Minggu, 10 Februari 2019

10 Februari 2010 | Amir Pasaribu Dicap Lekra, Lagunya Disayang Tentara

Oleh: Petrik Matanasi - 10 Februari 2019

Ilustrasi Mozaik Amir Pasaribu. tirto.id/Deadnauval

Amir Pasaribu adalah seniman yang pernah di Lekra, tapi karyanya selalu ada dalam upacara militer TNI.

Andhika Bhayangkari adalah lagu yang punya riwayat unik. Lagu ciptaan Amir Pasaribu ini bukan lagu sembarangan bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Lagu ini adalah lagu penting dalam upacara resmi kenegaraan, termasuk dalam Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih di Istana Negara setiap 17 Agustus. Lagu mars defile TNI ini sudah ada sejak TNI masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

“Saya buat lagu Andhika Bhayangkari pesanan ABRI,” kata Amir Pasaribu—seperti dikutip Eritha Rohana Sitorus dalam Amir Pasaribu: Komponis, Pendidik & Perintis Musik Klasik Indonesia (2009:84) dari Kompas(09/06/1996).

Amir Pasaribu mengaku menciptakan sekitar 40 lagu dan pernah mendapat pesanan lagu-lagu perjuangan oleh Soejoso Karsono, sang pendiri dan pemimpin Irama Record.

Siapa sebenarnya Amir Pasaribu? Ia dikenal sebagai musisi hebat, menurut Subagio Sastrowardoyo dalam Bakat alam dan Intelektualisme: Kupasan dan Tanggapan Sastra (1983:70), Amir Pasaribu termasuk seniman yang tergabung bersama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

“Amir Pasaribu adalah seniman Lekra yang bahu-membahu dengan PKI memperjuangkan apa yang mereka sebut 'Kebudayaan Rakjat',” kata Muhidin M Dahlan.

Bagi Amir Pasaribu, seorang seniman sangat penting untuk juga berpolitik. Di koran milik PKI, Harian Rakyat (13/04/1957), seperti dikutip Muhidin M Dahlan di Koran Tempo, (08/07/ 2014), disebutkan bahwa Amir pernah bilang: “1.000 kali seniman tak berpolitik, 1.000 kali pula politik mencampuri seni dan seniman.”

Di Indonesia, Lekra identik dianggap sebagai organisasi yang jadi bagian Partai Komunis Indonesia (PKI), dan tentu berseberangan dengan tentara.

Saat Lekra sempat dibenci setengah mati oleh tentara, anehnya, lagu ciptaan seorang yang pernah bergelut di Lekra justru dipakai oleh ABRI. Salah satunya lagu Amir yang berjudul Andhika Bhayangkari. Juga Sudharnoto yang menciptakan lagu Garuda Pancasila. Dua lagu itu nampaknya sulit tergantikan sebagai lagu "wajib" di lingkungan tentara.


Amir Pasaribu terlahir sebagai anak asisten wedana, Mangaraja Salomon Pasaribu, di Siborong-borong, Sumatra Utara, pada 21 Mei 1915. Posisi ayahnya memungkinkan Amir bersekolah di sekolah berbahasa Belanda macam HIS atau ELS, lalu ke MULO dan akhirnya ke Kweekschool (sekolah guru) di Bandung. Di sekolah menengah, Amir banyak membaca karya-karya sastra, setidaknya 23 karya sastra. Ia juga dekat dengan dunia musik.

Kehidupan orang Kristen Batak sangat dekat dengan musik Barat. Sedari kecil, Amir sudah terbiasa dengan musik Barat. Di gereja selalu ada musik. Ada paduan suara atau alat musik. Di rumahnya pun, sewaktu kecil, keluarganya punya orgel harmonium (semacam kibor non listrik) dan juga gramafon (pemutar piringan hitam). Berawal dari gramafon, seperti dicatat oleh Erhita Rohana Sitorus (2009:14) membuat lagu-lagu Jerman dan klasik terngiang dan masuk ke kuping Amir. Ketika masih di sekolah dasar, Amir sudah bisa bermain alat musik.

“Saya suka Debussy, Ravel, Fuga dan Bach. Saya memainkan lagu-lagu dari Debussy dan Ravel. Saya suka Perancis. Rameau saya juga suka,” kata Amir Pasaribu, seperti tercatat dalam buku Amir Pasaribu: Komponis, Pendidik & Perintis Musik Klasik Indonesia (2009:16).

Amir saat masih kecil tak hanya doyan musik tapi juga senang makan, sehingga ia senang sekali ketika bersekolah di Padang. “Saya merasa sebagai manusia,” katanya.

Frater Yustianus sosok yang mengajarinya main biola dan piano. Amir saat pada usia senja sempat mengenang ”saat main, saya merasa hilang dan masuk ke dunia lain.”

Akhirnya ada masa di mana Amir muda bermain di hadapan khalayak ramai. Tentu saja tampil bermain musik dengan sebaik-baiknya, bagi beberapa musisi, sebetulnya sebagai ajang latihan juga. Semakin banyak tampil tandanya sudah banyak latihan. Ada masa di mana pada sore hari Amir bermain di hadapan pegawai-pegawai di kebun teh Belanda. Banyak kebun teh di sekitar Bandung, tempat Amir belajar di Kweekschool. Amir mengaku penghasilannya sebagai musisi melebihi pekerja kantoran pada zamannya.

“Bayarannya hebat, lima ringgit sekali main. Seminggu sekali saya main. Dengan uang sebanyak itu saya bisa beli sepatu Bally. (Padahal) waktu itu Zaman Meleset (masa depresi ekonomi 1929),” kata Amir. Di zaman pasca-depresi ekonomi, kehidupan ekonomi di Hindia Belanda masih terbilang merosot. 

Amir kemudian tak hanya bermain dan belajar musik di Hindia Belanda. Menurut Eritha Rohana Sitorus (2009:27), ia juga belajar ke Jepang, di Musashino Music School selama 3,5 tahun. Di Jepang, Amir pernah jadi pemain cello di orkes simfoni Hibia Hall.

Selain ke Jepang, negara yang pernah ditinggali Amir adalah Suriname. Di sana dia menjadi dirinya lagi, bermusik. Dia di sana sekitar tiga dekade, waktu orde baru jaya-jayanya berkuasa. Soal mengapa Amir di sana dan baru pulang ke pada 1995, hanya Amir yang tahu alasannya.
Pada 1940, Amir baru pulang dari Jepang dan singgah di Jakarta. Ia kemudian menjadi pemain cello di Orkes Radio Batavia. Gajinya tetap tinggi, 360 gulden. Jumlah yang amat besar dan Amir bisa beli mobil. Namun, kehidupan nyaman di era Hindia Belanda akhirnya berganti.

Waktu serdadu Jepang hendak datang menyerang Hindia Belanda, Amir sempat jadi guru musik di Kweekschool di Jakarta. Di zaman Jepang, Amir bekerja di Lembaga Kebudayaan Jepang (Keimin Bunka Sidhosa). Saat itu musik barat macam Jazz atau Hawaiian dilarang.

Namun, musik klasik masih diperbolehkan oleh militer Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Amir bekerja di bagian musik Radio Republik Indonesia (RRI). Di mana Cornel Simanjuntak, musisi dan komponis Republik yang mati muda, adalah salah satu kawannya.

Selain bermusik, Amir juga banyak menulis soal musik. Di antaranya: Menudju Apresiasi Musik, Riwajat Musik dan Musisi, Analisis Musik Indonesia dan Teori Singkat Tentang Musik. Amir cukup mengikuti perkembangan musik di Indonesia. Amir termasuk komponis yang pernah menang sayembara membuat lagu. Lagu Andhika Bhayangkari ciptaannya memposisikan Amir sebagai musisi yang tak sembarangan.
Ihwal lagu Andhika Bhayangkari, seperti dicatat Eritha Rohana Sitorus (2009:112-113) berdasar skripsi Yola Mathilde, Lagu Gending Sriwijaya dan Penggarapannya Dalam Variasi Sriwijaya oleh Amir Pasaribu (1993:51) disebutkan bahwa menurut JA Dungga; “Amir Pasaribu memenangkan lomba membuat lagu dalam rangka Hari Angkatan Perang ketujuh (5 Oktober 1952) yang diadakan oleh Kementerian Pertahanan Staf Angkatan Perang. Lagunya berjudul Andhika Bhayangkari.”

Selain menang sayembara, lagu ciptaannya jadi lagu abadi bagi TNI. Dalam upacara militer dengan gagah korps musik militer membawakan Andhika Bhayangkari dengan gagah.

Andika Bayangkari pencipta
Sapta Marga Pancasila mulai jadi
Negara mulia Bhinneka Tunggal Ika
Lambang bangsa satria
Menuju nusantara
Bahagia jaya, bahagia jaya


Setelah akhir hayatnya pada 10 Februari 2010 lagu ciptaannya Andhika Bhayangkari tetap terngiang, dan orang bisa jadi lupa latar siapa Amir Pasaribu.

Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra

0 komentar:

Posting Komentar