Rabu, 27 April 2011

Membongkar Sejarah Makam Kalibata

Bonnie Triana | 27 April 2011


Karena dituduh komunis, makam Heru Atmodjo di Kalibata dibongkar. Revanchisme atau ahistorisme?


AWAN mendung menaungi Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Selasa sore, 26 April 2011. Aroma hujan terbawa angin. Bulir-bulir air mulai berjatuhan dari langit. Seorang petugas keamanan yang duduk di depan gerbang utama langsung berdiri dan menanyakan tujuan kedatangan Historia Online.
Merasa tak punya kuasa, dia memanggil rekannya yang lain, yang ternyata juga tak berani memberikan izin masuk ke areal pemakaman. Sejurus kemudian dia menelpon seseorang.
“Ini bapak bicara sendiri saja pada atasan,” katanya sambil menyodorkan handphone Nokia type E71 miliknya.
“Lapor dulu ke Garnizun Kodam Jaya di Gambir dan Depsos, kalau sudah ada surat izin nanti baru bisa masuk,” kata suara di ujung telpon kepada Historia Online.  
Kabar pembongkaran makam Letkol. (Pnb) Heru Atmodjo yang wafat pada 29 Januari itu telah banyak diberitakan media massa. Pembongkaran makam dan pemindahan jasad orang yang disebut-sebut terlibat peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 itu pun jadi topik hangat di berbagai situs jejaring sosial. Gencarnya pemberitaan membuat pengelola makam jadi tertutup dan hati-hati menerima pengunjung. Makam Heru dibongkar pada Jumat malam, 25 Maret 2011. Jasadnya diterbangkan ke Surabaya dan dikuburkan kembali pada 26 Maret di Sidoarjo, tepat di sebelah pusara ibunya.

Dari siaran pers yang dikirim oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 disebutkan bahwa pemindahan jenazah Alm. Heru Atmodjo dilakukan oleh keluarga dalam keadaan terpaksa. Tak beberapa lama setelah Heru dimakamkan, sekelompok orang yang menamakan diri Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) berunjuk rasa di kantor DPRD Jawa Timur  pertengahan Maret lalu. Mereka menganggap jenazah Heru Atmodjo tidak layak dimakamkan di sana karena dia komunis yang terlibat dalam  G30S 1965. 
Tak lama kemudian tujuh aparat tentara Angkatan Darat yang mengaku dari Markas Besar TNI di Cilangkap –berpakaian dinas dan sipil– mendatangi pihak keluarga dan meminta paksa agar mereka memindahkan jenazah Alm. Heru Atmodjo. Pihak keluarga yang merasa tertekan akhirnya terpaksa memindahkan jenazah Heru.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam suratnya kepada Panglima TNI Republik Indonesia Laksamana TNI Agus Suhartono mempertanyakan pembongkaran dan pemindahan itu. Menurut KontraS, sebagai pemegang Gelar Bintang Gerilya Heru berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. 
“Apabila terjadi  pemindahan makam jenazah almarhum maka seharusnya  melalui keputusan hukum yang setara, baik dengan keputusan hukum pemberian Gelar Bintang Gerilya maupun keputusan hukum yang dikeluarkan untuk pemakaman di Taman Makam Pahlawan,” kata Kordinator KontraS Haris Azhar dalam surat bertanggal 27 April 2011 itu.  
Dalam surat yang sama KontraS mengatakan dugaan keterlibatan Heru Atmodjo dalam peristiwa G30S/PKI tidak bisa hanya didasarkan pada stigma, kecurigaan dan desakan pihak-pihak tertentu. Tetapi harus dilihat dalam fakta sejarah yang proporsional dan menyeluruh. 
“Dan dalam hal ini,” demikian surat KontraS, “almarhum telah membantah tentang keterlibatannya dalam G30S/PKI. Lebih jauh dari itu sampai saat ini belum ada proses pengadilan yang fair dan jauh dari intervensi politik ataupun upaya pengungkapan kebenaran terhadap mereka yang dituduhkan terlibat dalam peristiwa G30S/PKI.”
Dampak dari stigmatisasi komunis yang dilakukan pemerintah Orde Baru selama puluhan tahun masih terjadi sampai hari ini. Beberapa tahun lalu, ketika sekelompok keluarga korban pembunuhan massal 1965 bermaksud menggali kubur orangtua mereka di daerah Wonosobo pun mendapat hambatan dari sejumlah warga yang menolak penggalian itu. Keributan tersebut sempat direkam dalam film Mass-Grave karya Lexy Rambadeta. Stigmatisasi terhadap komunisme berdampak pada cara pandang yang tak seimbang dan main pukul rata dari kelompok-kelompok tertentu terhadap sejarah eksistensi gerakan kiri di negeri ini.

Alergi terhadap komunisme, sebagai musuh kolektif zaman Orde Baru, terbawa sampai sekarang. Serangan yang dilakukan kelompok-kelompok fundamentalis terhadap apa yang mereka sebut sebagai komunis pun tak jelas berdasar apa: apakah mereka melakukan itu karena menganggap komunis itu atheis yang bertentangan dengan akidah Islam atau karena tuduhan keterlibatan PKI dalam peristiwa G30S 1965? Agaknya kedua tuduhan itu diberlakukan pada kasus Heru Atmodjo: seorang komunis-atheis yang terlibat dalam peristiwa G30S 1965 tak pantas dimakamkan di makam pahlawan sekelas Kalibata.

Tentu saja pandangan demikian tak lepas dari peran Orde Baru yang menjadikan sejarah sebagai alat legitimasi belaka. Penyeragaman versi sejarah telah menyeragamkan pemahaman orang pada peristiwa sejarah yang pernah terjadi, khususnya tentang peristiwa G30S 1965 dan secara umum pada sejarah gerakan kiri di Indonesia. Semua yang berlabel komunis disetarakan dengan pemberontak nista yang tak layak dicatat dalam sejarah, dihargai jasa-jasanya dan bahkan dikubur di pemakaman pahlawan.

Di taman makam pahlawan Kalibata sendiri terdapat makam ribuan tokoh, baik yang bergelar pahlawan maupun yang mendapatkan bintang mahaputra. Sebagian besar militer. Belakangan setelah tokoh veteran perang kemerdekaan menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, veteran pun boleh dimakamkan di TMP Kalibata. Karena alasan itu pula Heru Atmodjo, yang pernah terlibat dalam perang kemerdekaan, dimakamkan di sana.

Lantas siapa saja yang dimakamkan di Kalibata? Apakah makam ini dibangun khusus untuk orang-orang antikomunis?

TMP Kalibata, Jakarta Selatan, mulai dibangun pada 1953. Gerbang utama TMP didesain oleh arsitek masyhur Frederich Silaban yang juga pernah mendesain masjid Istiqlal. Sebelum dibangun di Kalibata, taman makam pahlawan terletak di Ancol. Namun karena kawasan tersebut semakin sumpek, Presiden Sukarno memerintahkan pemindahan makam pahlawan ke Kalibata. Tepat pada hari pahlawan 10 November 1954, Presiden Sukarno meresmikan TMP Kalibata sebagai tempat pemakaman yang baru menggantikan Ancol.

Kerangka para pahlawan yang sebelumnya dikubur di Ancol pun dipindahkan ke Kalibata. Selain Haji Agus Salim ada ratusan jasad pahlawan yang dipindah kuburnya ke Kalibata, di antaranya adalah mereka yang di tembok nama disebut sebagai “Pahlawan Kapal Tujuh.” Ada 21 orang pahlawan dari Kapal Tujuh atau kapal Zeven Provincien yang dikubur di TMP Kalibata. Mereka adalah: Martin Paradja (tertulis di tembok nama TMP Kalibata “Paradja”), Gosal, Rumambi, Kuluot, Kesehung, Getinoatu, I Duwan Njoman, Aritonang, Amir, Moh. Basir, Suwandi, Sugino, Sakam, Miskam, Misman, Sukimin, Sukirto, Simun, Sukiran, Jasir dan Kemas Umar.

Pemberontakan kapal Zeven Provincien dipicu oleh pengumuman pemerintah kolonial pada 1 Januari 1933 untuk menurunkan gaji pegawai sebesar 17 persen. Akhir Januari, ratusan pelaut di Surabaya berunjuk rasa menentang keputusan itu. Kapal Zeven Provincien yang sedang berpatroli di Aceh pun mendengar kabar unjuk rasa tersebut. Adalah Maud Boshart, kelasi Belanda pro Indonesia, yang pertama kali mendengar berita itu dari ruang komunikasi di kapal. Dia membocorkan info itu kepada para pelaut Indonesia.

Pelaut Indonesia seperti Martin Paradja, Rumambi, Hendrik dan Gosal yang tersulut oleh berita aksi pemogokan di Surabaya diam-diam mengadakan rapat saat kapal merapat di Pelabuhan Sabang, Aceh. Beberapa kelasi Belanda pimpinan Maud Boshart turut dalam rapat itu. Para kelasi Indonesia dan segelintir kelasi Belanda pro Indonesia sepakat untuk melancarkan pemberontakan serta menguasai kapal. Usai rapat mereka menyanyikan lagu “Internasionale”, lagu wajib yang biasa dibawakan oleh gerakan buruh dan komunis. 

Pada 4 Februari 1933, pukul 22:00 malam, pemberontakan dimulai bersamaan dengan bunyi tiupan peluit. Pemberontak berhasil menguasai kapal selama seminggu. Pemerintah mengirim dua kapal perang dan beberapa pesawat pembom. Karena menolak menyerah, pesawat membom kapal Zeven Provincien. Martin Paradja, pemimpin pemberontakan tewas seketika. 
Begitu juga dengan 20 kelasi Indonesia dan 3 kelasi Belanda. Keduapuluh kelasi Indonesia yang tewas (plus Martin Paradja) itulah yang dimakamkan di Kalibata.  
Kapal dapat kembali dikuasai pemerintah. Sejumlah pemberontak yang masih hidup ditangkap dan diadili. Maud Boshart dijatuhi hukuman 16 tahun penjara dan Kawilarang, juga pemimpin pemberontak, dihukum 18 tahun penjara. Pemerintah kolonial menuduh keterlibatan gerakan komunis dalam pemberontakan itu.

Selain para pemberontak kapal Zeven Provincien, juga ada tokoh kontroversial lain yang juga dimakamkan di TMP Kalibata. Dia adalah Adam Malik. Tokoh politik pengikut Tan Malaka dan anggota partai Murba itu sempat dituduh jadi agen CIA di Indonesia. Dalam sebuah laporan rahasia CIA, Adam disebut-sebut sebagai “seorang Marxis”. 
Sampai saat ini ajaran Karl Marx dilarang di Indonesia, tentu juga tabu mengaku secara terbuka sebagai seorang Marxis. Adam Malik mencapai puncak karier politiknya sebagai wakil presiden. Di masa mudanya dia dikenal termasuk pemuda kiri yang progresif dan terlibat di dalam pusaran arus revolusi Indonesia.

Dari sekian tokoh yang dimakamkan di TMP Kalibata yang paling menarik dibahas adalah Alimin. Alimin bin Prawirodirdjo lahir di Solo pada 1889 dan wafat di Jakarta, 24 Juni 1964. Alimin salah satu dari sekian tokoh utama di balik berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Pascapemberontakan PKI 1926, Alimin pergi ke Moskow, Uni Soviet untuk bergabung dengan organisasi komunis internasional, Komintern. 
Sebagai tokoh komunis terkemuka dia bersahabat baik dengan Ho Chi Minh, pemimpin partai komunis Vietnam yang melancarkan perang melawan Amerika Serikat pada saat negeri Paman Sam itu menginvasi Vietnam. Alimin pulang ke Indonesia pada 1946. 
Ketika PKI mulai berada di bawah kendali triumvirat Aidit-Njoto-Lukman, Alimin tersingkir dari pucuk kepemimpinan partai namun sesekali kader-kader muda PKI menyambanginya untuk sekadar mendapat nasihat darinya. Dia meninggal pada 1964 dan karena jasa-jasanya berjuang melawan Belanda Alimin dimakamkan di TMP Kalibata.
“Dia jelas komunis. Saya sempat melihat fotonya dipasang di ruang perpustakaan di TMP Kalibata karena di sana ada beberapa foto para pahlawan yang dikubur,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
Presiden Sukarno menetapkan bahwa semua orang yang terlibat di dalam pemberontakan PKI 1926 diangkat sebagai perintis kemerdekaan. Mereka mendapatkan piagam penghargaan dan pemerintah, melalui Departemen Sosial, memberikan tunjangan pensiunan sebagai veteran kepada mereka yang terlibat di dalam pemberontakan melawan Belanda itu. Sementara itu dalam buku putih terbitan Sekretariat Negara zaman Moerdiono jadi Mensesneg pemberontakan PKI 1926 direken sebagai bibit awal tradisi memberontak yang dimiliki oleh PKI. 

Pada buku itu disebutkan bahwa PKI telah memberontak sebanyak tiga kali, yakni pada 1926, 1948 dan 1965. Tak dijelaskan pemberontakan 1926 itu ditujukan kepada siapa.

Pembongkaran makam Heru Atmodjo mungkin memuaskan bagi pihak-pihak yang tak menghendakinya dikubur di sana. Mungkin pula mengecewakan bagi mereka yang yakin bahwa Heru layak dimakamkan di TMP Kalibata. Namun lebih dari semua, pembongkaran makam Heru yang belum genap seratus hari itu –dan baru pertama kali terjadi sepanjang sejarah– menjelaskan bahwa kita tak pernah berani menatap masa lalu. 
Sekaligus menunjukkan sisi ketidakjujuran kita memandang sejarah: bahwa seorang komunis pun pernah punya jasa bagi negeri ini sebagaimana pejuang Republikein yang berjibaku menentang penjajahan di bawah panji-panji agama: Islam, Kristen, Hindu, Budha apa pun agamanya demi Republik Indonesia. Dan tentu karena negara ini berdiri untuk semua golongan.

Sumber: Historia 

0 komentar:

Posting Komentar