masing-masing lalu berganti nama dan
profesi. Puntadewa bernama Dharmaputra, menjadi guru judi Sri Baginda Wiratha.
Bima bernama Jagal Abilawa, menjadi tukang potong hewan. Arjuna bernama
Kandihawa, menjadi guru tari. Si kembar Nakula-Sahadewa sebagai Pinten-Tangsen
menjadi pustakawan kerajaan Wiratha. Lakon “Pandhawa Dhadhu” sebuah lakon
politik dunia pewayangan yang memang pas untuk pasemon lakon untung-untungan
Obrus Untung pada awal Oktober 1965.
Dengan demikian Soeharto dan Syam Kamaruzzaman merupakan
orang-orang yang mempunyai pengetahuan lebih dulu tentang peristiwa itu. Kedua
mereka itu dua provokator bersama terhadap Untung dkk dalam peristiwa tersebut,
atau yang satu (Soeharto) memprovokasi yang lain (Syam), dan pada gilirannya
memprovokasi “anak-anak” yang di bawah binaannya.
Barangkali masih ada orang lain yang, walaupun sedikit,
juga mempunyai pengetahuan lebih dulu. Orang itu ialah Soekarno. Tetapi bisa
dipastikan bahwa ia tidak mengingini pembunuhan terhadap para jenderal yang
dituduh membentuk Dewan Jenderal (selanjutnya “DD”, sesuai dengan ejaan saat
itu) Soekarno orang yang paling takut pertikaian (jangan gontok-gontokan,
pesannya berulang-ulang) apalagi pertumpahan darah (silakan jor-joran, tapi jangan
dor-doran; ia selalu memperingatkan). Maksud Soekarno barangkali hanya sejauh
untuk meminta pertanggung-jawaban mereka. Maka sesudah mendengar ada beberapa
jenderal yang mati di/terbunuh, ia segera memberi perintah supaya seluruh
gerakan berhenti.
Mungkin Untung,
Latief dan Supardjo pun tidak menghendaki pembunuhan, melainkan hanya hendak
menghadapkan mereka kepada Presiden untuk diminta pertanggungjawaban mereka –
seperti demikianlah yang banyak terungkap di persidangan.
Pada malam 30 September Soekarno dan Aidit agaknya memang
yakin tentang adanya “DD”, dan bahwa “DD” berencana merebut kekuasaan pada
tanggal 5 Oktober 1965 (Perhatikan Laporan Dubes AS Marshall Green 1 Oktober
1965 pts 2 dan 4). Begitu juga Untung dkk yakin “DD” memang ada. Dalam prosesnya
tahun 1967 juga Sudisman yakin tentang adanya DD dan rencana mereka. Begitu
juga pendapat PKI, seperti nampak dalam dokumen “KOK”mereka. Tetapi kalau
“Peristiwa ’65” memang suatu provokasi, apakah mungkin “DD” menjadi dalangnya?
Agaknya tidak!
Keterangan bekas Mayor Rudhito dalam proses Untung
barangkali bisa membantu mengurai teka-teki ini. Ia memberi keterangan tentang
pita perekam mengenai “DD” yang didengarnya dan catatan tentang isinya, yang ia
terima pada 26 September 1965 di depan gedung Front Nasional. Ia menerima
barang bukti itu dari Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution, keduanya dari NU,
dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, keduanya dari IPKI.
Mereka mengajak Rudhito membantu pelaksanaan rencana DD.
Dari pita itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan
pada 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat, ia
mendengar suara Mayjen S. Parman yang mengatakan, juga dari catatan yang
Rudhito baca, sebuah daftar tokoh-tokoh yang akan diangkat sebagai menteri: AH
Nasution calon perdana menteri; Suprapto menteri dalam negeri, Yani menteri
hankam, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan S. Parman
sendiri jaksa agung. Nama lain yang disebut, di antaranya Jenderal Sukendro.
Perlu diperhatikan, bahwa nama Soeharto tidak disebut-sebut!
0 komentar:
Posting Komentar