Selasa, 26 Mei 2015 | 04:35 WIB
TEMPO/Jerry Omona
"Kami ingin nanti tidak ada hal-hal yang bertentangan ketika sudah jadi Undang-Undang," kata Enny di kantornya, Jakarta Timur, Senin, 25 Mei 2015. Dia pun rutin menggelar diskusi dan konsultasi dengan berbagai pihak agar nantinya tidak ada yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang terjadi pada UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau UU Nomor 27 tahun 2004.
Enny berusaha RUU Komisi Kebenaran bisa segera masuk ke Prolegnas DPR secepatnya. "Mendorong paling tidak di masa sidang ini. RUU sudah ada, naskah akademik sudah ada," kata dia.
Menurut Enny, RUU ini sudah memasukkan rekomendasi MK ketika membatalkan undang-undang sejenis pada 2006 lalu. Rekomendasi tersebut yakni mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal. MK juga merekomendasikan agar pemerintah melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
Ahli hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo mengatakan Komisi Kebenaran merupakan transitional justice. Artinya, konsep keadilan yang diadaptasi pada masyarakat yang sedang bertransformasi diri setelah melampaui rezim di mana pelanggaran HAM banyak terjadi. Sehingga, bentuknya bukanlah peradilan khusus. "Dilakukan melalui pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi," ujarnya.
Harkristuti yang ikut menyusun naskah akademik RUU ini mengatakan tujuan utama Komisi Kebenaran untuk melakukan investigasi dan menyusun laporan mengenai pelanggaran HAM masa lalu pada titik waktu tertentu. Komisi Kebenaran juga bisa menyusun rekomendasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu serta pencegahan terjadinya kembali. "Untuk menghindari adanya perpecahan, dendam, permusuhan yang berkelanjutan di masa depan dengan berorientasi pada rasa keadilan masyarakat," ujar Harkristuti.
Dia menyadari dalam Pasal 43 UU Pengadilan HAM merumuskan pengecualian bagi kasus-kasus pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diberlakukannya UU Nomor 26 tahun 2000 harus melalui Pengadilan HAM Adhoc. Meski demikian, kata Harkristuti, Komisi Kebenaran tetap bisa menanganinya.
Ketua Komisi Nasional HAM Hafid Abbas mengatakan pihaknya sudah menyelidiki kasus pelanggaran HAM Berat. Kasus tersebut antara lain Peristiwa 1965, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Lampung 1989, kasus orang hilang 1997-1998, kasus Trisakti 12 Mei 1998, kasus Kerusuhan Mei 13-15 Mei 1998, kasus Semanggi 1 dan 2. Menurut dia, kasus-kasus tersebut harus dibawa ke Pengadilan HAM adhoc. "Untuk kasus 1965 tidak apa-apa dibawa ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," kata Hafid. Dia pun berharap Presiden Joko Widodo menepati janjinya dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM tersebut.
LINDA TRIANITA
https://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/26/078669393/ruu-komisi-kebenaran-dan-rekonsiliasi-siap-ke-dpr
0 komentar:
Posting Komentar