Kamis, 28 April 2011

Cerita Pendek Dariyun

Kamis, 28 Apr 2011 12:29 WIB



Namlea - Sebuah patung tentara setengah badan berdiri di areal persawahan, di Desa Wanakarta, Kecamatan Waeapo. Pada prasasti di bawah patung tertulis, Telah gugur di tempat ini Pelda Panita Umar, Prajurit Sapta Margais Kodam XV Pattimura tanggal 6 Oktober 1972 jam 13.30 WIT, di dalam menjalankan tugas demi pengabdiannya kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila.

Patung ini bukan hanya untuk menghormati Pelda Panita Umar, tetapi lebih dari itu, patung ini ternyata juga sebagai catatan hitam.  Begitu jasad Panita ditemukan tewas dengan tangan terputus, maka tanpa penyelidikan, hari itu juga segera saja 12 orang tahanan politik penghuni barak Unit 5 diciduk. Empat orang ditembak mati, sisanya berhasil melarikan diri,  tetapi empat orang kemudian juga ditemukan mati di Namlea. Sedang sisanya lagi yang empat orang,  berbulan-bulan kemudian baru ditangkap dan langsung dieksekusi.

Gugurnya Pelda Panita Umar menggetarkan sekitar 12 ribu tahanan politik yang menghuni 20 unit barak penampungan di Pulau Buru. Siapa pun bekas tapol yang saat ini masih hidup, pasti tergetar hatinya apabila ditanya tentang peristiwa itu. Karena perlakuan yang dialami oleh seluruh tapol akibat tewasnya Pelda Panita Umar dirasakan amat luar biasa.  Sampai saat ini tidak pernah ada penyelidikan mendalam tentang kematian Pelda Panita Umar. Ia dinyatakan gugur saat menjalankan tugas, dan patungnya bisa dilihat oleh siapapun yang melintas di jalan raya penghubung  Kabupaten Buru dengan Kabupaten Buru Selatan.


Dariyun Suwardi Saiin, 72 tahun, mantan tapol yang setelah dibebaskan lebih memilih tetap tinggal di Pulau Buru daripada pulang ke Cianjur, Jawa Barat, hanya menghela nafas panjang ketika disinggung kembali  peristiwa terbunuhnya Penita Umar. 

 "Sudahlah, saya  kembali merasa sakit kalau mengingat apa yang diterima sebagian besar tahanan setelah peristiwa itu. Saya dan beberapa teman yang masih hidup di sini sudah melupakannya," kata Dariyun, yang sekarang tinggal di Desa Savana Jaya, Kecamatan Waeapo.
Dariyun lebih senang menatap masa depan di sisa usianya. Karena itulah, ketika bulan November 1979 sekitar 12 ribu tahanan dibebaskan, ia bersama 300 temannya memilih tetap tinggal di Pulau Buru. Sebab bersama para transmigran yang mulai didatangkan, para bekas tapol itu memperoleh 2,5 hektar tanah yang terdiri dari 1 hektar sawah, 1 hektar ladang ditambah 0,5 hektar pekarangan untuk mendirikan rumah.  

 "Dari 300 orang yang memilih tetap di sini, lebih dari 50 orang telah meninggal," kata Dariyun hari Rabu (6/4/2011) petang.
Menikah kedua kalinya dengan Rininta di Pulau Buru, Dariyun yang bersama istrinya membuka warung makan sederhana dikaruniai 3 anak, masing-masing Astriani Saraswati, Diyanti Wulaningrum dan si bungsu Dimas Rangga yang masih berusia 7 tahun. 

 "Merekalah masa depan saya. Kalau saya sendiri sudah hampir selesai," kata Dariyun sambil memeluk anak bungsunya, Dimas Rangga.
Rangga merengek. Ia minta dibuatkan mie rebus. Dariyun segera bangkit dan masuk ke warungnya. Tak lama kemudian ia keluar sambil membawa semangkuk mie rebus panas yang diserahkan kepada anaknya. Rangga segera melahapnya. 

 "Tunggu sebentar, biar dingin dulu," kata Dariyun pada Rangga. 
Saat menikah dengan Rininta tahun 1985, usia Dariyun 42 tahun, sedang istrinya berumur 22 tahun. Rininta  putri Kapten Busono, intel Kodam Pattimura.  

 "Waktu hendak menikah, saya banyak diprotes teman-teman ayahnya. Mengapa anak tentara dikawinkan dengan bekas tapol. Saya bilang, yang menjalani dan ayahnya saja tidak keberatan, kok orang lain yang protes. Memangnya kalau bekas tahanan politik juga tidak boleh menikah, tanya saya pada mereka," cerita Dariyun.
Sebenarnya waktu diciduk dari rumahnya tanggal 28 November 1965 oleh aparat  Koramil Kecamatan Pacet, Cianjur, Dariyun sudah mempunyai istri dan seorang anak, Tavip Budiawan, yang saat itu masih berusia 1 tahun. 

 "Tahun 1967 ketika saya masih ditahan di Kodim Cianjur, istri saya datang bersama seorang tentara. Ia minta saya menceraikannya karena mau kawin dengan tentara yang mengantarnya itu. Ya sudah, kalau sudah seperti itu buat apa dipertahankan," kata Dariyun.
Selama 4,5 tahun Dariyun ditahan di Kodim Cianjur. Kemudian dipindahkan ke Nusa Kambangan. Setelah 4 bulan di Nusa Kambangan, pertengahan 1970 dengan KRI Ujung Pandang Dariyun bersama tahanan-tahanan lainnya dibawa ke Pulau Buru. 
 "Dari tahun 1970 sampai sekarang  saya belum pernah meninggalkan Pulau Buru. Kalau nanti saya meninggal, saya ingin dikuburkan  di pulau ini," kata Dariyun sambil mengelus kepala Dimas Rangga yang asyik melahap mie rebusnya. 

 "Tapi sebelum meninggal, saya ingin menengok Cianjur. Anak saya dari istri pertama, Tavip Budiawan yang sekarang bekerja di Singapura, sudah janji mau ngajak saya menengok kampung," tambahnya.
Laki-laki  jangkung ini mengaku ditahan dengan alasan yang tak jelas. 

 "Saya dulu bekerja di perkebunan teh  Ciseureuh, Cipanas, Cianjur, milik PT Mulia. Seperti kebanyakan buruh lainnya, terus terang saya ikut serikat buruh perkebunan Sarbupri yang mungkin dianggap underbouw PKI sehingga saya diciduk Koramil," cerita Dariyun.
"Tetapi selama penahanan, baik di Kodim Cianjur, di Nusa Kambangan maupun  di Pulau Buru, hanya ada tiga pertanyaan yang harus saya jawab dan saya akui, yaitu kamu latihan di Lubang Buaya, kamu anggota PKI atau Pemuda Rakyat,  dan mana senjata yang kamu miliki. Sampai sekarang saya tidak pernah bisa menjawab ketiga pertanyaan itu," tambahnya. "Tapi sudahlah, bertahun-tahun saya ditahan tanpa diadili, adalah juga masa lalu saya. Masa depan saya adalah anak ini," kata Dariyun sambil memeluk Dimas Rangga, yang telah menghabiskan mie rebusnya.
Suara azan Maghrib berkumandang. Begitu azan berhenti, Desa Savana Jaya yang memang tenang   karena tak banyak orang dan kendaraan berlalu lalang di jalan raya, terasa semakin sepi. Di alun-alun, sebuah bangunan besar dengan atap seng dan tiang kayu tak lagi berdinding, nampak gelap dan menyeramkan. Beberapa ekor kuda dan lembu masih merumput meskipun hari mulai gelap. Bangunan semi permanen yang tak lagi berfungsi ini adalah bekas gedung kesenian untuk berbagai kegiatan para tapol.

Desa Savana Jaya, ketika masih dihuni para tapol lebih dikenal dengan sebutan Unit 14. Unit ini pada tanggal 20 Juni 1972  diresmikan namanya menjadi Desa Savana Jaya. Peresmian dilakukan oleh Jenderal M. Panggabean yang ketika itu menjadi Panglima ABRI. Berbaur dengan para transmigran, bekas para tapol, termasuk Dariyun, kini menghabiskan hidup dengan bertani.

Hasil pertanian  bekas para tahanan politik dan para transmigran itu menjadikan Pulau Buru sebagai lumbung padi bagi Provinsi Maluku. Selain hidup tenang, mereka juga bisa hidup dengan layak. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang berhasil, sehingga di Desa Savana Jaya maupun desa-desa lainnya yang dihuni bekas tapol dan transmigran seperti desa Waefele, Waekerta, Kubalahin dan Mako, bisa dijumpai rumah-rumah mewah dengan arsitektur  modern, dengan mobil parkir di garasinya.
"Para bekas tapol dan transmigran memang memberi kontribusi cukup besar bagi perekonomian Pulau Buru, khususnya  Kabupaten Buru. Mereka adalah andalan kami untuk sektor pertanian, karena penduduk asli di sini memang tidak ada yang bertani," kata Bupati Buru, Husni Hentihu, di rumah dinasnya hari Rabu (6/4/2011) malam pekan lalu.  


"Di era demokrasi sekarang ini, kewajiban dan hak untuk setiap warga negara adalah sama," tambahnya.
(asy/asy)

NewsDetik 

0 komentar:

Posting Komentar