Wanda Indana •
Selasa, 22 Apr 2014 15:12 WIB
Salah satu adegan di film
Jiseul/filmguide.sundance.org
Metrotvnews.com, Jeju: Pulau Jeju adalah salah satu
destinasi wisata primadona di Korea Selatan. Alamnya yang indah, menjadi daya
tarik sendiri pulau seluas sekitar 1.845 kilometer persegi itu.Tak salah bila
pulau di sebelah selatan semenanjung Korea itu juga jadi tujuan berlibur 325
siswa SMA Danwon.
Sayang, 325 siswa SMA Danwon yang berangkat pada Selasa 15 April 2014 menuju pulau itu tak kesampaian menikmati segala pesona Pulau Jeju. Kapal feri yang mereka tumpangi tenggelam. Ratusan nyawa melayang dalam kecelakaan itu.
Sayang, 325 siswa SMA Danwon yang berangkat pada Selasa 15 April 2014 menuju pulau itu tak kesampaian menikmati segala pesona Pulau Jeju. Kapal feri yang mereka tumpangi tenggelam. Ratusan nyawa melayang dalam kecelakaan itu.
Tragedi yang mengaitkan nama Pulau Jeju, membuat ingatan
bangsa Korea tentang pulau yang aslinya bernama Cheju-Do itu kembali membayang.
Sekitar 64 tahun lalu, sejarah mencatat bencana kemanusiaan terjadi di sana.
Pulau Jeju, Salah satu provinsi sekaligus sebuah pulau di Korea Selatan menyimpan cerita tragis dalam konflik perang sipil. Puluhan ribu orang dibantai secara massal di pulau yang berjuluk Pulau Samdado ini. Peristiwa itu kemudian sering dikenal sebagai "pemberontakan dan pembantaian massal Jeju."
Pada tahun 1948, Jepang yang saat itu menguasai Korea mengalami kekalahan dalam perang dunia kedua. Situasi itu mengakibatkan terpecahnya Korea menjadi dua wilayah. Korea bagian utara dikuasai oleh Uni Soviet dan Korea bagian selatan dikuasai Amerika Serikat.
Berkuasanya dua kekuatan besar di bumi Korea dengan paham yang berbeda membuat Korea sulit bersatu. Konflik memanas pada 14 November 1947 ketika PBB mengeluarkan 122 resolusi terkait keamanan antar dua Korea itu dengan menyerukan pemilihan umum di semenanjung Korea di bawah pengawasan PBB.
Uni Soviet, yang menempati wilayah utara, menolak untuk mematuhi resolusi, sehingga Majelis PBB kembali merilis resolusi baru dengan menyerukan pemilihan rezim baru di wilayah yang dapat diakses oleh PBB, yakni korea bagian selatan yang diduduki AS.
Pemberitaan ini menyeruak hingga ke pulau Jeju, konflik Jeju pun dimulai, pimpinan partai Buruh seperti Partai Pekerja Komunis yang memiliki kesamaan paham dengan Uni Soviet menentang penyelenggaraan pemilihan umum.
Partai Pekerja Komunis menggencarkan aksi unjuk rasa pada 1 Maret 1948 untuk mengecam dan memblokir pemilu yang dijadwalkan berlangsung pada 10 Mei 1948. Polisi dan Pasukan anti huru hara disiagakan. Bentrokan pecah. Enam pengunjuk rasa tewas. Polisi menangkap 2.500 lebih demonstran.
Pada 3 April 1948, Para pemberontak kembali melancarkan aksi balas dendam. Mereka menyerang 11 pos polisi, membunuh polisi dengan memutilasi, dan membakar pusat-pusat pemungutan suara yang telah dipersiapkan untuk kebutuhan pemilu.
Aksi ini dibalas pemerintah Korea Selatan. Pemerintah yang pro Amerika itu mengirim 3 ribu tentara untuk memperkuat pasukan polisi di Pulau Jeju. Namun, beberapa ratus tentara justru memberontak dan menyerahkan gudang senjata kepada para pemberontak.
Pemerintah Korea Selatan menginginkan pemberontak menyerah, dan menyerukan adanya reunifikasi (penyatuan) dua Korea yang terpecah. Pemerintah Korea Selatan dan Pemberontak akhirnya berunding dan berdialog bersama untuk reunifikasi.
Tuntutan pemberontak dianggap terlalu banyak. Negosiasi gagal, dan konflik terus bergulir. Puncaknya pada 25 Juni 1950, Korea Utara menyeberangi batas wilayah kedua negara, dan mulai menginvasi Korea Selatan. Militer Korea Selatan bergegas memerintahkan penangkapan warga sipil yang dicurigai pro Komunis di Pulau Jeju.
Ribuan orang ditahan di Jeju. Mereka disortir ke dalam empat kelompok, A, B, C, dan D sesuai dengan tingkat risiko keamanan. Pada 30 Agustus 1950, Angkatan Laut Korea Selatan menginstruksikan polisi Jeju untuk mempersiapkan regu penembak untuk mengeksekusi mati semua orang dalam kelompok C dan D.
Tentara Korea Selatan juga menyerang desa-desa Jeju, mengeksekusi mati warga dan memperkosa wanita. Sekitar 70 persen dari 230 desa di Jeju hangus dibakar. 14.373 orang tewas sebagai korban pembunuhan.
Setelah pembantaian itu, pemerintah Korea Selatan berusaha menutup akses informasi mengenai tragedi Jeju dari catatan sejarah, dengan membersihkan dan menyegel sebuah gua yang sempat dijadikan sebagai tempat pembantaian. Pemerintah Korea juga melarang dan mengintimidasi siapa saja yang berani mengungkit tragedi Jeju dengan pemukulan, penyiksaan, dan hukuman penjara.
Situasi baru berubah saat kembalinya pemerintahan sipil pada 1990-an. Pemerintah Korea Selatan mengakui dan meminta maaf atas penindasan dan pembantaian. Saat ini, upaya-upaya masih dilakukan untuk memahami ruang lingkup pembantaian dan kompensasi korban tragedi Jeju.
Kisah tragedi Jeju diangkat ke layar lebar melalui film berjudul Jiseul. Jiseul, dalam dialek Pulau Jeju berarti "kentang". Penulisnya adalah O Muel, yang memang orang asli Pulau Jeju, memilih kentang sebagai judul, karena menganggapnya sebagai simbol perjuangan dan harapan.
Film itu tidak mengisahkan tragedi Jeju dalam skala besar. Namun mengambil cerita tentang sekelompok pria desa yang bersembunyi dari kejaran militer dan polisi Korea Selatan dengan bertahan di dalam gua selama 60 hari.
Karena takut menjadi korban pembantaian, mereka memilih meninggalkan rumah meski harus kedinginan dan berjuang melawan kelaparan. Para penyintas itu terus memelihara harapan agar tidak jadi korban keganasan tentara Korea Selatan.
(FIT)
Pulau Jeju, Salah satu provinsi sekaligus sebuah pulau di Korea Selatan menyimpan cerita tragis dalam konflik perang sipil. Puluhan ribu orang dibantai secara massal di pulau yang berjuluk Pulau Samdado ini. Peristiwa itu kemudian sering dikenal sebagai "pemberontakan dan pembantaian massal Jeju."
Pada tahun 1948, Jepang yang saat itu menguasai Korea mengalami kekalahan dalam perang dunia kedua. Situasi itu mengakibatkan terpecahnya Korea menjadi dua wilayah. Korea bagian utara dikuasai oleh Uni Soviet dan Korea bagian selatan dikuasai Amerika Serikat.
Berkuasanya dua kekuatan besar di bumi Korea dengan paham yang berbeda membuat Korea sulit bersatu. Konflik memanas pada 14 November 1947 ketika PBB mengeluarkan 122 resolusi terkait keamanan antar dua Korea itu dengan menyerukan pemilihan umum di semenanjung Korea di bawah pengawasan PBB.
Uni Soviet, yang menempati wilayah utara, menolak untuk mematuhi resolusi, sehingga Majelis PBB kembali merilis resolusi baru dengan menyerukan pemilihan rezim baru di wilayah yang dapat diakses oleh PBB, yakni korea bagian selatan yang diduduki AS.
Pemberitaan ini menyeruak hingga ke pulau Jeju, konflik Jeju pun dimulai, pimpinan partai Buruh seperti Partai Pekerja Komunis yang memiliki kesamaan paham dengan Uni Soviet menentang penyelenggaraan pemilihan umum.
Partai Pekerja Komunis menggencarkan aksi unjuk rasa pada 1 Maret 1948 untuk mengecam dan memblokir pemilu yang dijadwalkan berlangsung pada 10 Mei 1948. Polisi dan Pasukan anti huru hara disiagakan. Bentrokan pecah. Enam pengunjuk rasa tewas. Polisi menangkap 2.500 lebih demonstran.
Pada 3 April 1948, Para pemberontak kembali melancarkan aksi balas dendam. Mereka menyerang 11 pos polisi, membunuh polisi dengan memutilasi, dan membakar pusat-pusat pemungutan suara yang telah dipersiapkan untuk kebutuhan pemilu.
Aksi ini dibalas pemerintah Korea Selatan. Pemerintah yang pro Amerika itu mengirim 3 ribu tentara untuk memperkuat pasukan polisi di Pulau Jeju. Namun, beberapa ratus tentara justru memberontak dan menyerahkan gudang senjata kepada para pemberontak.
Pemerintah Korea Selatan menginginkan pemberontak menyerah, dan menyerukan adanya reunifikasi (penyatuan) dua Korea yang terpecah. Pemerintah Korea Selatan dan Pemberontak akhirnya berunding dan berdialog bersama untuk reunifikasi.
Tuntutan pemberontak dianggap terlalu banyak. Negosiasi gagal, dan konflik terus bergulir. Puncaknya pada 25 Juni 1950, Korea Utara menyeberangi batas wilayah kedua negara, dan mulai menginvasi Korea Selatan. Militer Korea Selatan bergegas memerintahkan penangkapan warga sipil yang dicurigai pro Komunis di Pulau Jeju.
Ribuan orang ditahan di Jeju. Mereka disortir ke dalam empat kelompok, A, B, C, dan D sesuai dengan tingkat risiko keamanan. Pada 30 Agustus 1950, Angkatan Laut Korea Selatan menginstruksikan polisi Jeju untuk mempersiapkan regu penembak untuk mengeksekusi mati semua orang dalam kelompok C dan D.
Tentara Korea Selatan juga menyerang desa-desa Jeju, mengeksekusi mati warga dan memperkosa wanita. Sekitar 70 persen dari 230 desa di Jeju hangus dibakar. 14.373 orang tewas sebagai korban pembunuhan.
Setelah pembantaian itu, pemerintah Korea Selatan berusaha menutup akses informasi mengenai tragedi Jeju dari catatan sejarah, dengan membersihkan dan menyegel sebuah gua yang sempat dijadikan sebagai tempat pembantaian. Pemerintah Korea juga melarang dan mengintimidasi siapa saja yang berani mengungkit tragedi Jeju dengan pemukulan, penyiksaan, dan hukuman penjara.
Situasi baru berubah saat kembalinya pemerintahan sipil pada 1990-an. Pemerintah Korea Selatan mengakui dan meminta maaf atas penindasan dan pembantaian. Saat ini, upaya-upaya masih dilakukan untuk memahami ruang lingkup pembantaian dan kompensasi korban tragedi Jeju.
Kisah tragedi Jeju diangkat ke layar lebar melalui film berjudul Jiseul. Jiseul, dalam dialek Pulau Jeju berarti "kentang". Penulisnya adalah O Muel, yang memang orang asli Pulau Jeju, memilih kentang sebagai judul, karena menganggapnya sebagai simbol perjuangan dan harapan.
Film itu tidak mengisahkan tragedi Jeju dalam skala besar. Namun mengambil cerita tentang sekelompok pria desa yang bersembunyi dari kejaran militer dan polisi Korea Selatan dengan bertahan di dalam gua selama 60 hari.
Karena takut menjadi korban pembantaian, mereka memilih meninggalkan rumah meski harus kedinginan dan berjuang melawan kelaparan. Para penyintas itu terus memelihara harapan agar tidak jadi korban keganasan tentara Korea Selatan.
(FIT)
Sumber: MetroNews
0 komentar:
Posting Komentar