5 May, 2015 | Kang Putu
Sebegitu ingin tahukah engkau apa yang kupikirkan saat ini?
Saat anak-istriku telah terlelap dalam tidur, saat aku merasa waktu begitu
berharga sehingga eman-eman untuk sekadar merebahkan diri di samping-menyamping
mereka? Padahal, tubuh dan pikiran sudah teramat letih, teramat sayah, tetapi
pada saat yang sama muncul keinginan bertahan saja sebentar: sebelum sepertiga
malam menghilang.
Angin mati dan suara jengkerik tenggelam dalam dingin dan
kabut dini hari. Pada saat-saat seperti ini aku acap terjerat masa lalu, masa
yang kelam, masa penuh kenyerian. Masa ketika kecengengan tak beroleh tempat,
masa ketika penderitaan tak layak dikenang dan dikisahkan ulang. Karena, bahkan
untuk mengaku sebagai korban pun butuh keberanian dan kemampuan menanggung
penistaan.
“Hei! Siapa mengetuk-ngetuk batok kepalaku?”
Suara itu
bersipongang, serupa raungan yang memantul-mantul membantun di dinding
tengkorak.
“Apa yang dia alami, dialami juga banyak perempuan lain. Mereka
dicincang berulang-ulang. Tubuh mereka dipentang macam kulit sapi, lalu
dilindas tubuh-tubuh yang terus-menerus meneriakkan tuduhan.”
Begitulah suara
itu mendremimilkan kisah yang dipungut entah dari tebing ingatan siapa.
Aku tak tertarik mendengar, tetapi harus mendengar, terpaksa
mendengar. Dan, itu menyakitkan. Kau tahu itu.
Ketika mereka tak lagi bisa melawan, sedang pikiran merasa diri sendiri begitu kotor, tak ada pilihan lain kecuali manda saja membiarkan diri digelandang ke mana pun, lalu berharap suatu saat bisa dikubur di lubang yang sama yang kata kawan-kawan telah ditempati tubuh para suami mereka. Lubang-lubang yang digali secara tergesa-gesa dan sembarangan. Di sanalah, di lubang-lubang itu, tubuh mereka dikuburkan. Tanpa doa, tanpa upacara.
Sekarang, ketika merasa menemu kuburan mereka, apa pula yang
kaurasakan? Apa pula yang kauharapkan?
Kaupikir gampang saja bagi kami melupakan sepenggal masa yang menjungkirbalikkan kehidupan, lalu dengan riang gembira memberikan kesaksian bahwa kami, ya kami, bergenerasi-generasi menjadi korban tanpa pernah tahu apa sesungguhnya kesalahan kami? Kaupikir mudah saja untuk mengaku bahwa benar dialah itu, dia yang dikubur di liang tanpa nisan itu, adalah bapak kami, ibu kami, saudara kami, tanpa dihinggapi ketakutan?
Tahukah kamu, bahkan sekarang pun aku selalu merasa
sekonyong-konyong nyawaku bisa meruap begitu saja, entah di tangan siapa.
Setiap hari, di mana pun, aku merasa dikuntit seseorang tak dikenal yang selalu
mencatat apa saja yang kuucapkan, selalu merekam apa saja yang kulakukan.
Oh, kau tak pernah tahu itu, tak pernah menyadari: telah
berpuluh-puluh tahun aku mencari tubuhku. Dan, kini, ketika kaubilang telah
menemu liang berisi belasan mayat itu, mengembanglah harapanku. Siapa tahu
itulah kuburanku. Namun, jangan paksa aku mengakui itulah tubuhku. Jangan paksa
aku.
Itulah nukilan dari kumpulan cerpen “Penjagal Itu Telah
Mati” karya Gunawan Budi Susanto. Cerpen-cerpen dalam buku berkisah tentang
berbagai perkara pasca-1965: antara lain kubur yang lenyap dan dilenyapkan
dalam sejarah kelam bangsa kita. Buku ini diberi pengantar oleh Soesilo Toer,
penyintas, adik kandung Pramoedya Ananta Toer, serta bergambar sampul lukisan
“30 September” karya Dadang Christanto. Buku yang diterbitkan Pataba Press
Blora ini diancangkan terbit Juli 2015.
Bersediakah Anda membacanya, kelak?
0 komentar:
Posting Komentar