April 29, 2014
“DN Aidit itu fasih membaca al-Quran. Ayahnya, pendiri Nurul Islam di Belitung,” kata pegiat sejarah, Yunanto Adi S.
Yunantyo Adi S (kaos putih) berbicara dalam diskusi Aidit dan Soal Agama di Kantor eLSA
[Semarang –elsaonline.com] Sosok
tokoh Partai Komunis Indoneisa (PKI), Dipa Nusantara (DN) Aidit agaknya
menarik untuk diulas. Banyak kalangan menilai Aidit adalah antek PKI
yang tak beragama, berperilaku buruk dan berkelakuan tidak baik lainnya.
Sebagian keburukan ditimpakan kepada ketua PKI ini. Apakah benar
demikian? Mari kita ulas satu persatu.
Yunanto Adi S, seorang pegiat
sejarah di Kota Semarang mengatakan Aidit adalah orang yang religius. Ia
anak dari seorang tokoh agama dan intens belajar agama. Meski pada sisi
lainnya, dia belajar karya-karya monumental paham marxisme, Das
Capital.
Banyak saksi mengatakan, Aidit
kecil belajar di Batavia ketika menginjak bangku sekolah lanjut. Ada
juga yang bilang, Aidit sejak kecil sudah belajar Marxisme, bahkan
semenjak di kampung halamannya, Bangka Belitung.
Menurut YAS, sapaan akrab
Yunantyo, yang membaca berbagai literatur, Aidit menikah dengan Tanti,
anak Kyai Dasuki di Solo. Dia menikah dengan anak kyai karena pernah
khataman al-Qur’an.
“DN
Aidit itu fasih membaca al-Qur’an. Ia yang sering adzan di surau.
Ayahnya, pendiri Nurul Islam di Belitung,” kata Yunanto Adi S, dalam
diskusi di Kantor Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang, Senin (28/4)
malam.
Diskusi yang semula digelar di
pelataran kantor itu mendadak digeser ke dalam kantor. Sebabnya, pada
sekira pukul 10.00 WIB, ada ujian hujan. Tak mau diskusi terlantar,
diskusi akhirnya dipindah di ruang tamu kantor eLSA.
Dikatakan YAS, setelah Aidit
belajar agama di kampung halaman, di tempat Amir Syarifudin melalui
payung Gerindo, Dia dibesarkan. Bahkan, saat kependudukan Jepang di bumi
nusantara, peran Amir sangat hebat. Dia merasa kagum dan bergabung
dengan tokoh pejuang ini.
Setelah berhasil menguasai PKI
dari golongan tua, Aidit yang sudah menginjak dewasa mulai membesarkan
partai. Dia bilang PKI akan besar jika diletakkan dibawah Soekarno.
Menurut redaktur Suara Merdeka
ini, Aidit belajar Marxisme ala Indonesia dari Soekarno. Padahal, sesuai
anjuran dari penguasa Marxisme, Lenin, PKI tidak boleh besar. Lenin
menyarankan agar bala tentara PKI yang diperkuat.
Di bawah kendalinya, PKI
kemudian diubahnya dengan mengorganisir para petani. Hal ini berbeda,
jika dulu hanya buruh yang diorganisir.
“Aidit tak mau meniru Muso
dengan konsep desa mengepung kota. Jalan Muso mengajarkan Aidit bahwa
biarkan ideologi ada, tapi lakukan secara frontal,” tambahnya.
Soal isu anti agama terhadap PKI muncul lewat konflik landreform.
Sebelum isu itu muncul ke publik, Aidit besar berhasil menangkisnya.
Namun, kondisi berubah ketika ada yang bilang melawan PKI sama saja
dengan melawan seorang kafir.
“Padahal PKI itu juga juga banyak muslim. Di PKI itu, ada sejenis ICMI, Muslim Komunis. Hasan Raid ada disitu’’,” tutunya lagi.
Setelah bersinggungan dengan
agama, PKI Aidit dikonfontir soal Pancasila. Menurut YAS, ketika ditanya
apakah apakah PKI itu setuju Pancasila? Aidit, kata YAS, bilang, “orang
yang menggunakan Pancasila untuk pecah Manipol, mereka melanggar
Pancasila.” [elsa-ol/Nurdin-@NazarNurdin2]
http://elsaonline.com/?p=3010
0 komentar:
Posting Komentar