8 April 2014
Perpustakaan Medayu Agung dibentuk dari kenangan dan
pengalaman pribadi sang pemilik, Oei Hiem Hwie, demi membangun sejarah yang
lebih besar.
Begitu kita memasuki Perpustakaan Medayu Agung, di
sebelah kanan terpajang foto hitam putih Bung Karno dalam satu pigura besar.
Foto tersebut merupakan karya dari sang pemilik dan pengelola perpustakaan, Oei
Hiem Hwie, saat dia masih bekerja sebagai wartawan di harian Trompet
Masjarakat. Di sebelah pigura, satu kotak kaca memuat versi kecil foto
tersebut, bersebelahan dengan foto Oei muda pada saat mewawancarai Bung Karno.
Di sela-sela berbagai dokumen, tertata beberapa kantong kecil berisi butiran
merica, cengkeh, dan silika untuk menyerap kelembapan dan mengusir serangga.
Kotak kaca berisi kenang-kenangan dari almarhum Bung Karno dan Haji
Masagung untuk Oei Hiem Hwie. Foto: Kathleen Azali
Kotak itu juga memuat satu piringan hitam dan kaset-kaset
berisi pidato Bung Karno, antara lain pada peringatan hari kemerdekaan ke-6 di
halaman Istana Negara, dan di depan mahasiswa Unair pada tahun 1959. Di
sebelahnya lagi, tampak foto Haji Masagung, seorang Tionghoa Muslim yang
dikenal sebagai pendiri Toko Buku Gunung Agung dan perpustakaan Yayasan Idayu.
Memasuki Perpustakaan Medayu Agung. Foto: Erlin Goentoro
Terletak di kawasan Medokan Ayu, Rungkut, daerah selatan
Surabaya, Perpustakaan Medayu Agung memuat berbagai buku, koran, majalah,
kliping, foto dan berbagai dokumen bersejarah. Berbeda dengan perpustakaan
umum, koleksi Perpustakaan Medayu Agung cukup terspesialisasi, dan secara garis
besar dapat dibagi menjadi dua koleksi.
Pertama, koleksi khusus, dengan fokus utama subyek
sejarah, karya-karya Pramoedya Ananata Toer (termasuk naskah aslinya), Bung Karno,
dan masalah pembauran dan integrasi etnis Tionghoa di Indonesia. Kedua, koleksi
langka, yang mencakup buku-buku kuno terbitan pertengahan abad 19 hingga awal
abad 20, dalam bahasa Belanda, Inggris, Melayu, dan Jerman, yang sudah sangat
jarang dapat ditemukan. Selain dua koleksi utama tersebut, ada banyak pula
koran dan majalah terbitan lama dan kliping pers.
Tak heran, gedung berukuran 10×10 menter ini menjadi
salah satu simpul arsip dokumen yang sangat penting di Surabaya. Banyak
wartawan, mahasiswa, dan peneliti dari dalam maupun luar negeri telah
berkunjung ke sini, antara lain Claudine Salmon, Charles Coppel, Daniel S. Lev,
Benedict Anderson, Roger Tol, Rie Poo Tian, John Sidel, He Geng Xin, Tan Ta
Sen, Mona Lohanda, Mira Sidharta, dan Pramoedya Ananta Toer sendiri.
Gagasan apa yang dibangun dan tertanam dalam pengarsipan
Medayu Agung? Apa hubungannya dengan persoalan di sekitarnya—konteks, dan
individu-individu yang turut berperan membangunnya? Kondisi (sejarah) apa yang
membentuk dan mendukung seorang Oei Hiem Hwie, dan Perpustakaan Medayu Agung?
Oei Hiem Hwie di dalam Medayu Agung. Foto: Erlin Goentoro
Oei Hiem Hwie lahir di Malang pada 24 November 1935. Ayah
Oei, adalah seorang totok dari Hokkian.
“Kawin mbek ibu saya, orang Jawa Tengah. Ibu saya itu orang qiao shen, Tionghoa sini, peranakan, trus pindah Malang, aku lahir,” jelasnya.
Sebelum Oei menjadi wartawan, dari kecil ia sudah
hobi mengoleksi buku dan mengklipin. Selain itu, rupanya, dia mewarisi banyak
buku kuno dari keluarganya.
“Ada banyak, tinggalane engkong. Engkongku itu yo, engkong dari papa, dari ibu, itu…. konco Belandane banyak. Pas Belanda jatuh, Belanda pulang, buku-bukune dikek’no.”
Pertama kali berdiri pada 17 Maret 1900 di Batavia, berbagai
cabangnya kemudian berdiri di pelosok Hindia Belanda. Sekolah THHK didirikan
dengan dukungan iuran tahunan sebesar 3,000 guilderdari dewan, dengan
tujuan menyediakan pendidikan gratis bagi semua anak keturunan Tionghoa dari
berbagai lapisan sosial ekonomi. THHK juga menunjukkan perhatian khusus pada
pendirian bibliotheekatau perpustakaan, dan penyebarluasan pengetahuan.
Buku-buku peringatan THHK dari berbagai kota. Foto: Erlin Goentoro
Menurut Oiyan Liu
(2010), THHK dan gerakan pendidikan Tionghoa dapat dikatakan sebagai reaksi
publik Tionghoa lokal pada kebijakan diskriminatif pemerintah kolonial Belanda
saat itu yang menyediakan pendidikan dan subsidi hanya kepada bumiputra,
sementara komunitas Tionghoa tidak diberi akses pendidikan (kecuali untuk
beberapa Tionghoa peranakan). Dengan mengumpulkan dana sendiri, mereka
membangun gerakan pendidikan untuk menunjukkan perlawanan politis mereka, dan
membangun jaringan tidak hanya ke Tiongkok daratan, tapi juga Singapura.
Hubungan dengan Singapura ini dikatakan cukup membuat pemerintah kolonial
Belanda mengkhawatirkan persaingan pengaruh dengan pemerintahan kolonial
Inggris. Pemerintah Belanda akhirnya pada 1908 mendirikan Hollandsche
Chineesche School (HCS, Sekolah Tionghoa Belanda) yang kemudian bersaing dengan
THHK dalam menyediakan pendidikan bagi masyarakat Tionghoa di Hindia.
Koleksi pers Tionghoa. Foto: Erlin Goentoro
Tamat SMA, Oei melanjutkan mengikuti kursus
jurnalistik, profesi
yang saat itu disebut sebagai “ratu dunia”. Sebagai catatan, partisipasi
masyarakat Tionghoa dalam dunia pers Hindia Belanda dimulai sebagai kontributor
atau editor koran, sementara kepemilikannya dipegang oleh pihak Belanda atau
Eurasia. Tapi pada tahun 1884, seiring dengan jatuhnya harga gula, berbagai
pers di Hindia Belanda mengalami kesulitan finansial.
Era ini kemudian
menjadi penanda awal bermunculannya penerbitan dan jurnalisme vernakuler
Tionghoa. Masyarakat Tionghoa menjadi sadar tidak saja potensi bisnis koran,
tapi juga peran pers dalam pembentukan opini publik. Ketidakpuasan pada
perilaku pemerintah kolonial diutarakan melalui pers, dan pada akhirnya turut
berperan besar dalam pembentukan pikiran dan juga gerakan THHK.
Ijazah pendidikan jurnalistik Oei Hiem Hwie. Foto: Kathleen Azali
Karena waktu itu di Malang tidak ada sekolah wartawan,
Oei mengikuti pelatihan jurnalistik di Universitas Res Publika di Yogyakarta,
yang dulu didirikan oleh Baperki. (Selain Res Publika, Oei mendapat satu lagi
ijazah pendidikan jurnalistik dari Pro Patria, dengan tahun kelulusan 1962.)
Kotak kaca yang memuat berbagai dokumen Baperki. Foto:
Erlin Goentoro
Keberadaan Siauw Giok Tjhan dan adiknya, Siauw Giok Bie,
dikatakan memberi dampak besar dalam politisasi intelektual kota Malang. Oei
menyaksikan bagaimana aktivis Tionghoa senior di Malang berdebat keras mengenai
isu pembauran (asimilasi) dan integrasi, tapi di saat yang sama juga hidup
berdekatan, melakukan gaya hidup yang serupa, dan bermain tenis bersama.
“Aku anak buahe Siauw Giok Tjan. Jadi saya wartawan, aku juga orang Baperki. Lha, aku sekretaris Baperki Malang, gitu lho,” jelas Oei.
Lulus pendidikan jurnalistik, Oei mencari kerja di
Trompet Masjarakat yang berlokasi di seberang Tugu Pahlawan, Surabaya. “Dulu di
situ. Bawah itu percetakan. Atas, kantor. Jadi saya ngantor ndek nggone atas.”
Awalnya hanya sebagai kontributor, Oei kemudian menjadi pekerja tetap yang
ditugaskan di bidang sosial politik; dengan trem listrik, ia kerap datang
meliput ke pengadilan-pengadilan.
Sepatah Dua Patah Kata oleh Goei Poo An dalam Trompet Masjarakat. Foto:
Erlin Goentoro
Motto Trompet Masjarakat adalah, “Membawa suara
kaum ketjil bebas dari segala pengaruh.” Trompet Masjarakat didirikan
oleh oleh seorang Tionghoa, Goei
Poo An, yang sudah sejak 1925 aktif di berbagai koran peranakan. Awalnya dengan
Perniagaan, kemudian Sin Jit Po, Sin Tit Po, dan Mata Hari,
sebelum akhirnya mendirikan Trompet Masjarakat di mana ia menjabat
sebagai dirjen dari tahun 1947. Dalam tim redaksi ada juga Mana Adinda dan
Amak Yunus. Pelaksana sehari-hari Trompet Masjarakat adalah Saleh Said, seorang
muslim dari Ampel. “Jadi [isinya] bukan hanya orang-orang Tionghoa. Macem-macem.
Karena itu saya pengen kerja di sana.”
Sisa Trompet Masjarakat (tertanggal 19 November 1960) yang dapat
diamankan Oei. Foto: Kathleen Azali
Kemudian meletuslah peristiwa 30 September 1965. Trompet
Masjarakat ditutup, dan Oei ditangkap. Foto-foto, koran, majalah, buku,
dan berbagai dokumen dirampas dan dibakar. Beberapa dokumen yang sensitif
diamankan adik Oei di atas plafon rumah mereka di Malang. Karena tidak ada
cukup bukti yang menunjukkan keterlibatan Oei dalam PKI, Oei masuk dalam
kategori B. Ditahan tanpa sidang. Kategori A, disidang. Kategori C, bebas. “Katanyaa [bebas]…,” ujar Oei tertawa.
Awalnya Oei ditahan di Batu, kemudian dipindah ke
Lowokwaru di Malang. Kadang-kadang, Oei dipindah ke Surabaya, di Kalisosok.
Atau terkadang di Koblen, di Rumah Tahanan Militer yang sekarang sudah
dihancurkan. Oei dipindah-pindahkan antara Malang dan Surabaya selama lima
tahun sebagai tahanan politik. Kemudian tahun 1970, Ia “dinaikkan sepur,
pagi-pagi, berangkat ke Cilacap. Sebelum ke Pulau Buru, semua ke Nusa Kambangan,
masuk Karang Tengah. Cuma 2-3 bulan, baru ke Pulau Buru.”
Oei menganggap penjara sebagai akademi, tempat dia
belajar. Di dalam penjara, Oei dan teman-teman tahanan membuat kelompok
belajar, untuk belajar bahasa, dan juga untuk mengarahkan pikiran. Oei tinggal
di Pulau Buru antara tahun 1970 dan 1978, di mana dia bertemu dengan Pramoedya
Ananta Toer. Kebetulan tempat Pram ditahan berada di dekat ladang tempat Oei
mencangkul.
“Jadi kalau saya liat ndak ada seng jaga, saya mbrosot masuk.” Karena tidak ada kertas, Oei membantu Pram memotong kertas untuk menulis dari karung pembungkus semen.
Kotak memuat naskah-naskah Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru, dan
surat-surat Pram kepada Oei. Foto: Kathleen Azali
Hingga akhirnya, ketika Oei dibebaskan di tahun 1978,
Pram menitipkan naskah-naskah tulisan tangan dan ketikannya ke Oei Hiem Hwie
untuk dibawa keluar. Untungnya lagi, Oei tidak digeledah, sehingga
naskah-naskah tersebut selamat. Setelah Pramoedya dibebaskan setahun berikutnya
pada 1979, Oei menemuinya untuk mengembalikan naskah-naskah tersebut. Pram
menolak, meminta Oei untuk menyimpankan naskah aslinya. Pram akan menyimpan
fotokopinya saja.
Foto Oei dan Pram setelah bebas di tahun 1980. Foto:
Kathleen Azali
Oei tiba dengan selamat ke Surabaya. Dia, dengan lebih
dari 4.000 eks-tapol (total 4.288, menurut surat), diberi surat pembebasan
“pengembalian ke masyarakat”, dan mendapatkan KTP dengan tanda ET. Singkatan
dari Eks Tapol, atau plesetannya, “Elek Terus.” Dengan KTP tersebut, Oei
kesulitan mencari pekerjaan.
“Ndak iso kerjo. Cari kerjaan ya mbek orang ditolak. Pigi bank mau pinjem uang aja mau bikin modal, dibilang ndak ada. Yak apa. Karena tapol, ya, eks tapol,” jelasnya tertawa. “Wong orang ngasi kue lho, ditaruh di luar. Mlayu wedi.”
Status ET di KTP Oei baru dihapus setelah KTPnya diganti
menjadi KTP seumur hidup (karena waktu itu Oei sudah berumur lebih dari 60
tahun), setelah Asmara Nababan menjadi sekretaris Komnas HAM.
Surat “pengembalian 4.288 orang tahanan G-30-S/PKI Gol.
“B” ke masyarakat” yang membebaskan Oei di tahun 1978. Foto: Kathleen Azali
Oei kemudian dihubungi oleh Haji Masagung (Tjio Wie Tay),
seorang Tionghoa Muslim yang dikenal sebagai pendiri Toko Buku Gunung Agung.
Selain TB Gunung
Agung, Haji Masagung juga mendirikan Yayasan Idayu di Jakarta, yang juga
mengelola dokumentasi dan perpustakaan. Haji Masagung mengusulkan Oei pindah
tempat tinggal dari Malang agar tidak terus menerus dipantau, karena ada banyak
tangan militer hingga tingkat RT/RW. Meskipun KTP Oei tetap beralamat Malang,
Oei pindah ke Surabaya, bekerja di Toko Buku dan Perpustakaan Sari Agung, yang
juga didirikan oleh Masagung di Jalan Tunjungan.
Dari pekerjaannya dengan Masagung ini lah, Oei mengenal
dan mempelajari pengelolaan perpustakaan. Toko Buku dan Perpustakaan Sari
Agung, meski kini sudah tidak ada lagi, tampaknya banyak meninggalkan ingatan
yang membekas bagi banyak masyarakat Surabaya, terutama karena koleksinya yang
terbilang cukup lengkap. Selain itu, Oei juga menjadi sekretaris pribadi
Masagung yang bertugas mengantar Masagung berdakwah ke berbagai pesantren dan
masjid di Jawa Timur.
Ketika Masagung meninggal di tahun 1992, Oei pun pensiun.
Bermodal pengalamannya mengelola perpustakaan Sari Agung, dengan hati-hati ia
memindahkah buku-buku dan dokumen-dokumennya dari Malang ke Surabaya. Pada
awalnya, Oey bercerita saat itu belum berani menurunkan dokumen-dokumen
tersebut dari atas plafon, apalagi karena Orde Baru masih berkuasa dan larangan
masih berlaku. Setelah Reformasi, baru Oei berani menurunkannya secara
bertahap. Kondisinya cukup rapuh karena disimpan di atas plafon selama 13 tahun
lebih.
“Buku-buku ini bolong semua. Dimakan renget. Tapi untung bolongnya ndak ke tulisan. Ada yang bolong bisa tembus gitu. Coba’o rayap, habis, dibakar.”
Saat itu, Oei
sempat didatangi dua orang peneliti Australia, yang ingin membeli seluruh
koleksinya untuk diboyong ke Negeri Kangguru dengan harga satu milyar rupiah.
Oei kesulitan mengkonfirmasi nama peneliti tersebut, tapi ada
yang menyebut bahwa
salah satunya adalah Charles Coppel yang
menulis Indonesian Chinese in Crisis (1983), disertasi yang
kemudian menjadi salah satu buku rujukan utama dalam kajian Tionghoa Indonesia.
Oei kemudian bertemu dengan Ongko Tikdoyo, seorang
pengusaha yang juga aktif dalam kegiatan sosial dan pendidikan di Buddhist
Education Center (BEC) Surabaya. Oei bercerita sebenarnya sudah mengenal Ongko
ketika ia masih kecil, karena ayah Ongko dulu adalah bendahara Baperki
Kepanjen, sementara Oei adalah sekretaris Baperki Malang. Ongko mendorong Oei
untuk membentuk perpustakaan. Hanya saja, sempitnya rumah Oei saat itu, dengan
usaha berjualan air minum isi ulang dan elpiji, tidak memungkinkan untuk
membuka perpustakaan. Ongko berjanji akan membantu pendanaan sewa tempat.
Perpustakaan Medayu Agung sekarang. Foto: Erlin Goentoro
Tahun 2001, Perpustakaan Medayu Agung dibuka di rumah
sewa kontrak di Jalan Medayu Selatan VII/22. Sebentar saja, rumah kontrakan itu
pun penuh dengan koleksi buku-buku, arsip majalah, dan kliping yang terus
bertambah. Ongko kembali menemui Oei Hiem Hwie, dengan mengajak Sindunata
Sambudhi, pemilik Hakiki Donarta, dan Ir. Juliastoro. Menyadari bahwa rumah
kontrakan itu tidak lagi cukup, mereka mengusulkan mencari tanah dan membangun
rumah baru.
Pada praktiknya, Sindunata Sambudhi dan Ongko Tikdoyo
banyak mendukung dana, baik dari uang mereka sendiri maupun mencarikan dari
donatur lain. Sementara Juliastono, dalam kapasitasnya sebagai insinyur, banyak
membantu pro bono dalam pembangunan gedung perpustakaan, yang
sekarang sudah berpindah di atas tanah sendiri di Jl. Medayu Selatan IV/42-44.
Untuk memenuhi persyaratan izin membuka perpustakaan dari
pemerintah kota, diperlukan adanya pustakawan resmi dengan latar belakang
pendidikan ilmu perpustakaan. Akhirnya dengan dukungan dana dari yayasan, Oei
membiayai kuliah S1 Ilmu Perpustakaan untuk pekerja pertamanya, Harun. Selain
itu, untuk mendapatkan izin, diperlukan adanya pos satpam di depan gedung
perpustakaan untuk penjagaan. Untunglah, lokasi Perpustakaan Medayu Agung
sekarang berada tepat di depan pos penjagaan kompleks perumahan. Sebuah kebetulan
yang patut disyukuri.
Lantai 2 Medayu Agung. Foto: Erlin Goentoro
Saat ini, ada enam pekerja di Medayu Agung, selain Oei
sebagai pengelola utama yang bekerja tanpa gaji. Di lantai dasar, ada dua
ruangan tertutup, satu memuat koleksi langka, satunya koleksi khusus. Ruang
koleksi langka adalah satu-satunya ruang dengan pendingin ruangan, memuat
banyak buku kuno dan buku sejarah yang sudah rapuh dan perlu dijaga suhu dan
kelembapannya. Di dalam ruangan ini, dapat ditemukan Oud Batavia, Soerabaja
Oud and Nieuw, The History of Java karya Raffles, berjilid-jilid katalog
koleksi seni rupa Bung Karno, hingga cetakan awal Mein Kampf. Oei
bercerita bahwa kebanyakan koleksi ini ia dapatkan dari engkongnya. Ruang
koleksi khusus memuat buku-buku dengan subjek Pramoedya Ananata Toer, Bung
Karno, dan masalah pembauran dan integrasi etnis Tionghoa di Indonesia.
Di tengah-tengah lantai dasar, rak-rak berisi
bendel-bendel majalah berjejer berderet-deret. Ada beberapa kotak kaca di
sela-selanya. Salah satu kotak berisi naskah-naskah tulisan tangan dan ketikan
Pramoedya Ananata Toer, berdampingan dengan surat-surat Pram kepada Oei. Satu
kotak lain, yang telah saya sebutkan di awal tulisan, memuat koleksi kenangan
dari Bung Karno dan Haji Masagung, berisi naskah Sosialisme Utopia yang
ditandatangani oleh Bung Karno, beserta piringan hitam pidato, dan foto-foto
Bung Karno dan Haji Masagung. Kotak kaca yang lain lagi, memuat buku-buku lama,
salah satunya Max Havelaar. Ada pula kotak kaca yang khusus memuat
dokumen-dokumen Baperki, seperti koran Berita Baperki dan buku
Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar oleh Siauw Giok Tjhan. Pada tiap
kotak kaca, terpasang pigura aluminium menjelaskan isi kotak.
Oei menunjukkan satu bendel klipingnya. Foto: Erlin Goentoro
Sedikit tersembunyi di sudut ruangan, di dekat mesin
fotokopi, beberapa rak memuat buku-buku yang ditulis dalam bahasa Tionghoa. Di
dekatnya lagi, ada rak yang memuat berbagai kliping koran yang Oei kumpulkan
dan bendel dalam map yang dibuat sendiri dari kardus. Subjeknya mungkin cukup
acak, tapi jelas menunjukkan minat pribadi dan konteks zaman Oei, antara lain:
Masagung, Pers Indonesia, Resensi dan Peninjauan Buku, KGB, India, SARA,
Vietnam, Timor-Timur, Mahasiswa, Kasus Tanah, Cersam Sie Djin Koei, ASEAN,
Polandia Bergolak, Sejarah Surabaya. Topik Bung Karno, G30S, ditempatkan dalam
kardus buatan sendiri karena banyaknya.
Di lantai atas, ada lebih banyak lagi buku-buku dan
berbendel-bendel koran, dibungkus rapat dalam plastik. Beberapa butir kapur
barus diselipkan di dalamnya. Ada satu komputer di pojok ruangan untuk
digitalisasi katalog. Printer di sebelahnya tampak berdebu. Subjek di lantai
dua lebih beragam, meski tetap mencerminkan minat sosial politik Oei, antara
lain agama, wayang, militer dan politik, Pancasila, Soeharto, pers dan
jurnalistik, perang dan kemerdekaan, sosial budaya, ekonomi, filsafat.
Sistem katalogisasi Oei. Foto: Erlin Goentoro
Di awal proses katalogisasi, Oei membuat sistem kategori
sendiri. Misalnya, MPI adalah kode untuk Masalah Pembauran dan Integrasi. SHT
adalah Masalah Soeharto. PJ, Pers dan Jurnalistik. Tiap buku yang datang,
dikategorikan dalam kategori-kategori tersebut, kemudian diberi nomor, seiring
dengan bertambahnya koleksi. Sekarang, beberapa koleksinya mulai diberi Kode
Desimal Dewey (Dewey Decimal Code, DDC), ditempelkan di bawah kode lama yang
Oei buat. Namun mungkin DDC pun tidak akan terlalu membantu, melihat begitu
spesifiknya koleksi Medayu Agung.
Hingga saat ini, setiap hari Oei masih tekun menandai
koran yang akan dia kliping. Selain koran-koran berbahasa Indonesia, Oei juga
berlangganan koran berbahasa Mandarin dan majalah berbahasa Jawa. Karena
penglihatan yang makin kabur, Oei bercerita dalam sehari rata-rata hanya mampu
menggunting empat kliping. Sementara persediaan buku dan koran yang perlu
disortir dan dikliping datang berkardus-kardus.
Bertumpuk-tumpuk koran dalam bungkusan plastik dengan kapur barus di
dalamnya. Foto: Erlin Goentoro
Ada beberapa hal yang dapat kita garisbawahi dari Oei
Hiem Hwie dan Medayu Agung. Oei memiliki ketekunan dan integritas yang luar
biasa dalam mengarsip, terutama karena hubungan yang erat antara sejarah
perpustakaan ini dengan sejarah pribadinya. Keluarga, pendidikan, dan
individu-individu di sekitarnya berperan besar dalam pembentukan sejarahnya,
pribadinya, dan pertemanannya, yang kemudian juga terbangun dan tertanam dalam
gagasan arsip Medayu Agung. Koleksi buku dari keluarganya (dan teman-teman
keluarganya) mengisi koleksi buku langka.
Pendidikan Tiong Hoa Hwee Koan, Universitas Res Publica,
pekerjaannya sebagai wartawan, dan aktivitasnya di Baperki, berperan besar
dalam pembentukan pribadi, pertemannya, dan koleksi khususnya. Begitu pula
perjumpaannya dengan Pram di Pulau Buru.
Tidak hanya mereka membentuk koleksi arsip Medayu Agung,
tapi juga membangun reputasi dan spesialisasinya. Dengan mengembangkan gagasan
arsip yang erat berhubungan dengannya, Oei tidak memposisikan dirinya sekedar
sebagai arsiparis atau pustakawan pasif, tapi dengan aktif berpartisipasi
membentuk pemahaman mengenai berbagai subjek yang ia rangkai dalam koleksinya.
Foto kenangan Oei mewawancarai Soekarno. Foto: Erlin Goentoro
Sampai sekarang, Medayu Agung tidak pernah mendapatkan
dana sepeserpun dari pemerintah. Hanya pengakuan sebagai perpustakaan yang sah
pada 23 Mei 2005, dan penghargaan Board Preference dalam Surabaya Academy Award
2004. Pengorbanan, ketekunan, dan kerja keras Oei hanya disokong oleh inisiatif
pribadi teman-temannya. Biaya operasional perpustakaan ini sekitar 10 juta per
bulan, untuk membayar gaji enam pegawai, listrik, dan air. Semua dana
didapatkan dari yayasan melalui kocek pribadi anggota dan teman-temannya.
Selain di ruang koleksi langka, pendingin ruangan tidak dinyalakan untuk
menghemat listrik. Meskipun dewan pembina pun memiliki keinginan untuk membuat
acara dan digitalisasi koleksi, hal tersebut memerlukan langkah-langkah dan
komitmen yang tidak sedikit.
Yang kemudian menjadi beban pikiran Oei—dan kita
semua—adalah regenerasi dan keberlanjutan Medayu Agung ke depan. Sudah terlalu
banyak perpustakaan swadaya dengan koleksi legendaris di Indonesia yang hilang
dan koleksinya tersebar ketika sang pendiri tidak dapat lagi
mengelolanya—perpustakaan H.B. Jassin dan perpustakaan Bung Hatta biasanya
langsung meloncat ke pikiran. Sejujurnya saat menulis ini, saya teringat pada
nasib “mentor” Oei, Haji Masagung, dan perpustakaannya, Perpustakaan Yayasan Idayu.
Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya terpaku pada jerih
payah dan ketekunan mereka, tapi mulai memikirkan bagaimana kita dapat
menciptakan lingkungan dan kondisi yang berkelanjutan agar kerja keras mereka
dapat dinikmati dan dikembangkan oleh generasi selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar