Selasa, 13 Agustus 2019

Marxisme dan Jalan Menuju Fikih Pembebasan


Oleh: Muhammad Al-Fayyadl - 13/08/2019

Muhammad Al-Fayyadl dalam acara diskusi FIkih dan Marxisme | Sumber gambar: Dokumen pribadi

Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Itulah gambaran kehidupan saat ini di bawah sistem kapitalis yang menjangkiti sistem perekonomian global, tak terkecuali Indonesia.

Banyaknya kasus penggusuran rakyat, konflik sumber daya alam, ditambah lagi fenomena eksploitasi buruh atas nama “pasar kerja fleksibel”, menunjukkan bahwa sistem kapitalis telah mencengkeram kebebasan kelas bawah untuk dapat hidup secara manusiawi dan terhormat.

Untuk itu, kru Tanwirul Afkar (TA), Buletin Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, mewawancarai Gus Muhammad Al-Fayyadl (MAF), pegiat Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), alumnus jurusan filsafat kontemporer dari Université Paris 8, Prancis, yang juga pengajar di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo; selepas mengisi kuliah umum berjudul “Fikih dan Marxisme, Menuju Fikih Pembebasan?” di hadapan mahasantri Ma’had Aly Salafiah Syafi’iyah, 11 Januari 2018.

Dengan kapasitasnya dalam ilmu agama maupun wacana sosial-kontemporer, ia mencoba merumuskan suatu konsep fikih yang pro-kaum tertindas. Teks berikut diadaptasikan dari wawancara tertulis yang termuat di Buletin Tanwirul Afkar edisi 538 (Maret 2018) dengan sejumlah revisi dan penyempurnaan untuk para pembaca Islam Bergerak.

TA: Gus, menurut Anda, apakah fikih kita condong kepada kapitalis atau sosialis?

MAF: Sebenarnya tidak otomatis condong kepada salah satunya. Hanya saja, fikih kita kerap terombang-ambing. Pada satu kondisi, produk-produk fikih hasil ijtihad ulama kita di Indonesia terkadang mendukung atau melegitimasi kapitalisme. Dari segala bentuknya, sektor produksi atau lainnya. Kadang di sisi lain, produk fikih mampu menahan laju kapitalisme (melindungi kepentingan rakyat, red.)

Cuma ya itu, apabila kita tidak memiliki kesadaran tentang apa dan siapa yang sebenarnya kita hadapi, maka fikih akan terus terombang-ambing dalam pilihan untuk menentukan keberpihakannya. Padahal saya kira, keberpihakan itu mestinya jelas, yaitu terhadap kaum Mustadl’afin, yakni kalangan yang tertindas atau terpinggirkan, rakyat, atau umat secara luas. Hanya saja, pada tataran metodologis, keberpihakan itu belum semuanya tercermin. Jadi, masih banyak PR untuk menjahit apa yang kurang dari bangunan fikih yang ada.

Dan kita  masih dalam euforia dengan “ekonomi Syariah” yang kita anggap simbol kemaslahatan. Ternyata, di sektor-sektor lain, hal itu belum bekerja. Ekonomi Syariah yang berkembang sekarang—catatan dan kritik saya—baru bergerak di sektor distribusi dan konsumsi, misalnya sertifikasi produk halal, distribusi uang dan penjaman modal yang diklaim non-riba. Tapi di sektor produksi, misalnya, kita lihat berapa kepemilikan tanah oleh swasta, oleh perusahaan, oleh konglomerat. Kita lihat juga milik siapa pabrik-pabrik besar manufaktur dan industri jasa di Indonesia. Itu tidak pernah disentuh oleh fikih.

Poster diskusih Fikih dan Marxisme: Menuju FIkih Pembebasan

Menurut Anda, apa konsep Fikih Mu’amalah yang perlu direkonstruksi?

Hemat saya, kita perlu lebih dulu bertanya, mengapa fikih bisa mandul atau dibuat mandul oleh kapitalisme? Sementara saya punya dua dugaan. Pertama, absennya kesadaran ekonomi-politik (Ekopol) dalam fikih. Dan kedua, karena absennya “materialisme” dalam epistemologi fikih.

Maksudnya, untuk poin pertama, fikih kurang menyadari bahwa penggerak kehidupan sosial adalah ekonomi-politik (Ekopol), yaitu hubungan-hubungan produksi di antara kelas-kelas sosial yang ada dan terus bertarung memperebutkan dominasinya terhadap pihak lain, baik melalui penguasaan ekonomi maupun kekuasaan politik. Fikih cenderung menganggap bahwa kehidupan umat Islam, kehidupan rakyat, sudah berjalan “baik”, tertata, harmonis. Ini karena bias kesadaran sosial yang cenderung melihat hierarki dan perbedaan status sosial sebagai “suratan takdir”. Atau setidaknya realitas kehidupan yang “mengalir” begitu saja. Padahal kan tidak.

Kehidupan sosial itu sarat dengan relasi yang timpang, dan di situ ada potensi ketidakadilan. Dulu, Mbah Kiai Sahal Mahfudz melakukan kritik atas hal itu melalui “Fikih Sosial”-nya. Nah, saya usul, setelah “Fikih Sosial”, kita perlu lanjutkan dengan “Fikih Ekopol”, Fikih Ekonomi-Politik, al-fiqh al-iqtishadi as-siyasi.

Di sini terletak masalah “materialisme”. “Materialisme” yang saya maksud bukan cinta keduniawian atau kebendaan. Tapi suatu cara pandang yang menempatkan hal-hal materiil dan konkret sebagai titik berangkat untuk memahami perkembangan kehidupan sosial kita. Jadi, saya menawarkan cara pandang terbalik. Daripada berangkat dari kaidah-kaidah atau dalil terlebih dulu, Fikih harus berangkat lebih dulu dari kenyataan materiil apa yang dihadapi. Dari situ lalu dicari kaidah dan dalilnya, baru diputus hukumnya, lalu dikembalikan lagi ke fakta materiilnya, bisa mengubah realitas materiil itu atau tidak.

Kalau dipetakan, kita kan mengenal ada dua kategori besar hukum Islam dalam bangunan fikih, yaitu al-ahkam at-taklifiyyah, hukum-hukum yang eksplisit halal-haram, mengenai kewajiban dan larangan bagi orang mukallaf yang dibebani hukum; dan al-ahkam al-wadl’iyyah, hukum-hukum yang berkaitan dengan syarat, sebab (sabab), atau faktor-faktor pencegah (mani’) yang memungkinkan suatu hukum berlaku atau tidak diberlakukan.

Nah, kesadaran Ekopol dan materialisme bisa dibangun pada tataran al-ahkam al-wadl’iyyah ini. Di situ kita bisa melihat, kalau realitas materiilnya sarat ketidakadilan, maka harus dicegah atau dilawan. Tentu kalau mengacu kepada al-ahkam at-taklifiyah, tidak ada dalil fikih yang menulis bahwa “kapitalisme itu haram”, karena istilah “kapitalisme” belum dikenal oleh ulama fikih Salaf. Tapi dilihat dari wadl’iyyah-nya, kita bisa bertanya, kapitalisme itu menjadi sebab datangnya mudlarat atau tidak. Kalau iya, maka konsekuensi Mu’amalah-nya bisa diputus haram.

Itu yang pertama. Di sisi lain, kita juga perlu melihat hubungan antara Fiqih Ibadah dan Fikih Mu’amalah sendiri. Landasan Fikih Ibadah tentu bukan Ekopol atau materialisme, karena ketentuan ibadah datang dari petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sendiri, yang sudah jelas (sharih). Kita kerap memahami ibadah dan mu’amalah terpisah. Seolah kalau ibadahnya baik, maka mu’amalah-nya otomatis baik. Kehidupan kapitalis saat ini menunjukkan sebaliknya. Meskipun ibadah kita baik, bisa menjalankan rukun Islam secara sempurna, naik haji ke Tanah Haram, belum tentu mu’amalah kita secara sistemik telah baik. Karena untuk haji pun, kita harus membayar mahal dan terjerat dalam sistem pasar, artinya, kita masih di bawah “hukum besi” kapitalisme.

Tawaran saya, kita perlu melihat dengan pola terbalik. Landasan awal berfikih kita adalah Fikih Mu’amalah dulu, baru Fikih Ibadah dan Fikih-fikih yang lain. Fikih Mu’amalah menjadi dasarnya, basisnya. Baru di atasnya diletakkan fikih-fikih yang lain. Artinya, hablum minan naas adalah dasar, baru hablum minallah di atasnya. Apabila titik berangkatnya dari hablum minan naas (hubungan sosial yang materiil dan konkret) sudah “beres”, maka keberislaman kita pada taraf hablum minallah (hubungan transendental-ilahiah yang abstrak) akan juga “beres”.

Konsekuensi dari peletakan semacam ini, Fikih Mu’amalah menjadi “basis”, meminjam istilah Karl Marx. Sedangkan Fikih Ibadah menjadi “suprastruktur” (bangunan atas). Kita kemudian bisa menata ulang orientasi fikih dengan lebih utuh. Bahwa fikih harus terlebih dulu melakukan koreksi pada tataran Mu’amalah secara utuh dan menyeluruh, agar seluruh dimensi ibadah (‘ubudiyah) umat Islam punya makna sejati bagi kehidupan bersama.

Persoalannya, Fikih Mu’amalah hari ini masih diperlakukan secara parsial, dan seolah bukan porsi utama fikih. Pembelajaran fikih di pesantren masih lebih banyak ditekankan pada Fikih Ibadah. Fikih Mu’amalah disinggung sedikit, lebih sedikit diketahui oleh kaum santri daripada Fikih Ibadah. Ini yang membuat kesadaran atas problem kapitalisme tidak pernah muncul.
Ibaratnya, kita “buta”, kita hidup di zaman apa, menghirup udara apa. Kita bisa beribadah  khusyuk sendirian atau berjamaah, tapi begitu keluar dari masjid atau pesantren, kita dibuat bingung dengan lalu-lalang kehidupan yang sudah berubah cepat. Keluar masjid, kita belanja di Indomaret atau pergi ke bank, tanpa sengaja sudah terjerat dalam kapitalisme.

Contoh lain, kalau banyak koruptor, itu pasti ada ketimpangan ekonomi. Koruptor kan tidak muncul begitu saja. Kalau koruptor misalnya dipersoalkan, apakah harus dihukum mati atau potong tangan, persoalan ini pada tataran “suprastruktur”. Di “basis”, di tingkat mu’amalah-nya, perlu ditanya, kenapa kok bisa terjadi korupsi? Terjadinya korupsi pasti dikarenakan praktik mu’amalah yang tidak benar sampai terjadi pencurian. Korupsi bukan hanya pencurian. Kita juga harus melihat korupsi dalam hubungannya dengan kapitalisme. Bagaimana kapitalisme melahirkan kelompok-kelompok yang memiliki modal yang sangat besar sehingga mampu menyogok pejabat atau pemerintah. Ini semua pada tataran “basis” bisa dibongkar. Maka, Fikih menjawab persoalan korupsi tidak cukup dengan pendekatan pidana (jinayat), potong tangan. Perlu juga memakai Fikih Mu’amalah.

Bagi saya, Fikih Mu’amalah perlu mulai dipertimbangkan untuk menjadi dasar fundamental dalam fikih. Tidak akan maksimal, alias tetap sepotong-potong, kita bicara tentang Fikih Zakat, Fikih Jinayat, Fikih Munakahat, dan lain-lain, tetap berpotensi luput menangkap realitas ketidakadilan, jika kita tidak berangkat terlebih dulu dari Fikih Mu’amalah, tentu dalam pengertian yang baru dan “diperluas”.

Apakah Fikih Mu’amalah bisa digabungkan dengan paradigma lain seperti Marxisme atau Kapitalisme?

Buat saya, bisa dijahit, bukan digabungkan. Nah, “jahitan” itu nanti pada logika hukumnya.
Fikih dikaitkan dengan logika kapitalis, juga bisa saja. Hanya nantinya kita lihat secara global, bahwa logika kapitalis niscaya bertentangan dengan Islam. Misalnya, praktik perdagangan yang orientasinya pada penumpukan (takatsur atau ihtikar) itu dilarang, dan itu yang persis didorong oleh kapitalisme. Walaupun fikih saat ini luput melihat hal itu, melainkan sekadar menghukumi transaksinya saja.

Makanya, hukum-hukum jual beli (ahkam al-buyu’) itu baru satu aspek saja. Kalau kita berhenti ngaji kitab al-bay’, mu’amalah kita tidak berkembang. Kita tidak tahu di balik transaksi itu produknya dari mana, siapa yang punya, melibatkan rente atau tidak, akumulasi atau tidak, dan lain-lain. Kajian ilmiah seperti Marxisme bisa membantu untuk mempertajam fikih.

Marxisme itu apa, kok fikih perlu “melirik” Marxisme? Bukannya produk Barat yang asing bagi ajaran Islam, apalagi fikih? Bukannya Marxisme itu identik dengan komunisme yang dimusuhi oleh sebagian umat Islam, bahkan sangat terdengar menakutkan bagi kita di Indonesia? Ini yang perlu sedikit diperjelas.

Marxisme itu sederhananya adalah suatu perangkat ilmiah membongkar sistem kapitalisme. Suatu ilmu untuk membedah kapitalisme. Kapitalisme kan hidup setidaknya dua abad lebih, dengan dampaknya yang luar biasa terhadap dunia, salah satunya melahirkan kolonialisme yang dulu menjajah bangsa kita, dan sekarang melahirkan globalisasi. Selama ini, tidak ada kajian ilmiah yang sekritis Marxisme dalam melawan kapitalisme dan menunjukkan letak-letak kesalahan kapitalisme. Ini karena lawan Marxisme adalah Ekonomi-Politik Borjuis sendiri, yakni teori ekonomi yang dianut oleh para ekonom yang mendukung kapitalisme. Jadi, mau tidak mau, untuk mengerti seluk beluk kapitalisme, kita harus mengerti dua bidang ilmu sekaligus. Ekonomi-Politik Borjuis (biasanya disebut Teori Klasik atau Neoklasik dalam ilmu ekonomi). Dan Marxisme, yang menjadi pisau kritiknya.

Sebenarnya, kalau menurut para sarjana Marxis sendiri, ada tiga aspek besar Marxisme. Pertama, Kritik atas Ekonomi-Politik Borjuis. Ini Marxisme sebagai teori ekonomi. Kedua, yang disebut “Historical materialism”, materialisme historis. Ini paham sejarahnya. Ini studi Marxisme atas perkembangan suatu kehidupan masyarakat dilihat dari faktor-faktor produksinya dan dinamika materiilnya. Misalnya di situ dibahas soal adanya kelas dan kasta-kasta sosial, lahirnya kaum elite, lahirnya kaum pemodal dan kaum buruh, lahirnya perbudakan, kerja upahan, perang, konflik, lahirnya Negara-negara, dan lain sebagainya. Dan ketiga, sosialisme. Ini teori politiknya. Ini lebih berupa orientasi gerakan politik Marxisme, yaitu untuk mewujudkan masyarakat alternatif setelah krisis masyarakat kapitalis.

Yang relevan untuk fikih, saya kira untuk sementara, kedua aspek pertama dari Marxisme. Yaitu, sebagai Kritik atas Ekopol Borjuis dan Materialisme Historis-nya. Ini kalau bisa dijadikan “alat bantu” untuk fikih, kita mendapat banyak “pencerahan” untuk melangkah ke fikih yang membebaskan dari segenap problem dan akar ketidakadilan. Suatu fikih pembebasan.

Cuma begini. Jangan lupakan Ushul Fikih. Kita mengetahui, Ushul Fikih adalah logika dasar dari fikih, metodologinya. Di sana termuat metode, dan aksioma-aksioma yang menjadi acuan penalaran fikih. Ushul Fikih tetap dipakai, sebagai acuan metodologisnya, misalnya dalam menyeleksi mana aspek yang prinsipil (ushul), mana yang turunan atau sekunder (furu’).
Mana aspek yang bisa berubah, mana yang tetap (karena datang dari Nash yang sharih.). Di sisi lain, bersamaan dengan Ushul Fikih, ada Maqashid Syari’ah. Di sana terdapat acuan aksiologisnya, misalnya kategori maslahat dan mafsadat. Untuk menentukan bobot materiil maslahat dan mafsadat itulah, nanti Marxisme bisa membantu memberikan gambaran komprehensif mengenai realitasnya di lapangan.

Jadi misalnya begini, kita berhadapan dengan kasus pendirian perusahaan A di suatu lokasi. Mengacu pada maslahat atau mafsadat-nya, ternyata mafsadat-nya secara jangka panjang akan lebih besar, karena perusahaan itu akan menghancurkan kemandirian ekonomi masyarakat di sekitarnya, misalkan. Maka bisa diharamkan. Solusinya, diganti jenis usaha lain yang tidak berdampak seperti itu. Ini hanya mungkin kalau kita mengerti soal relasi eksploitasi, watak modal, dan sebagainya yang dianalisis oleh Marxisme. Jadi, tidak cukup menghukumi transaksinya saja. Karena kalau hanya transaksinya yang dinilai, selesai sudah. Wa ahallallah al-bai’ wa harrama ar-riba.

Menurut Gus, apakah Fikih Mu’amalah itu historis?

Ya, bersifat historis. Fikih Mu’amalah harus dilihat secara historis dari masa ke masa. Tentu berbeda memperlakukan Fikih Mu’amalah di era pra-kapitalisme dengan era kapitalisme. Karena dunia dan kehidupan umat manusia berubah secara mendasar, tidak sama seperti era-era sebelumnya, dengan adanya kapitalisme. Kapitalisme harus dilihat sebagai penentu sejarah kehidupan kita saat ini, kalau kita tidak mau terbawa ilusi kehidupan masa lalu. Apa bedanya? Karena hanya di era kapitalisme ini, semua ketidakadilan tampak diwajarkan dan menjadi sistemik. Ya itu, realitas adanya masyarakat berkelas yang dibangun di atas penumpukan modal secara tidak terbatas di satu sisi, dan eksploitasi kerja mereka yang hanya punya keringat di sisi lain. Dan sekarang, meluas ke eksploitasi alam dan seisinya untuk kepentingan modal.

Ambil contoh pembahasan mengenai upah. Kita jangan terjebak konsep upah ratusan tahun lalu sebelum kapitalisme. Jadi, Fikih Mu’amalah pernah meninjau ulang status upah dan kerja upahan. Kalau dulu di zaman Rasulullah, kerja upahan dalam bentuk sederhana antara pihak pemberi kerja (al-mustajir) dan pekerja  (al-ajir), sekarang kapitalisme sudah membuatnya jadi rumit dan kompleks sekali. Karena antara investor dan buruh tidak ada kontak langsung, tapi dimediasi oleh perusahaan.
Perusahaan inilah yang mencari tenaga kerja, dan adanya lapangan pekerjaan—dijelaskan oleh analisis Marxis—bukan karena kebaikan perusahaan atau si investor-kapitalis, tapi karena tekanan kehidupan di kalangan rakyat miskin yang membuat mereka terpaksa menjual tenaga mereka ke pabrik. Artinya, orang tidak mungkin menjadi buruh, masuk dalam kerja upahan, kalau tidak ada keterpaksaan yang sistemik. Inilah alasan kenapa upah dan kerja upahan dulu dan sekarang berbeda.

Kalau dilihat lebih utuh seperti ini, Fikih Mu’amalah jadi lebih tanggap pada kapitalisme. Tidak cukup hanya berfatwa, perusahaan wajib membayar gaji buruh atau memberi pesangon. Tapi juga bertanya, sampai kapan kaum buruh akan terus terlibat dalam kerja upahan. Apakah bisa menghapusnya? Apa alternatif kerja upahan? Itu perlu terus digali. Jadi, jangan mandek hanya pada konsep  ujroh (upah), lalu selesai.

Mungkin ada pemikiran tokoh-tokoh Islam mengenai fikih yang berdialog dengan Marxisme?

Ada, seperti Sayyid Muhammad Baqir Shadr, dalam karyanya Iqtishaduna. Di sana Baqir Shadr memiliki konsep-konsep menarik, terlebih memikirkan bank yang bukan kapitalistik. Dia mengambil kritik Marxis terhadap kapitalisme, walaupun melakukan kritik yang juga keras terhadap Marxisme.
 Baqir Shadr menyerukan, misalnya, adanya perhatian yang lebih besar terhadap distribusi dan redistribusi yang adil, menolak penumpukan aset dan kepemilikan pribadi seperti dalam sistem kapitalis. Tapi pemikirannya mungkin tidak populer di Indonesia karena Shadr sendiri seorang ulama Syi’ah. Tradisi fikih Syi’ah sendiri lebih kritis terhadap kapitalisme daripada di Sunni. Kita di Sunni ini, yang agaknya cenderung ikut arus kapitalisme. Menghalalkan kepemilikan pribadi tanpa batas dan kurang peduli dampak sosial dan lingkungannya.

Baru sejak adanya Fikih Maqashid, sepertinya mulai ada perimbangan ke ranah fikih yang lebih “sosialistik”. Tapi itu kalau kita menggali betul apa yang dimaksud dengan “mashalih kulliyyah” (kemaslahatan yang universal) dan “mashalih ‘ammah” (kemaslahatan umum). Karena, bisa tidak, kemaslahatan ini merebut kepentingan kelas kapitalis yang hanya memikirkan keuntungan dirinya?

Kita patut mengapresiasi perkembangan Fikih Maqashid, sambil membacanya terkait dengan kapitalisme dan dinamika sosial-ekonomi yang terjadi.

Apa pesan Anda kepada kalangan santri dalam menyikapi kapitalisme?

Pertama, kita (kaum santri) harus memperlakukan kapitalisme sebagai masalah serius di dalam keilmuan agama kita, sehingga kita perlu menggalakkan kajian-kajian kritis tentang kapitalisme. Untuk bisa memahami dinamika global dan nasional, misalnya ada May Day, kenapa kok ada buruh turun ke jalan. Ini kalau kita (kaum santri) tidak mengerti, kan kita menganggap mereka yang demo itu tidak ada hubungannya dengan agama. Padahal, itu bagian dari perjuangan hak, yang juga sangat diperintahkan oleh agama.

Nah selama ini, kalangan santri belum banyak mengetahui atau ambil peduli tentang dinamika di luar pesantren, jadi wajar kalau seolah-olah pondok pesantren itu steril dari kapitalisme, padahal tidak.

Kedua, kita perlu mempelajari ilmu-ilmu sosial kritis, seperti Marxisme ini, dan jangan takut dengan propaganda-propaganda yang tidak benar. Kalau itu propaganda, kita bisa cek sendiri ke bukunya atau referensinya. Apakah Marxisme boleh dipelajari di Indonesia? Saya rasa boleh sebagai sarana pendidikan. Cuma memang masih banyak propaganda yang tidak enak didengar. Antara lain kalau belajar Marxisme itu nanti membawa ateisme. Padahal, itu dua hal yang berbeda. Ateisme itu sikap teologis, Marxisme itu wawasan ilmiah. Dan ada banyak propaganda lainnya. Itu yang akhirnya membuat kita enggan, takut mempelajarinya.

Selain Marxisme, kita juga harus mempelajari ilmu ekonomi secara menyeluruh dan kritis. Jangan menelan mentah-mentah setiap teori. Termasuk melakukan kajian mendalam terhadap hakikat Ekonomi Syari’ah. Ekonomi Syari’ah yang berwawasan pembebasan. Kalau Ekonomi Syari’ah yang tidak berorientasi pembebasan, ya tidak akan mengubah banyak hal, hanya melanggengkan sistem yang tidak adil ini.

Hasilnya nanti akan terasa ketika kaum santri bisa memberikan solidaritasnya terhadap apa yang dialami oleh rakyat. Banyak masyarakat di luar pesantren yang mengalami penderitaan oleh kebijakan negara yang tidak berpihak kepada mereka, tapi berpihak kepada kepentingan kapitalis. Tapi kita, kaum santri, masih bingung menyikapinya karena tidak tahu apa yang harus diperbuat. Saatnya kita sadar dan bangun dari kejahilan ini.

***

0 komentar:

Posting Komentar