Selasa, 2 Desember 2014 05:01 | Reporter : Hery H Winarno
Terbongkarnya
kuburan massal korban tragedi 1965 ditemukan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota
Semarang, Jawa Tengah. Kuburan tersebut menjadi saksi bisa pembantaian
orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
Di kuburan tersebut
belasan orang dieksekusi mati tanpa proses peradilan. Mereka dibunuh di suatu
di tengah malam jelang hujan deras.
Saksi mata itu adalah Mbah Supar (79), saksi kasus pembantaian tersebut menjelaskan dengan gamblang bagaimana orang-orang yang dituduh PKI dibantai lalu dikubur satu liang. Mereka yang dibunuh itu itu diduga terlibat dalam PKI.
Lalu bagaimana cerita pembantaian tersebut? Berikut kesaksian Mbah Supar kepada sejumlah wartawan:
Saksi mata itu adalah Mbah Supar (79), saksi kasus pembantaian tersebut menjelaskan dengan gamblang bagaimana orang-orang yang dituduh PKI dibantai lalu dikubur satu liang. Mereka yang dibunuh itu itu diduga terlibat dalam PKI.
Lalu bagaimana cerita pembantaian tersebut? Berikut kesaksian Mbah Supar kepada sejumlah wartawan:
1. Pembantaian
terjadi antara November-Desember tahun 1965
Pegiat Hak Asasi
Manusia (HAM) dan mahasiswa kembali menemukan saksi penting kasus kuburan
massal korban Tragedi 1965 di Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa
Tengah.
Saksi mata itu adalah Mbah Supar (79), merupakan orang yang dahulu membawa lampu senter saat dilakukannya eksekusi. Mbah Supar saat ini tinggal di RT 6 RW VII Kampung Dukuh, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah.
"Waktu itu saya masih muda. Saya diminta dua eksekutor menyalakan lampu senter waktu itu," ujar Mbah Supar saat menerima kunjungan sejumlah pegiat HAM dan mahasiswa Senin (1/12).
Mbah Supar mengaku dirinya saat itu diajak Kasmijan, tokoh masyarakat di Wonosari saat itu, tapi tidak paham maksud tujuannya.
"Saya lupa bulannya, yang jelas waktunya tidak jauh setelah Peristiwa G30S. Waktu itu musim hujan, barangkali masih di tahun 1965 antara bulan-bulan November-Desember," katanya dengan bahasa Jawa yang kental.
Saksi mata itu adalah Mbah Supar (79), merupakan orang yang dahulu membawa lampu senter saat dilakukannya eksekusi. Mbah Supar saat ini tinggal di RT 6 RW VII Kampung Dukuh, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah.
"Waktu itu saya masih muda. Saya diminta dua eksekutor menyalakan lampu senter waktu itu," ujar Mbah Supar saat menerima kunjungan sejumlah pegiat HAM dan mahasiswa Senin (1/12).
Mbah Supar mengaku dirinya saat itu diajak Kasmijan, tokoh masyarakat di Wonosari saat itu, tapi tidak paham maksud tujuannya.
"Saya lupa bulannya, yang jelas waktunya tidak jauh setelah Peristiwa G30S. Waktu itu musim hujan, barangkali masih di tahun 1965 antara bulan-bulan November-Desember," katanya dengan bahasa Jawa yang kental.
2. 12 anggota
PKI dibantai
Saat pembantaian
terjadi, Mbah Supar kala itu menunggu di lokasi yang sekarang adalah di sekitar
sekolah Taman Kanak-kanak Tunas Rimba I Mangkang, hamper tengah malam. Dia
bersama Kasmijan (almarhum) kemudian berjalan kaki menuju hutan jati dekat
Kampung Plumbon Kelurahan Wonosari, berjalan kaki.
Di sana sudah ada tiga lubang yang disiapkan untuk kuburan massal.
Di sana sudah ada tiga lubang yang disiapkan untuk kuburan massal.
"Kata
Kasmijan, mereka ini yang mau dieksekusi adalah anggota PKI (Partai Komunis
Indonesia)," ujarnya.
Berbeda dengan kesaksian warga Kampung Plumbon umumnya yang menyebut jumlah korban adalah 24 orang, Mbah Supar mengatakan korban saat itu ada 12 orang. Korban diminta duduk-duduk di bibir kuburan massal, mata tertutup, dan pada berdoa.
Berbeda dengan kesaksian warga Kampung Plumbon umumnya yang menyebut jumlah korban adalah 24 orang, Mbah Supar mengatakan korban saat itu ada 12 orang. Korban diminta duduk-duduk di bibir kuburan massal, mata tertutup, dan pada berdoa.
3. Sebelum
dibantai 12 korban ngaji
Sebelum dieksekusi,
12 orang itu banyak yang mengaji. Mereka sadar hidup mereka tak akan lama lagi.
Mereka menghadapi para algojo yang siap membunuh mereka. Saat itu mereka
membaca ayat-ayat suci Alquran
"Mungkin saat itu pukul 23.30 WIB. Para korban sempat mengaji sekenanya, sehafalnya mereka, sekitar satu jam. Yang hafal Yasin ya yasinan, yang hafal Tahlil ya tahlilan, yang hafal Al Fatihah ya baca itu berulang-ulang. Jadi mengajinya tidak seragam, ya sekenanya, sebisanya ayat suci mana mereka hafal ya mereka lafalkan masing-masing. Yang perempuan qiraahnya bagus sekali, dia satu-satunya perempuan di situ," tuturnya.
Dibanding korban lainnya, korban perempuan terlihat merupakan orang berada bila dilihat dari dandanannya.
"Mereka mengenakan baju merah muda, dan jarik. Gelang, kalung, dan cincin yang dipakainya menampakkan kalau ia ini orang berada," selorohnya.
"Mungkin saat itu pukul 23.30 WIB. Para korban sempat mengaji sekenanya, sehafalnya mereka, sekitar satu jam. Yang hafal Yasin ya yasinan, yang hafal Tahlil ya tahlilan, yang hafal Al Fatihah ya baca itu berulang-ulang. Jadi mengajinya tidak seragam, ya sekenanya, sebisanya ayat suci mana mereka hafal ya mereka lafalkan masing-masing. Yang perempuan qiraahnya bagus sekali, dia satu-satunya perempuan di situ," tuturnya.
Dibanding korban lainnya, korban perempuan terlihat merupakan orang berada bila dilihat dari dandanannya.
"Mereka mengenakan baju merah muda, dan jarik. Gelang, kalung, dan cincin yang dipakainya menampakkan kalau ia ini orang berada," selorohnya.
4. 12 Orang
dieksekusi dengan senjata brem
Menurut Mbah Supar,
eksekusi direncanakan pukul 01.00 WIB dini hari. Namun lantaran pukul 00.30 WIB
sudah sangat mendung, eksekusi dimajukan.
"Saya sempat menoleh karena tidak tega, tapi dibentak dan diminta melihat," ungkapnya.
Korban dieksekusi dua eksekutor dengan senapan brem, dan langsung jatuh ke lubang kuburan massal. Setelah itu hujan amat deras, dan korban ditinggal begitu saja, tidak diuruk tanah.
"Saya mencari warga yang mungkin bisa membantu mengubur tapi tidak berhasil. Saat itu hujan menjadi amat deras. Lantas saya diajak makan oleh yang mengeksekusi itu di dekat pasar. Tapi saya tidak doyan makan sampai dua hari gara-gara melihat kejadian itu," ucapnya.
"Saya sempat menoleh karena tidak tega, tapi dibentak dan diminta melihat," ungkapnya.
Korban dieksekusi dua eksekutor dengan senapan brem, dan langsung jatuh ke lubang kuburan massal. Setelah itu hujan amat deras, dan korban ditinggal begitu saja, tidak diuruk tanah.
"Saya mencari warga yang mungkin bisa membantu mengubur tapi tidak berhasil. Saat itu hujan menjadi amat deras. Lantas saya diajak makan oleh yang mengeksekusi itu di dekat pasar. Tapi saya tidak doyan makan sampai dua hari gara-gara melihat kejadian itu," ucapnya.
5. Seorang
perempuan masih hidup usai diberondong brem
Mbah Supar mengaku
kalau pagi hari warga yang menguruk kuburan massal itu mengira urukan tanahnya
tidak rata, sebetulnya itu adalah tanah galian di bibir kuburan massal yang
jatuh ke lubang kuburan massal lantaran terbawa air hujan yang deras.
"Yang perempuan itu tidak langsung meninggal, badannya masih gerak-gerak waktu kami tinggalkan," akunya.
Saksi lainnya, Mbah Sukar (81), warga Kampung Plumbon, Kelurahan Wonosari, yang menguruk tanah kuburan massal, pagi hari pasca eksekusi ia dan warga yang menata tanah mendapati badan korban perempuan masih gerak-gerak.
"Karena kasihan, kami langsung menguburnya," pungkasnya pendek
"Yang perempuan itu tidak langsung meninggal, badannya masih gerak-gerak waktu kami tinggalkan," akunya.
Saksi lainnya, Mbah Sukar (81), warga Kampung Plumbon, Kelurahan Wonosari, yang menguruk tanah kuburan massal, pagi hari pasca eksekusi ia dan warga yang menata tanah mendapati badan korban perempuan masih gerak-gerak.
"Karena kasihan, kami langsung menguburnya," pungkasnya pendek
Sumber: Merdeka.Com
0 komentar:
Posting Komentar